Dongeng untuk Kekasih

2,149 kali dibaca

Tidaklah pernah lama bilamana aku dan kau teleponan. Itupun kau yang meneleponku. Karena sebagai seorang pecinta, aku takut mengganggu jika meneleponmu duluan. Aku memang laki-laki, tapi tidak sefrontal dan sebinal laki-laki zaman ini yang meminta jatah enak-enak pada kekasihnya semudah membalik telapak tangan. Aku malu. Ayahku mengajarkan agar aku menghargai seorang wanita. Dia bilang, “Laki-laki yang bijak adalah yang menjaga kekasihnya lebih dari menjaga diri sendiri.” Maka dari itu aku segan meneleponmu duluan.

Pernah suatu waktu kulakukan itu dan kau menolak panggilanku mentah-mentah. Lalu mengirimkan pesan sejurus kemudian: “Aku sibuk. Nanti kalau ada waktu biar aku meneleponmu.”

Advertisements

Iya, mohon maaf.” Pesanku centang biru dan berakhir di situ. Tidak ada jawaban barang satu titik apalagi kata di room chat kita.

Teleponan kita sangat singkat dan padat, sehingga tidak memakan waktu yang panjang: setelah tanya kabar padamu dan kau menjawab baik dan semua baik-baik saja, raib semua pembahasanku. Ingin kutanyakan perihal kuliah dan pelajaran, tapi tiada aku punya nyali dan keberanian. Aku takut itu akan membuatmu marah dan menganggapku sok peduli.

Juga kurasai, tidak semua orang berkenan dan tanggap jika ditanyai perihal pelajaran, bukan? Dan aku takut kau salah seorang dari mereka. Maka bila selesai aku bertanya mengenai kabarmu dan kau menjawab baik-baik saja, raiblah semua pembahasanku. Hening sebentar saja setelahnya, telepon kau matikan. Aku diam. Menangis. Sebentar inikah kesempatanku ngobrol denganmu setelah lama rinduku kutabung selama seminggu?

Lalu suatu waktu aku mencari cara agar dapat aku berlama-lama ngobrol denganmu. Kuterka dan kucari – dari teman-temanmu – celah-celah dari lubang hatimu, sisi apa yang masih belum terisi sama sekali? Lalu besok ketika teleponan seminggu kemudian, akan kulakukan itu agar bisa berlama-lama ngobrol denganmu di telepon.

Selama seminggu itu aku tidak menemukan cara agar dapat berlama-lama ngobrol denganmu. Sempat aku bertanya pada Kamila, teman baikmu di kampus, dia bilang tidak tahu. Baginya, kau orang yang sangat aktif di kampus. Aku iyakan pengakuannya. Kutanya tentangmu pada Lailana, pun ia menjawab seperti Kamila. Aduh, semakin bingung aku mencari cara untuk berlama-lama ngobrol denganmu di telepon.

Ingin aku diam saja ketika teleponan sampai kita sama-sama tertidur seperti kebanyakan sepasang kekasih lainnya. Aku juga sering melihatnya dengan mata kepalaku sendiri Doyok seperti itu; teleponan dengan kekasihnya sampai larut dalam tidur mereka masing-masing. Itu disebut sleepcall. Itu menyenangkan. Namun kau tidak mau seperti itu. Setiap telepon hening beberapa saat saja, secepat kilat kau matikan.

Malamnya, tepat pukul 19.00 WIB, kau meneleponku. Cekatan aku segera mengangkatnya. Diam. Seperti sebelum-sebelumnya, aku tanyai kabarmu, kau menjawab pula seperti biasa: “Baik, Mas.” Sejurus kemudian sebelum kau mematikan telepon, kuberanikan bertanya: “Kau bisa berbicara?” Nadaku lembut. Tiada niat aku menyindirimu meski hatiku sakit karena selalu aku yang aktif berbicara jika saling teleponan.

“Aku tidak suka berbicara,” jawabmu. Mengertilah aku kalau dari dari awal memang kau tidak suka berbicara. Sebagai seorang pecinta, rasanya ingin aku lama-lama ngobrol. Siapa pula di dunia ini yang tidak ingin lama-lama dengan kekasih – setidaknya ngobrol, kalau tiada bisa bertemu langsung?

Aku ingin membantah pengakuanmu itu dengan keaktifanmu di kampus, selaras dengan yang dikatakan Kamila dan Lailana padaku tempo hari, tapi aku takut itu membuatmu sensitif lalu mengakhiri telepon. Maka tiada aku lakukan dan bertanya: “Kau suka mendengar?”

“Suka,” jawabmu.

“Mendengar apa?” celetukku.

“Apa saja, terutama musik. Kecuali pelajaran, karena motonon dan membosankan.”

“Kalau dongeng?”

“Tentang?”

“Kisah-kisah inspiratif?”

“Oiya, suka.”

Bukankah itu tidak termasuk pelajaran pula? Tapi kenapa kau mau mendengarkan? Aku lalu teringat pada era Walisongo dulu, yang berdakwah dengan cara mengalkuturasikan budaya. Mereka tahu kalau orang Jawa ini kaku dengan hal-hal yang dirasa bersebrangan dengan budaya dan kepercayaan. Dari itulah mereka menggunakan media budaya sebagai upaya mengenalkan Islam. Mereka menyelipkan dalam cerita itu nilai-nilai keislaman.

“Bolehlah aku dongengi kau malam ini.”

“Silakan.”

Aku lalu mendongeng:

“Dulu ada seorang anak muda yang lama belajar pada seorang kiai tapi tidak kunjung paham sedikitpun ilmu. Karena putus asa dan kecewa, ia izin pamit kepada kiainya pulang. Singkat cerita ia pulang. Di tengah jalan, ia diadang hujan. Berteduhlah ia di dalam sebuah goa. Ia duduk di sana sambil memandangi batu yang berlubang karena terus-menerus ditetesi air. Tak disangka ia menemukan pelajaran dari pemandangan itu: batu yang kerasnya seperti itu saja bisa berlubang jika ditetesi air terus menerus, lalu bagaimana dengan hatiku jika terus-menerus ditetesi petuah dan ilmu kiai? Pastilah seperti itu juga!

Dan kau tahu, Sis, dia kembali ke pondoknya dan bicara ke kiainya kalau dia ingin belajar lagi dengan sungguh-sungguh. Kelak, anak muda ini yang mengarang Fathul Bari, kitab penjelas dari kitab Shohih Bukhori.”

“Kitab apa itu?”

“Hadis.”

“Aku tidak tahu tentang hadis-hadis!” ungkapmu dengan nada agak tegas.

“Hadis itu adalah ucapan, perbuatan, atau pengakuan dari Kanjeng Nabi.”

“Oh.”

Demikianlah aku menemukan cara agar aku dapat berlama-lama ngobrol denganmu. Tak hanya dongeng tentang agama yang kuceritakan, pernah pula kuceritakan soal Nefertiti, Permaisuri Agung Fir’aun keempat, Laila dan Majnun, sepasang kekasih yang menjadi korban asmara dan cinta sampai akhir hayat, Syarahzad, seorang pencerita ulung seribu satu malam demi menyelamatkan nyawanya dan perempuan-perempuan dari ancaman Raja Syahryar di Samarkand yang tidak percaya lagi pada wanita karena dikhianati istrinya, dan lain-lain.

Setiap minggu ketika kau meneleponku, aku akan mendongeng. Berbulan-bulan sudah. Aku bahagia. Kurasa, hanya dengan dongeng aku berhasil membuatmu betah berlama-lama ngobrol denganku. Orang bilang, cinta tumbuh karena kebiasaan. Dan mungkin saja, dengan pelan-pelan, jika terus seperti ini, mungkin kau akan membuka hati untukku. Itulah yang aku harapkan sebagai seorang pecinta. Bukankah pada kepastian cinta kekasih, kegundahan dan kegelisahan seorang pecinta akan lenyap?

Minggu malam pukul 19.00 WIB –waktu kau biasa meneleponku –, tidak ada panggilan masuk. Kutunggu. Tak kunjung ada. Mungkin kau sedang sibuk, pikirku. Aku kirim pesan: “Lagi sibuk ya?” Centang dua biru. Kukirim lagi: “Tidak adakah waktu bagi hamba mendongeng?” Centang biru dua. Aku mulai resah dan gundah.

Tak lama kubuka statusmu dan kubaca: “Bertahan pada seseorang yang sama sekali tidak ada kata serasi dan terlampau jauh perbedaan latar belakang adalah seperti menggenggam bara api dalam telapak tangan: harus dibuang dan diobati lukanya.”

Menangis aku ditikam oleh kata-katamu. Tak lama kau blokir pula nomorku. Sebagai seorang pecinta, aku gagal membuatmu –yang kuanggap sebagai kekasih– merasa aman dan nyaman denganku. Dongeng yang kuyakini dapat membuatmu menjadi lebih baik, ternyata sama sekali tidak.

***

Aku sedang berada di kamarku, menangisimu. Kangen dan rindu padamu kurasai. Berdiri semua bulu kudukku, merasa gamang mencintai lagi. Aku sadar, kini dongengku tiada lagi kau butuhkan sehingga tidak pula kau dengarkan. Meski begitu, di kamar ini, aku mendongengimu dalam ilusi. Sebagai pecinta, begitulah keadaaanku saat satu-satunya caraku –mendongengimu– berlama-lama ngobrol denganmu kau patahkan.

***

Seminggu setelahnya, aku melihat status whatsapp Kamila: kau bermesraan dengan laki-laki yang lebih tampan, mapan, glamour, kaya. Aku merasa bahagia. Setidaknya, kau lebih bahagia di samping laki-laki itu daripada denganku yang kotor dan kumal, bukan?

ilustrasi: warrior karya jean-michel basquiat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan