Dendam Santri, Doa Kiai

1,363 kali dibaca

Tiap pondok pesantren memiliki kearifannya sendiri, juga para kiainya. Semua akan menjadi bagian dari proses belajar, belajar dari kehidupan. Kearifan salah satu kiai di salah satu pondok pesantren di Jawa ini pernah menjadi bagian dari cerita-cerita lisan yang dituturkan oleh Gus Dur semasa hidup. Beginilah ceritanya:

Lazim, memang, selalu ada santri-santri nakal di pondok-pondok pesantren —namanya juga santri yang rata-rata memang muda usia, remaja, dengan gejolak yang meledak-ledak di tengah proses pencarian jati diri. Karena itu, di kepengurusan pondok pesantren selalu ada bagian keamanan. Yang ditakuti para santri biasanya adalah kepala keamanan pondok.

Advertisements

Tugas bagian keamanan, tentu saja, yang utama adalah menghukum atau men-takzir santri-santri yang melanggar peraturan. Hukumannya macam-macam. Santri yang langganan di-takzir inilah yang di lingkungan pondok disebut santri nakal. Jika kenakalannya sudah pada “tingkat berat”, atau santri-santri tersebut tetap nakal meskipun berkali-kali di-takzir, maka kepala keamanannya akan menyerahkannya kepada kiai. Kiai yang akan menjadi pemutus akhir “akan dibagaimanakan” santri-santri nakal ini.

Nah, dalam cerita ini, suatu hari Pak Kiai meminta kepada keamanan pondok untuk mencatat nama-nama santri yang nakal, dan menyerahkannya kepadanya. Dalam hati, keamanan pondok yakin Pak Kiai akan memberikan hukuman kepada santri-santri nakal ini. Legalah dia, sebab urusan sudah diambil alih oleh Pak Kiai.

Ada banyak nama yang ia catat untuk diserahkan kepada Pak Kiai. Namun, di antara nama-nama tersebut, tercatat ada nama yang sebenarnya bukan tergolong santri nakal. Usut punya usut, rupanya keamanan pondok ini memiliki dendam pribadi dengan santri tersebut. Entah karena urusan apa. Yang pasti, karena rasa dendam itu, dia memasukkan nama santri tersebut ke dalam daftar nama yang diserahkan kepada Pak Kiai agar memperoleh hukuman. Dengan begitu, dendamnya bisa terbalas.

Tapi, sampai beberapa hari kemudian, bahkan setelah lewat sepekan, situasi dan kondisi aman-aman saja. Tidak ada seorang santri pun yang memperoleh teguran atau hukuman dari Pak Kiai. Seluruh nama yang disetor tak terlihat pernah diberi hukuman. Dalam hati, keamanan pondok ini bertanya-tanya: mungkin Pak Kiai lupa sehingga belum memberi hukuman.

Akhirnya, keamanan pondok ini memberanikan diri menghadap dan menanyakan takziran kepada santri-santri yang namanya telah disetor.

“Mohon maaf Pak Kiai, itu soal nama-nama yang sudah saya diserahkan kepada Pak Kiai, bagaimana kelanjutannya,” kata keamanan pondok ini setelah mencium tangan kiainya.

“Oh… itu, tak usah khawatir. Sudah, sudah…,” jawab Pak Kiai kalem.

“Eh… iya Pak Kiai, sudah di…apa…,” terbata keamanan pondok ini menunggu jawaban.

“Oh iya, tiap malam semua santri yang namanya kamu setorkan itu sudah saya doakan. Sudah saya doakan agar punya ilmu yang manfaat dan barokah,” jawan Pak Kiai.

Jleb….

Santri yang menjadi keamanan pondok ini langsung menunduk malu. Niatnya membalas dendam malah berbalas doa dari kiai.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan