Dinamika Fatwa Ulama Indonesia tentang Kepemimpinan Perempuan

Menurut sebagian orang, perempuan dipandang sebagai manusia inferior. Perempuan dipandang tidak memiliki kecakapan untuk menjadi pemimpin. Pandangan-pandangan tersebut biasa dilontarkan dengan mengatas namakan Islam. Padahal Islam memandang antara perempuan dan laki-laki secara adil tanpa membeda-bedakan.

Ulama Indonesia dalam masalah kepemimpinan perempuan memiliki dinamika tersendiri. Tepatnya saat Megawati mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Saat itu, bermunculan fatwa dari para ulama Indonesia mengenai hukum perempuan menjadi presiden.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Fatwa pertama kali muncul dari sekelompok ulama Madura yang menyelenggarakan musyawarah guna membahas pencalonan Megawati. Dari musyawarah tersebut, muncul sebuah fatwa bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin tertinggi suatu negara berdasarkan pendapat mayoritas fukaha. Mereka juga menambahkan bahwa Megawati tidak memiliki kecakapan untuk memimpin Indonesia.

Fatwa juga muncul dari sebagian ulama Nahdlatul Ulama (NU). Sebagian mereka berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa suatu kaum tidak akan beruntung jika dipimpin oleh seorang wanita. Namun sebagian ulama NU lain mendukung pencalonan Megawati.

Dinamika ini mencuat sampai ke manca negara, sampai fatwa-fatwa ulama Indonesia mendapat respons dari Syaikh Yusuf al-Qordhowi. Beliau merespons bahwa tidak semua ulama sepakat atas keharaman perempuan menjadi pemimpin tertinggi negara. Ada ulama lain yang memperbolehkan, seperti Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim dalam hal-hal yang berkenaan langsung dengan perempuan seperti urusan rumah tangga dan urusan perdagangan. Bahkan Imam Thabari memperbolehkan perempuan sebagai pemimpin secara mutlak, dalam bidang apapun.

Artinya, Syaikh Yusuf Qordhowi ingin menekankan bahwa keharaman perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah hal yang mujma’ alaih (konsensus), sehingga masih membuka banyak ruang untuk dikaji ulang.

Hadis yang dijadikan rujukan oleh mayoritas ulama adalah sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:

لم يفلح قوم ولوا امرهم النساء

Artinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan”

Hadis tersebut dari segi kalimatnya sangatlah multi tafsir. Mayoritas ulama memahami hadis tersebut sebagai kalimat yang umum sehingga berlaku ke semua perempuan. Semua perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara.

Sedangkan, sebagian ulama lain, seperti Syaikh Sayyid Thonthowi, memahami bahwa hadis tersebut tidak ditujukan untuk memberi hukum kepada wanita, akan tetapi yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad dalam hadis tersebut hanyalah memberi kabar bahwa terdapat suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan kemudian dia tidak beruntung.

Pendapat kedua semakin diperkuat dengan isyarat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang menceritakan pada era Nabi Sulaiman terdapat wanita yang menjadi ratu, yaitu Ratu Balqis. Ditambah lagi Sayyidina Umar pada masa kekhalifahannya mengangkat seorang wanita menjadi staf menteri perdagangan pada era kekhalifahannya.

Menurut penulis, seharusnya siapapun yang mengeluarkan fatwa haruslah mengetahui realitas sosial terlebih dahulu sehingga bisa memberikan fatwa yang tepat bagi masyarakat.

Hukum perempuan menjadi pemimpin -mungkin- sekarang tidak haram lagi. Sebab, sekarang wanita memiliki kesempatan pendidikan dan jenjang karier yang sama sebagaimana laki-laki. Wallahua’lambishowab

Multi-Page

Tinggalkan Balasan