Pondok pesantren itu mulai tumbuh setelah penjajah meninggalkan tanah kami. Pada masa itu, Belanda pergi dengan Perjanjian Masang; dan Kaum Padri mencoba merangkul Kaum Adat dengan kesepakatan Sumpah Satie Bukit Marapalam: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Namun, perselisihan yang tejadi selama Perang Padri belum sepenuhnya padam. Dendam-dendam masih tertanam. Masalahnya, aku mewarisi gelar adat; dan pemimpin pondok enggan menerimaku menjadi santri karena catatan perselisihan di masa silam.
Orang-orang di kampungku menamai pesantren itu sesuai dengan nama pemimpin pondok. Awalnya, sekolah agama itu disebut Pesantren Buya Mudik. Buya Mudik sering tersiar sebagai pendiri sekaligus pemimpin pondok.
Aku masih mengingatnya dengan jelas. Pagi itu menjadi hari ke-33 setelah pesantren berdiri dan ia berniat mengumumkan sebuah nama. Santri yang tak seberapa telah berkumpul. Orang-orang di kampungku pun ikut berbaris karena ingin menjadi saksi. Namun, ia belum sempat menyebutkan nama, ketika ia terbatuk lalu ambruk dari mimbar. Matanya menerawang, seperti memandang cewang di langit biru. Tak lama, mulutnya mengeluarkan busa dan perlahan-lahan, wajahnya menghitam dan salah seorang santri mengucapkan, “Innalillah ….”
Setelah kematian Buya Mudik, kami menyebut pesantren itu dengan nama Pesantren Buya Maek. Aku meyakini, Buya Maek tidak berniat mengumumkan nama baru untuk tempat suci di kampung kami. Ia tampak senang dengan penyebutan pesantren dengan namanya.
Namun, penyebutan itu pun hanya bertahan selama 33 hari. Buya Maek ditemukan tak bernyawa di dalam kamarnya. Mulutnya berbusa dan wajahnya seketika hitam. Sehitam rambutnya, sehitam kayu dipannya, sehitam wajah Buya Mudik saat kematiannya.
Kendati Buya Maek tampak senang dengan penyebutan nama pesantren dengan namanya, orang-orang di kampung kami kembali sepakat menyebut nama pesantren itu sesuai nama pemimpin barunya. Selama 33 hari, kami menyebutnya dengan nama Pesantren Buya Kubang; Pesantren Buya Ompang 33 hari setelahnya; dan Pesantren Buya Piobang 33 hari sebelum datangnya Buya Ardi—pemimpin pesantren yang bersedia menerimaku.