Di Balik Cita-cita Anak Kecil

2,980 kali dibaca

Jam menunjukkan pukul sebelas pagi. Saya baru saja tiba di TK Islam tempat ibu mengajar. Waktu itu, masih sekitar 30 menit lagi sampai kelas usai. Anak-anak sedang menuliskan cita-cita mereka, sebelum kemudian membacakannya di depan kelas sebagai syarat boleh pulang.

Karena ruang kelas terbatas, maka pihak pengelola TK hanya menerima sedikit peserta didik. Ada 15 murid yang diampu oleh ibu saya di satu-satunya ruang kelas yang ada di dalam bangunan TK. Dari 15 murid itu, 2 di antaranya ingin jadi dokter, 3 orang lain ingin jadi hafiz Qur’an, 2 orang ingin jadi polisi, 3 orang ingin jadi tentara, 3 orang ingin jadi guru, dan 2 orang lain ingin jadi pengusaha.

Advertisements

Pada kesempatan yang berbeda, saya sedang menunggu bibi saya di tempat kerjanya: sebuah SD Islam Terpadu di kawasan metropolis Bekasi. Ada papan visi misi dan tata tertib terpampang di salah satu dinding sekolah. Papan itu intinya memuat tentang orientasi ketauhidan, akhlak, dan penguasaan ilmu pengetahuan-teknologi. Kata ‘kritis’ dan ‘terbuka’ tidak tersebut dalam papan itu.

Sewaktu ishoma di AICIS 2019 silam, seorang sosiolog pendidikan LIPI pernah mengatakan kepada penulis, “Kalau kita main ke salah satu sekolah, di manapun itu, kemudian secara acak kita bertanya ke salah satu murid ‘mau jadi apa?’ kita akan mudah menemukan jawaban ‘mau jadi Youtuber’.”

Kemudian ia mengatakan, “Karena kita tidak tuntas dalam merumuskan esensi ‘manusia Indonesia’, akhirnya lokus ini jadi rebutan banyak kepentingan politik dan identitas. Salah satunya adalah Islam, dengan munculnya narasi-narasi bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertakwa. Akhirnya kita bikin sekolah Islam. Dan kalau kita lihat tujuan pendidikan kita, itu sangat islami karena ada campur tangan Islam politik. Oleh karena itu, ada ciri manusia beriman, bertakwa, dan lain-lain. Padahal, ini indikator yang tak tergapai. Di tambah lagi oleh keterikatannya dengan narasi ‘ kembali ke Islam, ke Al-Qur’an dan ke Hadis’. Pertanyaannya, Islam yang mana?”

Celotehan cita-cita anak-anak merefleksikan imajinasi terdalam tentang konsep masyarakat dan fungsi individu yang dibayangkan oleh dirinya dan tempat ia belajar. Apa yang terjadi di TK tadi mungkin tidak bisa dijadikan generalisasi, tetapi dari situ minimal ada sebuah gambaran bahwa betapa imajinasi anak-anak di sekolah Islam masih terpengaruh oleh imajinasi alam pikiran Orde Baru.

Pada tahun 1970-1990an, keran ekonomi dan modal asing terbuka lebar. Militer juga menggurita dari segi politik struktural hingga diskursif. Totalitarianismenya merentang dari jejaring kuasa relasi, kontrol keamanan wilayah, muatan materi sekolah, hingga tafsir Pancasila.

Di periode ini, laju pembangunan beserta aktivitas ekonomi modern memengaruhi persepsi masyarakat tentang apa itu kemuliaan, kesuksesan, dan kehormatan dari sebuah profesi berdasarkan nilai guna dan orientasi yang sesuai dengan konstruksi sosial Orde Baru berbasis kapitalisme dan militerisme. Hal ini tentu sepenuhnya berbeda dengan Indonesia di masa agraris dulu.

Dalam alam Orde Baru yang kini telah mengkristal, setidaknya ada tiga semangat turunan kapitalisme dan militerisme yang bersembunyi di balik cita-cita anak. ‘Dokter dan pengusaha’ merepresentasikan semangat meritokrasi, yakni sebuah sistem masyarakat yang menghendaki kompetisi berbasis kompetensi. Sistem ini dikehendaki kapitalisme untuk menopang kelancaran modal dan birokrasi. Ketika pendidikan menyajikan kompetensi secara timpang, maka ketimpangan hidup terjadi. Sementara itu, ‘polisi dan tentara’ merepresentasikan heroisme, nasionalisme, dan maskulinitas, yang merupakan perpanjangan dari militerisme.

Sementara itu, ‘hafiz’ adalah profesi yang berasal dari semangat Islamisme, yang baru saja menguat setidaknya dalam dua dekade terakhir. Tetapi, imajinasi tentang ‘hafiz’ kini memiliki unsur ekonomi yang berakar pada menguatnya kesalehan sosial yang ditopang oleh materialisasi agama. Semangat menjadi hafiz, salah satunya, terdorong oleh jaminan kepastian hidup, baik berupa materi dan kehormatan di dunia, ataupun keselamatan di akhirat.

Dunia Orde Baru adalah dunia peralihan dari subsisten-agararis ke kapitalistik-modern. Cita-cita menjadi nelayan dan petani turun menjadi tak membanggakan dan identik dengan kemiskinan. Cita-cita menjadi orang kantoran, dokter, polisi, dan tentara mendapat popularitas di tengah masyarakat modern dan rezim militeristik. Sementara, cita-cita menjadi ilmuan sosial atau filsuf tidak mendapat tempat sebab potensi subversinya dan pertimbangan pragmatis yang tak menjanjikan bagi penghidupan sehari-hari.

Dalam sebuah film animasi anak yang diklaim sebagai animasi Islam terbaik di Indonesia, Nussa Rara (2021), imajinasi yang tampil adalah imajinasi kesalehan, teknokrasi, dan meritokrasi. Film itu bercerita tentang seorang anak muslim bernama Nussa yang berambisi mengalahkan roket milik salah satu kawan sekelasnya yang menurutnya terlalu canggih. Ambisi itu penting bagi Nussa karena menyangkut pertaruhan baik-buruk dirinya di mata penilaian rapor dan sistem perangkingan di sekolah.

Sebagai sebuah produk kebudayaan yang memuat imajinasi komunitas tertentu (Islam), Nussa Rara adalah pucuk dari gunung es soal dominasi pengaruh kapitalisme beserta jejaring meritokrasinya terhadap nilai-nilai dan imajinasi masyarakat Islam modern.

Implikasi atas kemapanan dominasi ini adalah, pertama, timbulnya romantisasi atas teknologi, industrialisasi, dan ekonomi oleh umat Islam. Romantisasinya berakar pada periode abad ke-19 dan ke-20 ketika umat Islam mengalami puncak kemunduran peradaban, sementara Barat dengan pencerahannya (aufklarung) mengalami kemajuan hingga melahirkan industrialisasi yang kini bertahan menjadi agenda dominan di banyak tempat. Industri adalah irisan yang menjembatani antara teknologi dan kapitalisme.

Kedua, adanya romantisasi tokoh sosial-humaniora Islam seperti Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Di mimbar masjid ataupun di sekolah, baik oleh ustaz, ataupun oleh guru agama Islam, nama-nama tersebut sering diglorifikasi sebagai simbol kemajuan, walaupun meneladani ataupun menelaahnya secara serius belum tentu mau dilakukan oleh sebagian tenaga pendidik karena adanya asumsi bahwa sebagian dimensi pemikiran tokoh-tokoh sosial-humaniora Islam itu memiliki potensi menegasi ideologi yang dianut oleh cita-cita institusi pendidikan Islam ataupun tenaga pendidik tertentu.

Ketiga, timbulnya sekat antara ahli agama dan ahli ilmu sosial dalam benak populer. Adanya perlakuan berbeda antara sarjana Islam dan seorang ustaz dari khalayak populer mengantarkan umat Islam pada paradoks soal kepemimpinan otoritas agama. Di satu sisi, timbul keresahan soal ustaz palsu dan konten agama yang dipelintir. Tapi di lain sisi, seorang sarjana yang menyajikan telaah kritis ataupun pengembangan pemahaman teks suci dan keagamaan sering mendapat kecaman sesat tanpa menilik proses metodologis yang ditempuhnya.

Keempat, timbul penyekatan antara masjid dan universitas Islam. Masjid identik dengan ibadah dan kajian ceramah didaktik. Sementara, universitas Islam identik dengan kerja ilmiah terhadap teks keagamaan. Khalayak populer mengasosiasikan masjid sebagai tempat mencetak ustaz. Sementara, universitas Islam, meskipun telah mencetak banyak alumni yang mungkin lebih kompeten dan rendah hati, tapi otoritasnya tidak selalu diakui. Sebaliknya, universitas kadang jadi bulan-bulanan masyarakat Islam dan ustaz tertentu karena kesimpulan penelitian ataupun pengembangan teks agama yang dipublikasinya.

Oleh karena itu, profesor dari sebuah universitas Islam, meskipun ia mahir bahasa arab, Inggris, Jerman, dengan pengalaman studi agama dari Timur hingga Barat, dan dengan kontribusi desain kebijakan keberagamaan ataupun kontribusi kemasyarakatan yang tak tersebut, ia tetap belum tentu masuk daftar cita-cita yang dikehendaki oleh orang tua terhadap anak, karena: pertama, dengan belajar agama secara menyeluruh maka seorang anak harus bersentuhan dengan ilmu sosial dan ketajaman saintifik. Artinya, peluang untuk mempertanyakan apa yang sudah mapan, besar. Oleh karena itu, lebih mudah mengkafirkan seorang profesor daripada mengkafirkan seorang ustaz dengan pengalaman terjemahan.

Kedua, citra asketis dan ilahiyah seorang professor lebih rendah dibanding citra asketis dan aura ilahiyah seorang ustaz atau hafiz. Meskipun belum tentu semua ustaz dan hafiz memiliki kualitas tersebut, namun citra ini cukup persuasif sebagai cita-cita idaman, mengingat balasan dan jaminan ilahiyah yang mengitarinya, walaupun dari segi kompetensi diri, belum tentu menunjang.

Cita-cita yang diucap anak kecil tidak keluar dari ruang hampa. Faktor seperti konstruk sosial, imajinasi orang tua terhadap anak, dominasi paham ideologi, semangat zaman, pola gaya hidup, dan persepsi populer (baik di lingkar teman sebaya ataupun di lingkar orang dewasa yang ditemui si anak) memengaruhi bagaimana si anak membayangkan dirinya; mengartikan makna kemuliaan, kehormatan, fungsi sosial, dan kesuksesan.

Akan tetapi, pada pengertian-pengertian itu sering kali tersembunyi sebuah tendensi yang justru mengarahkan anak sebagai calon pemimpin kemunduran masyarakat. Imajinasi selalu memiliki pola bila dilihat dari gambar besar. Ketika cita-cita polisi, tentara, hafiz, menjadi dominan dan langgeng, sementara cita-cita nelayan dan petani terkesan identik dengan kemiskinan, dan cita-cita sebagai ilmuan sosial nyaris tak pernah tersebut, maka, boleh jadi ada sesuatu yang senyap tapi sekaligus distortif terhadap bayangan dan makna kita tentang membangun masyarakat melalui profesi-profesi tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan