Pagi itu, jendela rumah tua itu berderit perlahan. Dina membukanya dengan ragu, membiarkan cahaya matahari masuk melalui celah-celah kayu yang lapuk. Rumah warisan ayahnya itu berdiri sunyi di pinggiran desa, dikelilingi pohon jati, ilalang, dan kenangan yang tak pernah sempat ia sentuh kembali sejak kepergian sang ayah lima tahun lalu.
Di luar, embun menempel di daun-daun liar. Ayam berkokok seakan mengabarkan waktu, padahal jam dinding di ruang tengah sudah lama mati. Dina menatapnya sebentar lalu menghela napas. Hari pertamanya mengambil cuti panjang.

Ia menyebutnya “rehat jiwa” saat mengajukan cuti. Alasannya terdengar rapi. Namun sesungguhnya, ia hanya lelah. Setelah bertahun-tahun menukar waktu dengan lembur, mengejar promosi yang terus bergeser, dan mengikuti ritme kota yang tak pernah benar-benar tidur, tubuhnya masih kuat, tetapi pikirannya keruh. Seperti kaca jendela yang buram oleh debu bertahun-tahun.
Dina mencoba bertahan tanpa sinyal, tanpa notifikasi, tanpa alarm. Ia berjalan ke dapur, menyeduh kopi, dan duduk di kursi reyot yang mengeluarkan suara tiap digerakkan.
Pemandangan halaman yang sepi ternyata lebih menenangkan dibanding dashboard laptopnya yang penuh target.
Pada hari ketiga, ia mulai merasa gelisah. Jam terasa lambat. Tidak ada rapat, tidak ada daftar pekerjaan, tidak ada e-mail. Tangannya gatal ingin membuka ponsel, namun layar hanya menampilkan: “tidak ada jaringan”. Ia tersenyum pahit, merasa seperti dipaksa mundur oleh sesuatu yang tahu, betapa butuhnya ia untuk berhenti.
Suatu siang yang lembab, ia berjalan ke pasar. Bukan untuk belanja, hanya untuk berjalan, membiarkan kakinya memutuskan arah. Di ujung jalan kecil yang dilapisi batu-batu kasar, ia melihat sebuah rumah kecil dengan dinding kayu tua. Ada suara ketukan dari dalam. Seorang kakek duduk di teras, menganyam rotan, tenang seperti waktu tidak sedang berjalan.
“Singgah dulu, Nak,” ujar sang kakek tanpa menoleh.