Emanasi Pemikiran Filsafat Al-Farabi

1,679 kali dibaca

Di dalam kitab Bainaddin wal Falsafati; fi Ra’yi Ibnu Rusyd wa Falasafati al-Ashri al-Washith yang ditulis oleh Muhammad Yusuf Musa, dijelaskan bahwa Al-Farabi adalah Al-Mu’allimus Tsani (tokoh/guru kedua) setelah Arestoteles. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Farabi adalah tokoh filsafat Islam yang sangat berpengaruh serta berkontribusi begitu mendalam di dalam ilmu filsafat. Al-Farabi adalah filusuf Islam yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Aristoteles.

Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalaqah, yang biasa juga dipopulerkan dengan Abu Nashr, lahir di Wasij, daerah Farab, sekarang disebut Attar pada tahun 870 M dan wafat tahun 950 M di Damaskus. Di kalangan ilmuwan Barat, Al-Farabi dikenal dengan nama Avennoser. Ayahnya berasal dari Persia sedangkan ibunya berasal dari Turki. Pada masa mudanya, Al-Farabi pernah mendalami ilmu-ilmu kebahasaan, kumudian menekuni ilmu logika dan filsafat ketika masih di Baghdad.

Advertisements

Al-Farabi menguasai banyak disiplin ilmu. Hal ini pula yang mencatatkan nama Al-Farabi setara dengan Plato dan Aristoteles. Bahkan dapat melebihi mereka, karena kesetaraan Al-Farabi dengan Plato dan Arestoteles hanya di bidang filsafat. Selain menguasai ilmu filsafat, Al-Farabi juga menguasai ilmu logika (mantiq), bahasa, antariksa, seni musik, dan lain sebagainya. Jadi, Al-Farabi menempati kedudukan yang cukup berpengaruh di dalam perkembangan filsafat Islam.

Al-Farabi juga diketahui banyak menulis buku, tetapi yang masih dijumpai dalam bahasa Arab hanya ada tiga puluh buah saja. Dan di antaranya yang sangat terkenal adalah: Maqalah fi Aghradhi Ma Ba’da al-Thabi’ah, Ihsa al-Ulum, Arau ahl al-Madinah al-fadhilah, Tahshil al-Sa’adah, Uyun al-Masail, Risalah fi’Aql, al-Jami’ Bainal-Ra’yi al-Hakimain , Aflathun wa Aristhu, Risalah fi Masail Mutafarriqah, dan Risalah fi Itsbat al-Mufarraqat. Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang mengindikasikan bahwa Al-Farabi adalah ilmuwan yang sangat berpengaruh pada zamannya, bahkan hingga saat ini.

Ketuhanan dan Kenabian

Konsep ketuhanan Al-Farabi cenderung mengikuti pola ketuhanan Al-Mu’allimul Awwal, (guru/tokoh pertama), yaitu Aristoteles, meskipun berusaha untuk menengahi dengan konsep Islam. Dalam pandangan Aristoteles, Tuhan adalah Al-Muharrikul Awwal, Causa Prima, yang hanya mengetahui dan memikirkan zat-Nya sendiri. Hal ini pula yang kemudian oleh Imam Ghazali dianggap sebagai kafir, karena membatasi kemahakuasaan Tuhan.

Akan tetapi, menurut Al-Farabi, konsep teologi Aristoteles tidak bertentangan dengan Islam. Karena konsep ini dipandang sebagai konsep yang mengagungkan Tuhan. Dipandang sebagai sebuah kehinaan jika Tuhan berpikir dan mengetahui makhluk-Nya. Hakikatnya, terjadi iluminasi dengan cara Tuhan berpikir akan zat-Nya sendiri. Artinya, eksistensi makhluk terjadi dengan sendirinya ketika Tuhan berpikir terhadap zat-Nya sendiri. Pancaran keagungan Tuhan kemudian menyebabkan terjadinya alam dan segala isinya yang disebabkan adanya Tuhan berpikir terhadap diri-Nya sendiri.

Tentu saja konsep teologi ini menjadi perdebatan dan diskusi yang begitu pelik. Termasuk Imam Ghazali yang tidak sependapat dengan konsep ketuhanan Al-Farabi dan Aristoteles. Tetapi Al-Farabi bersikukuh bahwa teologi yang diusung oleh para filusuf tidak bertentangan dengan Al-Quran. Bahkan Muhammad Yusuf Musa beranggapan bahwa Al-Farabi gagal dalam menjembatani konsep teologi Aristoteles dengan Islam (Bainaddin wal Falsafati, hal. 62).

Sementara itu, terkait dengan konsep kenabian, Al-Farabi mengemukakan bahwa mukjizat itu bukan persoalan supranatural. “Wala syai’an khariqan lil ‘adah, bukan sesuatu yang di luar nalar.” Akan tetapi seorang nabi adalah manusia biasa yang mencapai tingkatan imajinasi yang sempurna. Siapapun dapat mencapai tingkatan ini dengan cara riyadhah atau amalan-amalan (thariqah) yang dapat mencapai tingkat kesempurnaan.

