Dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275, ditegaskan bahwa: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Tapi, dunia modern punya cara yang lebih halus, lebih legal, dan lebih menyakitkan: ekonomi rente.
Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II tahun 2025, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,2% jika dilihat dari tahun ke tahun (YoY).

Angka tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Ini karena inti pertanyaannya tetap serupa: siapa yang merasakan hasil dari pertumbuhan ini?
Ketidakadilan masih menjadi masalah yang tersimpan dalam ekonomi kita. Gini Ratio Indonesia pada Maret 2025 tercatat di angka 0,388, yang mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya, tetapi masih mencerminkan kesenjangan sosial yang besar antara yang kaya dan yang miskin.
Di sisi lain, laporan dari Credit Suisse tahun 2024 mengungkapkan bahwa 1% individu terkaya di Indonesia memiliki hampir 46% dari total kekayaan nasional.
Dalam perspektif Islam, keadilan dalam distribusi sumber daya bukan sekadar isu ekonomi, melainkan juga merupakan tanggung jawab syar’i. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa ketidakmerataan dalam distribusi kekayaan harus dihindari. Islam mengatur sistem yang bertujuan untuk meratakan kesejahteraan melalui cara seperti zakat, infak, sedekah, serta pelarangan praktik riba dan eksploitasi.
Ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang merupakan bentuk ketidakadilan struktural. Dalam konteks fikih muamalah, ini menyangkut aspek keadilan dan kemanfaatan umum, yang merupakan prinsip penting dalam pengelolaan kekayaan.
Imam Al-Ghazali, dalam karya terkenal Ihya’ ‘Ulum al-Din, menegaskan bahwa kemaslahatan ekonomi tidak hanya diukur oleh angka, tetapi harus mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Kesenjangan ini juga terungkap dalam laporan Bank Dunia yang menyatakan bahwa meskipun angka kemiskinan ekstrem di Indonesia menurun menjadi 1,5% pada tahun 2024, sekitar 9,5% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Di sisi lain, Laporan Oxfam menyebutkan bahwa para miliarder di Indonesia berhasil mengumpulkan kekayaan yang luar biasa dalam waktu singkat, jumlah yang sebanding dengan anggaran sosial pemerintah selama setahun.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan: apakah sistem ekonomi kita beroperasi sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan syariat? Apakah negara telah berupaya untuk memastikan bahwa kekayaan tidak hanya dikuasai oleh sekelompok elite?
Dalam konteks ini, fikih lebih dari sekadar ilmu hukum; ia juga merupakan sistem etika sosial. Konsep maqashid syariah menempatkan perlindungan harta sebagai salah satu tujuan utama syariat.
Perlindungan ini tidak hanya merupakan hak individu, tetapi juga berkenaan dengan kepentingan kolektif. Islam menekankan pentingnya redistribusi sumber daya untuk membangun keadilan sosial.
Kita membutuhkan cara baru yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan, tetapi juga pada pemerataan dan keberpihakan yang nyata. Pemerintah perlu memperkuat program redistribusi melalui kebijakan pajak yang lebih progresif dan efektif, memperluas akses jaminan sosial, serta menanggulangi kebocoran anggaran.
Sementara itu, masyarakat sipil dan lembaga keagamaan dapat mendorong semangat filantropi Islam sebagai suplemen untuk sistem pemerintah.
Ekonomi bukan sekadar masalah statistik dan investasi, tetapi juga soal moral dan keberpihakan. Jika ketidakadilan terus dibiarkan, bukan hanya masyarakat yang akan terpecah, tetapi nilai-nilai keislaman juga akan terpinggirkan oleh kepentingan kapital semata.
Indonesia membutuhkan ekonomi yang tidak hanya berkembang, tetapi juga bertumbuh secara merata. Karena dalam pandangan Islam, keadilan bukanlah pilihan, namun sebuah kewajiban.