Di pojok rak kayu yang mulai lapuk oleh waktu, sebuah kitab kuning bersampul cokelat tua tergeletak tenang. Di balik halaman-halamannya, tersimpan jejak tinta perjuangan seorang anak muda yang pernah menghabiskan malam-malamnya di bawah temaram lampu minyak. Ia bukan siapa-siapa, kecuali seorang santri yang berangkat ke pesantren membawa satu koper, dua lembar sarung, dan doa seorang ibu.
Menjadi santri bukanlah pilihan yang populer di tengah gempuran dunia modern. Saat teman sebaya sibuk dengan sekolah formal, gadget canggih, dan mimpi menjadi selebgram, ada sebagian anak muda yang justru memilih mondok. Tidur beralaskan tikar, bangun sebelum subuh, dan menghafal matan dalam bahasa Arab gundul yang tak semua orang bisa mengerti.

Mereka tidak dibayar. Mereka tidak tampil di media. Tapi mereka tetap bertahan. Mengapa?
Karena di balik kehidupan sederhana itu, ada cita-cita besar yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata, ingin menjadi orang yang berguna untuk agama, bangsa, dan orang tua.
Kitab kuning adalah teman seperjalanan bagi para santri. Dari Taqrib, Jurumiyah, Tafsir Jalalain, hingga Ihya Ulumuddin, semua menjadi bagian dari lembaran hidup yang tak tergantikan. Dari kitab-kitab itulah santri diajarkan bukan hanya ilmu, tapi juga sikap tawadhu, sabar, jujur, dan tabah.
Yang menarik, kitab-kitab itu tak hanya dibaca, tapi ‘dihidupkan’. Karena santri tidak hanya belajar makna kata per kata, tapi juga menyalin akhlak para ulama yang menulisnya. Kitab bukan hanya ilmu, tapi warisan ruhani.
Namun sesungguhnya, yang paling sakti dari semua bekal santri adalah doa ibu. Ia tak terbungkus dalam koper atau ransel. Ia tidak tertulis di kertas. Tapi ia hadir setiap waktu dalam air mata yang disembunyikan, dalam nasi yang dikirim dengan lauk seadanya, dan dalam sujud panjang di atas sajadah usang.
Ibu para santri tahu bahwa anaknya jauh dari rumah, sering lapar, kadang sakit, dan tak jarang sendirian. Tapi mereka percaya bahwa pesantren adalah jalan suci untuk membentuk manusia yang kuat lahir dan batin. Dan dalam kepercayaan itu, mereka menitipkan anak-anaknya kepada Tuhan dengan keyakinan bahwa doa ibu adalah jembatan antara bumi dan langit.
Di zaman yang serba cepat dan instan, menjadi santri adalah keputusan yang melawan arus. Tapi justru di sanalah terletak kekuatan. Santri diajarkan untuk sabar di tengah kesulitan, istikamah dalam ilmu, dan ikhlas dalam melayani. Bukan untuk popularitas, bukan demi jabatan, tapi demi barokah.
Hari ini, sebagian dari mereka mungkin telah menjadi guru, kiai, politisi, dosen, atau aktivis sosial. Tapi satu hal yang tak berubah yaitu mereka adalah produk dari kitab dan doa ibu.
Kita hidup di masa ketika peran ibu sering terpinggirkan dan ilmu agama dianggap kuno. Tapi kisah para santri adalah pengingat bahwa dua kekuatan itu, antara ilmu dan restu ibu, masih menjadi fondasi paling kuat untuk membangun manusia seutuhnya.
Di balik setiap lulusan pesantren yang berhasil, terselip selembar doa dari seorang ibu yang tak pernah tampil di panggung. Di balik setiap pemahaman kitab yang dalam, ada malam-malam panjang yang ditemani tangis rindu kampung halaman.
Maka ketika kita bertemu santri, jangan hanya lihat sarung dan tasbihnya. Lihatlah lebih dalam, ada kitab di tangannya, dan ada doa ibu yang menopang langkah-langkah sunyinya.