Dua Wajah Santri

21 views

Di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Musthofa, Ngeboran, Boyolali, Jawa Tengah, hidup terbagi menjadi dua wajah. Pagi hingga sore, kami menjadi mahasiswa. Berpacu dengan waktu, tugas kuliah, organisasi kampus, dan skripsi yang mendekat tak kenal kompromi.

Di suatu malam yang tenang, ketika kebanyakan pemuda sedang sibuk di tongkrongan dan juga larut dalam mimpi, kami di pondok justru terjaga. Duduk bersila, kepala tertunduk, tangan memutar tasbih, bibir begetar pelan membaca zikir dari aurod Nihadlul Mustagfirin. Di situlah mujahadah bermula— sebuah laku sunyi yang perlahan membuka tabir kehidupan.

Advertisements

Awalnya, semua tampak biasa. Sebuah rutinitas yang ada di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Musthofa, satu demi satu pun harus dijalani. Salah satunya adalah mujahadah.

Tapi, semakin lama, semakin dalam kita menyelami zikir itu, rasanya ada sesuatu yang bergeser di dalam diri. Ada semacam ruang yang tadinya gelap, kini pelan-pelan mulai bercahaya.

Bagi Sebagian orang, ini mungkin hanya rangkaian doa dan wirid biasa. Tapi bagi kami, mujahadah adalah napas. Sumber energi yang membuat kami tetap kuat di tengah hidup yang tak henti menekan dari berbagai arah.

Capai? Tentu saja. Sedikit demi sedikit raga kami lelah, pikiran sesak. Kadang seperti lilin yng menyala di dua ujung, satu terbakar oleh urusan dunia, satu lagi terbakar oleh kewajiban akhirat. Namun di tengah kelelahan itu, justru kami menemukan sesuatu yang tak kami duga. Mujahadah bukanlah tambahan beban. Ia justru menjadi jendela. Dari balik zikir-zikir itu, kami melihat cahaya kecil yang menuntun langkah kami melewati gelapnya problem hidup.

Entah bagaimana cara kerjanya. Tapi ketika beban skripsi terasa menyesakkan, saat ide mentok dan semangat luntur, kami datang untuk mujahadah, dengan duduk, diam, menangis diam-diam. Dan esok harinya seolah semesta membuka jalan. Ada solusi dan ada arah. Bukan karena kami mendadak pintar, bukan karena semua jadi lebih mudah. Tapi karena hati kami jadi lebih tenang, lebih lapang. Dan dari ketenangan itulah biasanya muncul kekuatan untuk terus melangkah.

Mujahadah bukan sekadar duduk diam dan membaca doa. Ia adalah pertempuran senyap antara diri dan segala keinginan yang membelenggu. Setiap bacaan bukan hanya lafaz yang melintas di mulut, tapi seperti palu yang menggodam kerak ego dan kesombongan yang lama mengendap.

Mujahadah merupakan sebuah kesungguhan untuk bertahan. Misalnya menahan distraksi, menahan godaan ingin cepat viral, menahan diri terus-menerus menyerap tanpa mengedepankan sesuatu. Ia buka sekadar ibadah lahiriah, melainkan untuk tetap teguh menempuh jalan Tuhan— di medan yang tak selalu sakral.

Dan anehnya, dari duduk diam muncullah sebuah gerakan. Dari sunyi itu muncullah suara. Dan dari mujahadah itu muncullah sebuah jalan yang mungkin belum pernah sama sekali kita lihat. Dari sini mulai terlihat, bahwa hidup itu tidak selalu soal mencari solusi di luar. Terkadang, jawaban itu sembunyi di dalam—di balik hati yang mungkin tidak pernah diajak bicara dengan jujur.

Mujahadah jadi semacam cermin, tempat kita melihat luka, takut, dan harapan kita sendiri, lalu datang pelan-pelan menyembuhkannya.

Mujahadah mengajarkan kami bahwa tidak semua hal harus dilawan dengan logika. Ada saatnya hati mengambil peran. Bukan hanya menggantikan akal, tapi untuk menuntunnya kembali ke jalur yang jernih.

Kami sadar, menjadi mahasiswa saja sudah berat. Menjadi santri pun bukan perkara ringan. Dan menjadi keduanya sekaligus adalah jalan terjal yang tak semua orang mampu jalani. Tapi justru di jalan terjal itulah kami menemukan keindahan yang tidak semua orang memilikinya.

Mujahadah adalah bentuk lain dari perjuangan. Ia tidak tampak bising. Tidak penuh gemuruh. Tapi justru karena ia sunyi, ia masuk lebih dalam. Langsung ke inti persoalan hati yang resah dan jiwa yang kering. Sering terlontar pertanyaan, “Kapan kalian istirahat?” Istirahat kami bukan di tidur panjang, tapi di ketenangan yang mujahadah berikan.

Kami para santri yang ada di Pondok Pesantren Al-Musthofa juga bukan manusia yang sempurna. Kami juga sering goyah, malas, bahkan ingin menyerah. Tapi mujahadah selalu datang seperti alam ruhani. Mengingatkan kami bahwa menyerah bukan pilihan, selama Allah masih membersamai kita. Sekarang kami percaya, bahwa dalam setiap perjuangan ada celah untuk berdoa. Dan dalam setiap doa, selalu ada peluang untuk menemukan kekuatan baru.

Mujahadah bukan hanya ritual. Ia adalah ruang pertemuan antara kami dan Tuhan kami. Tempat kami mengadu tanpa suara, memohon tanpa pamrih, dan mencintai tanpa syarat. Dan barangkali, inilah yang jarang disadari. Kadang, jalan hidup yang kita cari-cari di luar sana, justru muncul dari zikir yang kita lantunkan di keheningan malam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan