Setiap awal tahun ajaran, seragam baru berkibar di jalan-jalan menuju sekolah dan pondok. Anak-anak melangkah dengan wajah bersih, tas baru, dan secarik harapan di mata.
Di pinggir jalan, para orang tua melambaikan tangan sambil menyembunyikan rasa haru, dan dalam hati mereka berdoa agar anaknya bisa bertahan di dunia baru yang penuh tantangan.

Tapi di balik kerapihan itu, ada banyak cerita yang tak kasat mata: perjuangan orang tua menggadaikan motor demi membayar uang pangkal, santri baru yang menahan tangis di malam pertama, hingga siswa yang hanya bisa bertahan berkat satu lembar beasiswa. Tak semua anak datang dari garis start yang sama, dan tak semua senyum serapi lipatan seragam yang mereka kenakan.
Masa Ta’aruf atau Masa Orientasi Siswa (MOS) seharusnya menjadi momen transisi yang ramah, tempat anak-anak bisa mengenal lingkungan dan aturan baru tanpa tekanan. Namun bagi sebagian dari mereka, ini justru menjadi titik awal dari perjumpaan dengan kenyataan hidup yang tidak selalu adil. Ada yang harus menelan perasaan asing di tengah keramaian, ada yang membawa beban rumah tangga hingga ke gerbang sekolah, dan ada pula yang langsung diuji oleh kesenjangan sosial yang terasa diam-diam tapi nyata. Saat sebagian bisa menyambut hari pertama dengan semangat, sebagian lain diam-diam belajar bertahan. Orientasi bukan hanya soal jadwal kegiatan atau nama-nama guru, tapi juga tentang bagaimana anak-anak itu dipeluk atau dibiarkan sendiri, oleh sistem pendidikan kita.
Biaya Menyesakkan, Mimpi Dipaksakan
Masuk sekolah atau pondok baru kerap diwarnai dengan tumpukan tagihan: seragam, buku paket, alat ibadah, hingga uang pembangunan. Di media sosial, kita melihat anak-anak berswafoto dengan seragam rapi dan caption berbunyi “semangat sekolah!” Tapi di balik layar itu, ada orang tua yang menahan napas di depan meja warung sembari menghitung ulang isi dompet. Tak sedikit yang harus menjual cincin kawin, menggadaikan motor satu-satunya, atau mencari pinjaman dari koperasi simpan pinjam dengan bunga mencekik. Semuanya demi satu tujuan sederhana namun berat: memastikan anak mereka tak ketinggalan start dalam perlombaan hidup. Sementara itu, pihak sekolah seringkali tak sepenuhnya menyadari bahwa bagi sebagian keluarga, formulir pendaftaran saja sudah cukup bikin pusing.
Beasiswa memang hadir sebagai solusi, tapi jalan menuju sana seringkali berliku. Banyak keluarga tak familiar dengan istilah “berkas administrasi lengkap” atau “pengisian daring”, apalagi jika ayah dan ibu hanya tamatan SD. Tak jarang, siswa yang sebenarnya paling layak justru terganjal prosedur teknis, sementara mereka yang lebih beruntung dari sisi sosial justru lebih cepat mengakses bantuan.
Situasi tersebut menciptakan jurang yang semakin lebar, antara mereka yang bisa sekolah dengan tenang, dan mereka yang harus menanggung kecemasan setiap awal bulan. Di dunia pendidikan yang seharusnya menyamaratakan peluang, realitanya mimpi tetap punya harga. Dan bagi banyak keluarga kecil, harga itu seringkali terlalu mahal.
Adaptasi yang Menyakitkan
Bagi banyak santri baru, malam pertama di pondok adalah malam sunyi yang terasa bising di dalam dada. Rasa asing menggantikan kenyamanan rumah, dan suara azan yang dulu akrab kini terdengar menggema dari speaker yang tak dikenal. Mereka bangun sebelum fajar, berlari ke kamar mandi bersama belasan orang, dan belajar menyesuaikan diri tanpa pelukan ibu.
Di balik canda para senior, terselip tatapan kosong santri kecil yang belum tahu harus curhat ke siapa. Tak sedikit yang diam-diam menangis di bawah selimut tipis, mencoba tegar meski tak tahu berapa lama akan bertahan. Semua berlangsung begitu cepat, tanpa banyak waktu untuk memahami bahwa hidup mereka baru saja berubah.
Sementara itu, di sekolah-sekolah, transisi juga menyisakan luka-luka kecil yang kadang tak tampak. Anak dari kota besar bertemu dengan teman dari kampung kecil, yang terbiasa gadget bertemu dengan yang baru pegang kalkulator. Aksen, gaya bicara, hingga kebiasaan makan bisa jadi bahan candaan, dan mereka yang pendiam sering tak mampu membela diri.
Masa orientasi seharusnya menjadi jembatan untuk saling mengenal, tapi kadang justru jadi pagar tinggi yang membatasi rasa nyaman. Banyak siswa dan santri yang merasa “sendirian di tengah ramai”, menahan semua dalam diam karena takut dianggap lemah. Adaptasi semestinya dibantu dengan empati, bukan dipaksa dengan tekanan.
Wajah Lain dari Masa Orientasi
MOS atau Masa Ta’aruf kerap digambarkan sebagai ajang pengenalan—tapi realitas di lapangan sering kali berkata lain. Di beberapa sekolah atau pondok, kegiatan ini malah berubah wujud menjadi ajang unjuk kuasa. Senioritas yang tidak terkontrol, tugas-tugas aneh yang tidak ada relevansinya dengan pembelajaran, hingga tekanan emosional yang disamarkan sebagai “proses pembentukan mental.” Semua dibungkus dengan istilah “tradisi,” padahal di dalamnya ada luka, rasa takut, dan trauma yang diam-diam tumbuh di hati anak-anak yang baru menginjakkan kaki di dunia baru.
Padahal, orientasi mestinya menjadi ruang pertama untuk menyambut, bukan menghakimi. Pendidikan tidak lahir dari rasa takut, tapi dari rasa percaya. Kini, beberapa lembaga mulai mengubah pendekatan: mengganti hukuman dengan permainan kolaboratif, menghadirkan konselor sejak hari pertama, serta menyediakan forum reflektif yang ramah mental. Pendekatan seperti ini bukan berarti melemahkan, melainkan memperkuat fondasi keberanian dan kenyamanan siswa sejak awal. Dan semestinya, pendekatan seperti ini menjadi standar, bukan pengecualian langka.
Beban Ganda Orang Tua
Ketika seorang anak mulai memasuki masa pendidikan baru, yang ikut memulai babak baru sebenarnya bukan hanya mereka, tapi juga orang tua mereka. Di balik rapi seragam dan senyum saat upacara pembukaan, ada ayah yang rela lembur untuk membayar uang masuk, dan ibu yang menahan tangis saat melihat anaknya berangkat ke pondok untuk pertama kalinya. Mereka mungkin tak memahami detail dunia pendidikan modern, tapi mereka memahami cinta dalam bentuk paling tulus: pengorbanan diam-diam.
Namun sayangnya, tak semua institusi menyadari pentingnya keterlibatan orang tua dalam proses ini. Banyak sekolah atau pondok yang masih memposisikan orang tua hanya sebagai pihak yang ‘bertanggung jawab soal biaya,’ bukan sebagai mitra dalam pendidikan. Padahal ketika anak merasa orang tuanya didengarkan dan dilibatkan, ia pun akan merasa bahwa tempat belajarnya adalah perpanjangan dari rumahnya, bukan tempat asing yang membuatnya terasing. Pendidikan yang bermakna hanya bisa tumbuh dari kerja sama, bukan dari jarak.
Awal yang Lebih Manusiawi
Setiap awal tahun ajaran seharusnya menjadi momen refleksi, bukan sekadar rutinitas yang terus diulang. Kita perlu bertanya ulang: apakah sistem orientasi yang dijalankan hari ini benar-benar membantu anak-anak mengenali lingkungan mereka? Apakah nilai-nilai seperti empati, gotong royong, dan rasa aman benar-benar menjadi inti, atau hanya menjadi selipan kecil di tengah agenda padat yang menekan? Jangan sampai semangat menyambut justru berubah menjadi beban tersembunyi.
Sudah saatnya lembaga pendidikan, pengurus pondok, guru, dan para senior menyadari bahwa mereka sedang berhadapan dengan jiwa-jiwa muda yang sedang mencari pijakan pertama. Mereka tidak butuh bentakan untuk belajar disiplin, tidak butuh tekanan untuk memahami nilai. Yang mereka butuhkan adalah bimbingan yang manusiawi, komunikasi yang jujur, dan lingkungan yang mau menerima mereka apa adanya. Karena sejatinya, pendidikan bukan tentang siapa yang paling kuat bertahan, tapi siapa yang paling tumbuh menjadi dirinya sendiri.