Jadi, masih menurut Al-Farabi, nabi dan filusuf adalah dua entitas yang sama-sama mencapai maqam ilahiyyah. Yang pertama (Nabi) mencapai tingkatan ilahiyyah karena pemberian Tuhan, sedangkan yang kedua (filusuf) karena thariqah yang diusahakan dengan sendirinya.

Sampai di sini, seharusnya Al-Farabi bertanggung jawab untuk menjelaskan keluhuran antara filusuf dan Nabi. Karena jika nabi mendapatkan tingkatan ilahiyah karena pemberian, maka di sana tidak perlu adanya usaha. Sedangkan filusuf, berusaha dengan jihad dan riyadhah sendiri. Semestinya dalam kasus ini filusuf lebih agung dan lebih bermartabat di atas nabi. Namun kenyataannya, nabi tetap dipandang sebagai manusia yang paling “sempurna, (khairul basyar).”

Emanasi dan Wujud Tuhan

Terkait dengan emanasi (pancaran), Al-Farabi menjelaskan bahwa akal pertama (al-Aqlul Awwal) adalah wajibul wujud, yaitu eksistensi yang wajib ada tanpa diadakan dan tidak bersifat materi (inmaterial). Dengan cara memikirkan zat-Nya sendiri kemudian memunculkan alam semesta. Akal pertama (al-Aqlul Awwal) memikirkan zat-Nya sendiri dan melahirkan akal kedua (al-Aqlus Tsani).

Selanjutnya wujud kedua atau akal pertama menimbulkan langit yang pertama (al-Samau al-Awwal). Akal kedua berpikir tentang akal pertama menimbulkan akal ketiga. Akal ketiga kemudian memunculkan Akal keempat akal Saturnus, Akal keempat mewujudkan Akal kelima yang Yupiter, Akal kelima mewujudkan Akal keenam yaitu Mars, Akal keenam mewujudkan Akal Ketujuh yaitu Venus, Akal kedelapan mewujudkan Akan Kesembilan yaitu Merkury, dan Akal Kesembilan mewujudkan Akal Kesepuluh yaitu Bulan. Akal Kesepuluh tidak lagi mewujudkan akal-akal, melainkan mewujudkan bumi dan jiwa serta materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam, yaitu: api, udara, air, dan tanah.

Tentu saja konsep akal Al-Farabi tidak sejalan dengan sains modern saat ini. Di mana, menurut sains ilmiah, yang merupakan sumber dari segala sumber energi (main power) adalah matahari, bukan bulan. Sedangkan bulan merupakan benda angkasa yang disebut satelit. Cahaya bulan merupakan pantulan cahaya matahari. Hal yang menjadi pesan utama menurut konsep Al-Farabi terkait perwujudan adalah adanya emanasi, yaitu pancaran dari satu kewajiban wujud ke wujud berikutnya, yaitu mumkinul wujud (makhluk).

Wujud Tuhan dalam konsep teologi Al-Farabi adalah wajibul wujud. Keberadaannya tidak disebabkan oleh lainnya. Sedangkan alam semesta (makhluk) adalah mumkinul wujud. Keberadaannya (makhluk) karena adanya wajibul wujud, yaitu Allah swt. Wajibul Wujud tidak berupa materi, berbeda dengan makhluk, serta keberadaannya disebabkan oleh eksistensi diri-Nya sendiri. Tidak ada yang mengadakan, tidak bermula, dan kekal tidak berkesudahan. Berbeda dengan makhluk, kekal (menurut Al-Farabi), tetapi karena adanya zat Yang Mengekalkan.

Makhluk dalam pandangan Al-Farabi diciptakan dari sesuatu yang sebelumnya ada. Karena tidak mungkin, tidak logis, kalau sesuatu dicipta dari sesuatu yang tidak ada. Potensi ketuhanan (potential of God, power of God) adalah asal dari eksistensi terciptanya makhluk. Jadi, menurut Al-Farabi, adanya surga dan neraka dalam dimensi ruh, bukan dalam kondisi jasad sebagaimana dipahami oleh ulama Asy’ariyah. Konsep ini (Al-Farabi) sejalan dengan pemahaman Mu’tazilah.

Demikianlah konsep filsafat Al-Farabi terkait dengan ketuhanan, kenabian, iluminasi, emanasi, dan lain sebagainya. Menyelami dan mendalami konsep filsafat seseorang bukan perkara mudah. Ada banyak hal yang perlu direnungkan, dipikir lebih mendalam, serta dipahami dengan logisitas keilmuan. Dengan demikian kita tidak cenderung menyalahkan atau bahkan mengkafirkan, tetapi lebih kepada menghormati persoalan-persoalan yang dianggap masuk ke dalam reduksi pemikiran (baca: khilafiyah). Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan