Dilema Spiritualitas Agama dan Seksualitas

1,604 kali dibaca

Emile Durkheim, sesorang sosiolog asal Perancis, mengatakan, bahwa agama menjadi sangat fungsional sebagai perekat batin masyarakat dalam menjaga nilai dan norma sosial. Namun, saat ini banyak masyarakat yang salah menafsirkan agama; bagaimana agama bekerja sebagai ruang tatanan hidup atau di mana keyakinan itu tercipta dalam dirinya. Agama di era modern ini sering dinodai oleh berbagai konflik keagamaan, merosotnya moralitas dan norma-norma sosial masyarakat setempat.

Bagaimana spiritualitas agama di era modernisasi? Auguste Comte secara tidak langsung pernah menyinggung bahwa di peradaban manusia modern, agama akan luntur eksistensinya. Ini sejalan dengan bagaimana kekuatan agama tak lagi berfungsi sebagai landasan spirtualitas.

Advertisements

Spiritualitas mengalami penurunan parah. Salah satu penyebabnya, menurut Ali A. Allawi dalam bukunya Krisis Peradaban Islam, ialah adanya kepentingan politik yang mengedepankan pragmatisme dan mengesampingkan nilai-nilai moral.

Krisis spiritualitas juga dikarenakan kuatnya dominasi sekularisme. Tidak sedikit orang menganggap agama sebatas urusan pribadi dengan Tuhan, terlepas dari seluk-beluk dan lika-liku sosial. Akibatnya, sosialitas mereka diatur oleh opini bersama yang boleh jadi bersumber dari hasrat yang menipu. Hal ini yang menyebabkan beberapa dari mereka tidak mempedulikan aspek spiritualitas pada diri mereka dan sebagian dari mereka bahkan ada yang berterus terang bahwa mereka tidak mempercayai adanya Tuhan.

Pun juga, beberapa oknum memperalat agama sebagai tirai yang menutupi kemunafikannya. Kemunafikan berkedok agama tentu memiliki kekuatan persuasif yang kuat, bahkan dapat melampaui kekuasaan politik. Pasalnya, agama berpayungkan legitimasi ketuhanan, sehingga agama yang diperalat demi kepentingan ini terkesan sebagai keharusan yang tidak bisa diganggu gugat. Tulisan ini akan membidik topik terakhir ini sebagaimana akan diulas sebagai berikut.

Dilema antara Spiritualitas dan Seksualitas

Sebagian, bahkan boleh jadi sebagian besar dari masyarakat awam saat ini, tampaknya telah terpengaruh sekularisme. Pada gilirannya, mereka kurang tertarik untuk terikat dengan yang namanya agama. Akhirnya, moralitas dan norma sosial yang terkandung dalam agama terlupakan.

Pada masa modern ini, masyarakat seperti kembali mengalami era kegelapan atau era jahiliyah. Dalam arti, mereka tak ubahnya manusia pada masa dulu yang banyak mengalami tragedi sosial. Salah satunya ketertindasan perempuan, penindasan terhadap kaum bawahan, dan telantarkannya moral secara umum.

Akhir-akhir ini, misalnya, masyarakat seringkali digegerkan oleh tindak asusila yang dilakukan oleh oknum-oknum ustaz. Contoh, Herry Wirawan, salah satu ustaz di Cibiru, Bandung, telah memerkosa 12 (sebagian sumber menyebut 13) santriwatinya, bahkan 8 darinya melahirkan. Rata-rata usia korban kisaran 13-16 tahun.

Tidak hanya itu, kasus terbaru terungkap di Beji, Depok, Jawa Barat. Guru ngaji berinisial MMS mencabuli 10 anak muridnya. Adapun, korban kasus ini rata-rata berusia 10 tahun, sedangkan sebagian kecilnya berumur 15 tahun.

Kasus-kasus pencabulan seperti ini semakin membuat geram, karena pelaku berafiliasi dengan agama yang semestinya menjunjung tinggi tata krama.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan betapa agama kekurangan elan vital dalam membumikan norma, dan menampilkan betapa seksualitas mampu menaklukkan kewarasan, bahkan bagi seorang ustaz. Mengapa ustaz masa kini bisa ditaklukkan oleh seksualitas, padahal mereka adalah teladan spiritualitas?

Secara umum, kekuatan seksualitas di masa kini berakar pada kapitalisme. Secara singkat, kapitalisme “menuhankan” keuntungan. Karena keuntungan yang dituhankan, maka konsekuensinya, moralitas agama boleh dilanggar, asalkan mampu menyita keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu komoditas yang amat menjajikan keuntungan adalah seksualitas.

Nur Syam dalam karyanya, Agama Pelacur, menyebut bahwa sekarang ini seksualitas seakan bukan hal yang tabu lagi. Seksualitas telah menjadi komoditas. Dalam keadaan seperti itu, tentu orang beragama dapat dirangsang untuk berbuat mesum. Akibatnya, orang beragama berada dalam situasi yang dilematis; antara teguh memegang agama atau larut dalam godaan seksualitas.

Dalam keadaan dilematis ini, bagaimana memahami dan menempatkan agama agar agamawan tidak menjelma penjahat agama, karena – meminjam istilah Kimball – mengatasnamakan agama? Pun juga, agar orang beragama tidak terjerumus total dalam seksualitas? Apakah moralitas agama perlu dipaksakan tanpa melihat keadaan dilematis ini atau moralitas agama perlu ditafsirkan kembali agar sesuai dengan situasi dan kondisi terkini?

Fanatisme atau Reinterpretasi Etiket Agama

Subbab tersebut pada hakikatnya berisi dilema. Orang beragama dihadapkan pada pilihan yang dilematis; antara teguh mempertahankan spiritualitas atau larut dalam derasnya godaan seksualitas. Spiritualitas adalah keharusan, sedangkan seksualitas adalah kebutuhan. Ironisnya, seksualitas dewasa ini – sebagai contoh – disusupkan dalam dunia ekonomi, sehingga sudah wajar, perempuan-perempuan cantik berseliweran mendampingi iklan produk-produk industri besar.

Industri besar menancapkan pengaruh kepada dua pihak. Pertama, para buruh atau pekerja. Kedua, para konsumen. Para buruh dibiasakan mempromosikan sesuatu yang berbau seksual dalam produksi barang, sedangkan para konsumen dicekoki pikirannya oleh tampilan wanita menawan saat melihat produk yang dipasarkan. Jadi, lengkaplah sudah kekuatan seksualitas dalam mencengkeram psikologi manusia, khususnya manusia beragama.

Dalam keadaan itu, sikap agamawan terhadap keadaan dilema spiritualitas dan seksualitas terbagi kepada dua. Pertama, sikap fanatis yang diwakili kalangan mainstream. Fanatisme adalah kehendak untuk mempertahankan kepercayaan, norma, aturan, dan pakem yang baku dalam agama. Seksualitas dalam kacamata Indonesia yang notabene adalah muslim merupakan perkara yang tabu, sehingga seharusnya tidak ditampilkan ke publik. Tentu saja, sebagian besar muslim Indonesia akan cenderung menyalahkan seksualisasi sektor kehidupan. Fanatisme tersebut mewujud dalam aksi pengharaman, pengekangan, bahkan persekusi terhadap pihak yang mempromosikan seksualitas. Fanatisme tidak jarang mengental menjadi fanatisme buta.

Fanatisme seperti solidaritas mekanik yang dinyatakan oleh Durkheim, yaitu didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness), yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata pada warga masyarakat”. Fanatisme ini akan menyamarkan sifat asli individu dalam kelompoknya, karena karakteristik kelompok yang diikuti oleh individu tersebut lebih mendominasi.

Akibatnya, setiap tindakan yang dilakukan oleh individu akan lebih mengikuti tindakan yang akan dilakukan oleh kelompoknya, sebagai perwujudan dalam mematuhi peraturan kelompok yang sudah disepakati bersama. Tindakan yang mereka lakukan tidak jarang menggunakan kekerasan sebagai cara dalam menyikapi perbedaan yang ada, karena orang  yang memiliki sifat ini akan memiliki keyakinan bahwa kelompoknyalah yang paling benar.

Kedua, sikap reinterpretatif yang diwakili oleh kalangan kiri. Kalangan kiri kerap dipahami sebagai kelompok yang melawan kemapanan kelompok dominan. Kelompok dominan agama menempatkan agama sebagai keharusan yang tidak boleh tidak. Sementara kelompok kiri lebih menitikberatkan argumen pada kebutuhan atau secara umum hak asasi.

Seksualitas adalah kebutuhan. Karena ia merupakan kebutuhan, maka seksualitas di zaman modern tidak perlu disingkirkan. Akan tetapi, ia mesti dirangkul, bahkan dipertahankan, tentunya dalam koridor yang relevan dengan hakikat agama.

Sikap reinterpretatif mencoba memaknai ulang keharusan agama yang bertentangan dengan kebutuhan zaman sekarang. Pemaknaan ulang itu bermuara pada bagaimana menjadikan spiritualitas berdampingan dengan seksualitas. Jadi, sikap ini lebih mengutamakan situasi atau keadaan di era modern dalam memhami suatu agama. Ini menunjukkan bahwa sikap ini tidak berat sebelah pada spiritualitas dan norma sosial agama, tetapi ini lebih ke hak asasi manusia.

Dalam memandang fenomena spiritulitas agama dan seksualitas ini, Michel Foucault mengatakan bahwa seksualitas adalah sumber konstruk sosial untuk orang-orang yang mengalami penyimpangan sosial. Hal ini sejalan bahwa dalam kehidupan manusia mestinya menafsirkan ulang, bagaimana agama itu bekerja dalam kehidupan manusia, agar tidak mengesampingkan nilai dan norma sosial yang terjadi saat ini.

Maka kemudian, seharusnya hal ini tidak menafikan agama sebagai simbol keuntungan pribadi saja. Akan tetapi, agama mestinya kemudian berfungsi untuk mengontrol ambisi kekuasaan manusia. Misalnya, sebagai manusia yang mempunyai moralitas dan norma sosial yang mumpuni ini seharunya mengetahui atau mengimplemantasikan suatu nilai spiritualitas agama, bukan kemudian memperalat manusia sebagai bahan uji coba dalam mengakomodasi kekuasaan di era modern ini, tanpa mengenal batas.

Hal ini memang tidak dapat dimungkiri jika sesorang terpengaruh dalam membentuk realitas sosial-kultural, bahwa agama saat ini yang menjadi tumpuan atas motif di mana seseorang menganggap bahwa bentuk spiritual dijadikan sebagai kemasan dalam adaptasi terhadap era modern. Sehingga kemudian memahami agama dengan adanya kepentingan atau kekuasan tanpa mendalami unsur-unsur yang ada dalam sebuah agama tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan