Menurut sebagian orang, perempuan dipandang sebagai manusia inferior. Perempuan dipandang tidak memiliki kecakapan untuk menjadi pemimpin. Pandangan-pandangan tersebut biasa dilontarkan dengan mengatas namakan Islam. Padahal Islam memandang antara perempuan dan laki-laki secara adil tanpa membeda-bedakan.
Ulama Indonesia dalam masalah kepemimpinan perempuan memiliki dinamika tersendiri. Tepatnya saat Megawati mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Saat itu, bermunculan fatwa dari para ulama Indonesia mengenai hukum perempuan menjadi presiden.

Fatwa pertama kali muncul dari sekelompok ulama Madura yang menyelenggarakan musyawarah guna membahas pencalonan Megawati. Dari musyawarah tersebut, muncul sebuah fatwa bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin tertinggi suatu negara berdasarkan pendapat mayoritas fukaha. Mereka juga menambahkan bahwa Megawati tidak memiliki kecakapan untuk memimpin Indonesia.
Fatwa juga muncul dari sebagian ulama Nahdlatul Ulama (NU). Sebagian mereka berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa suatu kaum tidak akan beruntung jika dipimpin oleh seorang wanita. Namun sebagian ulama NU lain mendukung pencalonan Megawati.
Dinamika ini mencuat sampai ke manca negara, sampai fatwa-fatwa ulama Indonesia mendapat respons dari Syaikh Yusuf al-Qordhowi. Beliau merespons bahwa tidak semua ulama sepakat atas keharaman perempuan menjadi pemimpin tertinggi negara. Ada ulama lain yang memperbolehkan, seperti Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim dalam hal-hal yang berkenaan langsung dengan perempuan seperti urusan rumah tangga dan urusan perdagangan. Bahkan Imam Thabari memperbolehkan perempuan sebagai pemimpin secara mutlak, dalam bidang apapun.
Artinya, Syaikh Yusuf Qordhowi ingin menekankan bahwa keharaman perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah hal yang mujma’ alaih (konsensus), sehingga masih membuka banyak ruang untuk dikaji ulang.