Di Balik Dinding Kayu

25 views

Pagi itu, jendela rumah tua itu berderit perlahan. Dina membukanya dengan ragu, membiarkan cahaya matahari masuk melalui celah-celah kayu yang lapuk. Rumah warisan ayahnya itu berdiri sunyi di pinggiran desa, dikelilingi pohon jati, ilalang, dan kenangan yang tak pernah sempat ia sentuh kembali sejak kepergian sang ayah lima tahun lalu.

Di luar, embun menempel di daun-daun liar. Ayam berkokok seakan mengabarkan waktu, padahal jam dinding di ruang tengah sudah lama mati. Dina menatapnya sebentar lalu menghela napas. Hari pertamanya mengambil cuti panjang.

Advertisements

Ia menyebutnya “rehat jiwa” saat mengajukan cuti. Alasannya terdengar rapi. Namun sesungguhnya, ia hanya lelah. Setelah bertahun-tahun menukar waktu dengan lembur, mengejar promosi yang terus bergeser, dan mengikuti ritme kota yang tak pernah benar-benar tidur, tubuhnya masih kuat, tetapi pikirannya keruh. Seperti kaca jendela yang buram oleh debu bertahun-tahun.

Dina mencoba bertahan tanpa sinyal, tanpa notifikasi, tanpa alarm. Ia berjalan ke dapur, menyeduh kopi, dan duduk di kursi reyot yang mengeluarkan suara tiap digerakkan.

Pemandangan halaman yang sepi ternyata lebih menenangkan dibanding dashboard laptopnya yang penuh target.

Pada hari ketiga, ia mulai merasa gelisah. Jam terasa lambat. Tidak ada rapat, tidak ada daftar pekerjaan, tidak ada e-mail. Tangannya gatal ingin membuka ponsel, namun layar hanya menampilkan: “tidak ada jaringan”. Ia tersenyum pahit, merasa seperti dipaksa mundur oleh sesuatu yang tahu, betapa butuhnya ia untuk berhenti.

Suatu siang yang lembab, ia berjalan ke pasar. Bukan untuk belanja, hanya untuk berjalan, membiarkan kakinya memutuskan arah. Di ujung jalan kecil yang dilapisi batu-batu kasar, ia melihat sebuah rumah kecil dengan dinding kayu tua. Ada suara ketukan dari dalam. Seorang kakek duduk di teras, menganyam rotan, tenang seperti waktu tidak sedang berjalan.

“Singgah dulu, Nak,” ujar sang kakek tanpa menoleh.

Dina berhenti. Ia ragu, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat.

“Namaku Raji,” kata si kakek, “sudah 40 tahun bikin kursi. Dulu sempat jadi pelukis, lalu tukang kebun. Tapi tangan saya paling cocok untuk anyaman.”

Dina hanya tersenyum dan mengangguk.

Sore itu, mereka tidak banyak bicara. Tapi keheningan terasa nyaman. Dina duduk di bangku kecil, mendengar suara rotan yang dililit, kayu yang diketuk. Waktu tidak tergesa di sana.

Hari-hari setelahnya, ia kembali. Kadang membawa teh manis, kadang hanya duduk di sudut, memandang tangan tua itu bekerja tanpa terburu-buru.

“Tak semua yang lambat itu lemah,” ujar Kakek Raji suatu hari. “Ada hal-hal yang hanya bisa selesai kalau kita tidak memaksanya selesai.”

Dina mengangguk, tapi benaknya tetap mencari padanan kalimat itu dalam bahasa dunia kantoran—tempat target jadi segalanya.

Pada hari ketujuh, Kakek Raji menawarkan Dina untuk belajar.

“Tanganku sudah lelah kadang-kadang. Barangkali kau bisa bantu melanjutkan.”

Dina ragu. Tangannya terbiasa mengetik, bukan menganyam. Tapi ia mencoba. Hasilnya kacau. Rotan terlepas, bentuknya tidak simetris, dan ujung-ujungnya tidak rapi.

Kakek Raji tertawa kecil.

“Yang sederhana justru sering tak dihargai karena kelihatan mudah. Padahal menjaganya tetap sederhana, itu yang sulit.

Sore itu, Dina pulang dengan telapak tangan yang memerah. Tapi ada rasa puas yang tak bisa dijelaskan. Seperti ketika kecil dulu, berhasil membuat pesawat kertas yang bisa meluncur jauh.

Malamnya, ia membuka jurnal lamanya. Di antara catatan strategi pemasaran dan peta kompetitor, ada satu halaman yang menatapnya pelan: “Hal-hal kecil yang bikin bahagia”.

Entahlah, dia pun lupa bagaimana dan kapan dia menuliskannya. Ia pun membaca ulang daftarnya:

Menyiram bunga
– Makan dengan tangan sendiri
– Memeluk ibu sepulang kerja
– Mendengar hujan tanpa melakukan apa-apa
– Menolong orang tanpa pamrih

Dina tersenyum kecil. Ia menulisnya lima tahun lalu. Namun seiring waktu, daftar itu tenggelam oleh rencana-rencana besar. Bahagia yang dulu bisa dicapai dengan secangkir teh dan angin sore, kini terasa seperti barang mewah yang tak bisa dibeli.

Beberapa hari menjelang cutinya usai, Dina kembali ke rumah Kakek Raji. Kali ini, ia ingin membuat satu kursi sendiri, dari awal sampai akhir.

“Untuk apa?” tanya sang kakek.

“Untuk diingat,” jawab Dina.

Hari itu mereka menganyam bersama. Pelan. Lilit demi lilit. Kayu dipahat, rotan dipotong, dan tangan Dina mulai hafal gerakannya. Ia tidak lagi cemas soal hasil. Ia hanya ingin proses itu utuh, tak tergesa.

Ketika kursi selesai, kakek menunjuknya.

“Simpan. Buat tempat kau istirahat saat hidupmu terlalu bising.”

Dina tak kuasa menolak. Ada sesuatu dalam kursi itu—lebih dari sekadar kayu dan rotan. Kursi itu adalah waktu yang dibentuk. Keheningan yang ditata. Dan rasa cukup yang dijahit perlahan.

Pada hari terakhirnya di desa, Dina duduk di kursi buatan tangannya. Ia menyeruput teh, memandangi anak-anak yang berlari di jalan, dan membiarkan angin menari di rambutnya.

Tidak ada e-mail, tidak ada notifikasi, tidak ada kebisingan. Tapi dadanya terasa penuh.

Ia akhirnya sadar: bukan kebahagiaan yang sulit dicapai, melainkan cara kita terlalu sering mencarinya di tempat yang salah.

Kita menumpuk ambisi, mengejar validasi, dan menyebut lelah sebagai keberhasilan. Padahal kadang, cukup adalah ketika kita bisa mendengar detak jantung sendiri tanpa tergesa.

Dina pulang ke kota dengan koper yang sama, tapi jiwa yang berbeda. Kursi itu ia letakkan di sudut ruang kerja. Di hari-hari ketika rapat menumpuk dan jadwal mencekik, ia duduk di sana sejenak. Mengingat bahwa dirinya punya hak untuk diam. Untuk bernafas. Untuk memperhatikan kembali hal-hal kecil.

Suatu malam, setelah semua kerja selesai, ia menulis ulang daftar bahagianya.

Tapi kali ini, ia menambahkan satu hal: Duduk di kursi buatan sendiri, mengingat bahwa hidup bisa terasa utuh tanpa harus selalu terburu-buru.

Sumber ilustrasi: tiktok.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan