DINDING TANPA KALENDER

32 views

LANGKAH DI UJUNG PAPAN TULIS

Pagi datang bersama bunyi sepatu
menyusuri lorong dengan dinding kusam
dan papan tulis yang mengendap debu.
Di dalam ruang itu,
ada cahaya kecil
yang tak tergantung pada lampu.

Advertisements

Ia hidup dalam mata yang bertanya,
tangan yang mencatat
dan diam yang mengendapkan makna.
Setiap huruf di lembaran lusuh
adalah tangga menuju jendela
tempat dunia tak lagi terasa jauh.

Meski jalan pulang berlumpur
dan perut menahan waktu makan,
langkah-langkah tetap menapak,
karena dalam tiap kalimat
ada api yang tak ingin padam.

Papan tulis penuh coretan
adalah wajah dari semesta yang sedang tumbuh,
dan setiap hari yang dilewati
adalah lembar sejarah
yang tengah ditulis dengan peluh.

DINDING TANPA KALENDER 

Hari-hari tak dihitung dengan angka,
ia hadir dalam cerita yang berganti
di sudut ruang beratap seng
dengan bangku yang telah aus dimakan waktu.

Tak ada lonceng emas
atau karpet merah menyambut pagi,
hanya papan kayu dan kapur
yang berseru dalam sunyi:
segalanya bisa dimulai dari sini.

Ada anak-anak dengan wajah tanah,
membawa harapan dalam tas sobek
dan nama-nama asing di kepala
yang mereka hafalkan
seperti mantra penyala bara.

Waktu berjalan pelan,
namun tak ada yang sia-sia
dalam tiap halaman yang terbuka
karena dunia bisa berubah
dari sebuah kalimat
yang dipahami dengan hati terbuka.

BATU BATA DAN SUARA PENSIL 

Di balik suara pensil yang menyeret pelan
pada kertas lusuh yang penuh garis
terdengar mimpi-mimpi kecil
yang tak henti mengeja hari depan.

Setiap huruf seperti doa
yang disulam dalam diam
mengalahkan kantuk dan lapar
dengan kesungguhan yang tak menawar.

Tempat mereka duduk hanya lantai tanah,
atap pun bersahabat dengan bocor,
namun tak ada yang memudar
dalam nyala mata yang menyimak.

Buku ditutup saat senja jatuh
tapi ingatan tak ikut padam,
karena malam pun terasa terang
bila dalam dada tumbuh keinginan
yang tak bisa dirampas hujan
atau jarak yang terlalu panjang.

JENDELA DARI LEMBARAN KERTAS 

Dunia luas mengintip dari balik
lembaran yang terbuka setiap pagi.
Huruf-huruf seperti batu permata
yang ditemukan di ladang kering,
membuat siapa pun
tak ingin berhenti menggali.

Tak semua jawaban datang cepat,
ada yang perlu dicoba berulang
seperti menghafal nama pulau
atau menakar angka dalam pecahan.

Namun tangan kecil itu tak ragu
menulis meski jari menggigil
dan malam belum usai menagih letih.

Dari balik kacamata retak
atau wajah penuh debu jalan,
mereka melihat jauh ke depan—
lebih jauh dari halaman terakhir
yang sedang mereka baca dengan napas
penuh harap.

SUARA SEPI DI TENGAH PAPAN

Langit belum terlalu biru
saat pintu kayu itu didorong pelan
dengan suara engsel yang menua.
Tak ada suara sorak
hanya desir halaman dibalik
dan napas yang menahan lupa.

Tiap duduk di bangku sempit
adalah janji untuk mencari
walau jawabnya tak selalu hadir cepat.
Garis-garis di dahi tak berasal dari usia
melainkan dari tekad
yang dituliskan dengan suara lirih.

Guratan kapur di papan
mengisi ruang dengan dunia lain
yang tak bisa dijangkau kaki,
namun bisa dirasakan
oleh mereka yang bersedia
membawa pulang cahaya
dari dalam buku.

Hari berganti
namun semangat tetap tinggal
di tiap kata yang masih dicari.

Sumber ilustrasi: Eko Supriyanto on X.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan