Di balik derasnya aliran sungai, tersimpan cermin peradaban manusia. Sungai bukan sekadar jalur air, ia adalah sumber kehidupan, saksi sejarah, bahkan penghubung spiritual antara manusia dan Tuhannya. Sepanjang peradaban, sungai menjadi pusat lahirnya kota-kota besar, seperti Sungai Nil yang menghidupi Mesir, atau Sungai Eufrat dan Tigris yang menghidupi Mesopotamia. Dalam konteks Nusantara, sungai pun punya peran penting: dari jalur perdagangan, ladang pertanian, sampai sumber inspirasi budaya dan kesenian.
Namun kini, sungai-sungai kita kian keruh. Bukan hanya oleh limbah industri atau rumah tangga, tapi oleh sesuatu yang lebih dalam dan lebih mengkhawatirkan: lupa. Lupa akan tanggung jawab, lupa bahwa manusia pernah diangkat sebagai khalifah di muka bumi, pemelihara, bukan perusak. Kita terlalu sibuk membangun gedung pencakar langit, tetapi lupa menjaga aliran yang menopang kehidupan. Maka saat Hari Sungai Nasional 27 Juli ini kembali hadir, mari kita berhenti sejenak, menoleh ke arah aliran air itu, dan bertanya dengan jujur pada diri sendiri: apa kabar sungai-sungai kita?

Sungai sebagai Amanah, Bukan Tempat Sampah
Islam memandang alam bukan sebagai objek eksploitatif, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga. Dalam QS. Al-A’raf ayat 56, Allah memperingatkan manusia untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki. Ini bukan hanya perintah ekologis, tapi spiritual: menjaga alam adalah bagian dari ibadah.
Tapi hari ini, betapa sering sungai justru menjadi korban kealpaan manusia. Limbah industri dibuang sembarangan, limbah rumah tangga mengalir tanpa filter, bahkan bangkai hewan dan popok bayi ikut hanyut ke hilir.
Di satu sisi, kita berharap air bersih, tapi di sisi lain tangan kita sendiri yang meracuni sumbernya. Kita marah saat banjir merendam rumah, padahal tak pernah refleksi bahwa saluran air tersumbat oleh sampah kita sendiri. Ironis bukan? Padahal sungai bukan tempat sampah, ia adalah amanah yang harus dijaga. Menodai sungai sama saja dengan menodai janji kita sebagai penjaga bumi.
Mengalirkan Kebaikan, Bukan Pencemaran
Sungai sejatinya adalah simbol aliran kebaikan. Dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, salat lima waktu diibaratkan seperti sungai yang mengalir di depan rumah seseorang, yang dapat membersihkan dirinya lima kali sehari. Ini bukan hanya metafora ibadah, tapi juga mengandung pesan spiritual bahwa kehidupan yang baik adalah yang terus mengalirkan kebersihan, baik fisik maupun hati.
Tapi hari ini, aliran itu mulai keruh. Air sungai berwarna cokelat pekat, berbuih, bahkan berbau. Itu bukan kesalahan alam, melainkan hasil dari akumulasi kealpaan manusia: industri yang tak bertanggung jawab, masyarakat yang malas memilah sampah, dan pemerintah yang abai dalam penegakan hukum lingkungan.
Ketika air tak lagi jernih, mungkin itu cerminan bahwa hati kita juga tak lagi bersih. Bukankah air yang kotor adalah pertanda bahwa kebaikan yang harusnya mengalir dari kita, kini tersumbat oleh kerak keserakahan?
Kesalehan Sosial Dimulai dari Hulu
Kesalehan sosial bukan hanya soal turun ke jalan, membersihkan sungai, lalu pulang membawa foto untuk dibagikan di media sosial. Ia adalah cermin dari kebiasaan kecil yang berakar di rumah-rumah kita. Kita sering terpancing untuk peduli ketika sungai sudah meluap, ketika sampah sudah menggunung, ketika bencana sudah viral.
Tapi bagaimana dengan keseharian yang luput dari kamera? Ketika kita membuang kantung plastik ke saluran air, ketika sisa minyak goreng kita siram begitu saja ke wastafel tanpa sadar bahwa ia akan mengendap dan menyumbat aliran air di bawah tanah.
Dalam Islam, kesalehan tidak sekadar vertikal, tidak hanya ibadah antara hamba dan Tuhan, tetapi juga horizontal antara manusia dan lingkungan tempat ia berpijak.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kebersihan adalah sebagian dari iman,” dan itu bukan hanya tentang membersihkan diri sebelum salat, tetapi menjaga lingkungan tetap layak ditinggali.
Seperti halnya air sungai yang mengalir dari hulu, niat dan kebiasaan baik pun mengalir dari perkara kecil yang kita lakukan setiap hari. Maka jika hulu, yakni hati, rumah, dan perilaku kita penuh sampah, jangan heran jika hilir, yakni masyarakat dan lingkungan dipenuhi dampaknya.
Menghidupkan Kembali Sungai dalam Peradaban
Dalam sejarah Islam, sungai dan sumber air bukan sekadar jalur transportasi atau lokasi pemukiman, tetapi bagian dari kehidupan yang sakral. Rasulullah SAW melarang keras pemborosan air, bahkan ketika berwudhu dengan air yang mengalir.
Di masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umar bin Khattab membuat regulasi agar air tidak dimonopoli oleh segelintir orang. Sungai dijaga sebagai bagian dari hak umum (haq al-‘ammah)—suatu konsep bahwa air adalah milik bersama yang tak boleh dirusak atau diprivatisasi.
Namun hari ini, sungai di Indonesia justru menjadi saluran pembuangan. Ia tidak lagi menjadi pusat kehidupan, melainkan halaman belakang yang dibuang dari ingatan. Mari bayangkan kembali kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Palembang di mana sungai menjadi ruang interaksi: tempat belajar anak-anak, tempat refleksi spiritual, tempat rekreasi keluarga, hingga pusat ekonomi UMKM.
Semua itu bukan utopia jika kita memiliki kesadaran yang tepat. Tapi itu hanya mungkin terjadi jika kesadaran kita berubah: dari sekadar marah ketika bencana datang, menjadi sadar bahkan ketika masalah belum terlihat. Peradaban besar tidak dibangun dengan amarah sesaat, tetapi dengan kesadaran kolektif yang konsisten.
Jangan Marah di Hilir Jika Lupa di Hulu
Setiap kali banjir datang, kita mencari kambing hitam. Pemerintah salah. Pendatang salah. Industri salah. Tapi jarang sekali kita mau bercermin. Apakah kita sudah memilah sampah? Apakah kita sudah bijak menggunakan air? Apakah kita peduli dengan hutan di hulu yang digunduli atas nama investasi?
Dosa ekologis bersifat kolektif. Dan seperti kata ulama, “Diam terhadap kezaliman adalah bentuk kezaliman itu sendiri.” Maka menutup mata terhadap kerusakan alam termasuk sungai adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Tuhan sebagai khalifah di bumi. Islam mengajarkan “al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi”, seorang Muslim adalah mereka yang tidak menyakiti orang lain dengan lisannya maupun tangannya. Tapi apakah kita sadar bahwa sungai yang rusak karena ulah kita juga menyakiti sesama manusia, melalui banjir, penyakit, dan krisis air bersih?
Hari Sungai Nasional seharusnya tidak berhenti pada selebrasi dan seremoni. Ia adalah momen muhasabah, sebuah refleksi apakah kita masih pantas tinggal di bumi yang telah kita lukai berkali-kali. Sebab kerusakan tidak pernah datang tiba-tiba, ia adalah akumulasi dari kealpaan yang disengaja.
Sebelum Hilir Marah
Air adalah rahmat, namun rahmat yang kita khianati bisa menjadi murka. Seperti sungai yang awalnya membawa kehidupan, tetapi kini membawa penyakit dan bencana. Maka, jangan tunggu sampai air meluap ke dada, sampai kota lumpuh, dan sungai benar-benar mati, baru kita merasa bersalah.
Hari Sungai Nasional ini harus menjadi peringatan keras, bukan hanya perayaan. Sebab jika kesadaran kita tetap sebatas reaktif, maka siklus kerusakan akan terus berulang. Mari mulai dari hulu, dari rumah, dari hati, dari cara kita berpikir. Sebab saat hilir marah, jangan-jangan itu karena terlalu lama kita lupa di hulu.