Dekat di Layar, Jauh di Hati: Ketika Teknologi Mendistraksi Relasi

Hangatnya percakapan, tatapan mata penuh perhatian, dan kehadiran utuh mulai memudar. Yang menggantikan adalah kepraktisan, sementara keakraban dan keintiman perlahan-lahan pergi menjauh.

Fenomena ini kian marak terjadi di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat relasi tumbuh subur: meja makan keluarga, kedai kopi, hingga kantin sekolah. Indikasinya jelas, semakin banyak orang larut dalam gawai, sedangkan percakapan antarsesama kian kering. Diduga kuat, kecanduan akut terhadap gawai jadi biang penyebabnya.

Advertisements

Laporan tahunan Data.AI pada tahun 2022 mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat pertama dalam hal durasi penggunaan perangkat mobile, seperti telepon pintar dan gadget. Rata-rata masyarakat menghabiskan waktu sekitar 6 jam per hari untuk mengoperasikan ponsel pintar, mengungguli negara-negara seperti Arab Saudi, Argentina, dan Malaysia yang berada di kisaran 5 jam per hari.

Lantas sebuah pertanyaan muncul, apa yang membuat kita begitu lengket dengan layar handphone? Jawabannya terletak pada tiga fungsi dasar yang ditawarkan teknologi: emosional, kognitif, dan praktis.

Dari sisi emosional, gawai menawarkan pelarian cepat dari kesepian dan kegalauan. Ketika perasaan sedang rapuh, galau, hiburan instan bisa ditemukan di platform seperti YouTube, TikTok, atau Facebook. Sehingga, seolah-olah kita merasa ditemani dan dihibur, meskipun sesungguhnya tidak ada interaksi dua arah yang intim.

Demikian dengan aspek kognitif. Teknologi memudahkan kita mengakses berbagai informasi dan gagasan. Bahkan untuk merumuskan ide sudah tersedia kecerdasan buatan berbasis Artificial Intellegence seperti ChatGPT, Gemini, dan lainnya yang bisa diajak berdialog terkait apa saja dan kapan saja.

Hal ini memberi dampak pada pola belajar dan komunikasi, sehingga ruang-ruang interaksi langsung seperti diskusi semakin berkurang.

Sementara itu dari sisi kepraktisan, gawai memudahkan berbagai urusan harian. Belanja, pesan makanan, bayar tagihan, semua bisa diselesaikan dalam hitungan menit hanya dengan beberapa sentuhan jari.

Ketiga fungsi ini menciptakan ilusi kecukupan. Kita merasa semua sudah tersedia dalam genggaman, sehingga menganggap tak perlu lagi bertukar cerita atau bertemu secara langsung. Teknologi telah menawarkan efisiensi dan kemudahan karena teknologi sendiri tidak bisa marah. Ia hanya mesin yang siap menuruti semua kemauan penggunanya.

Namun, di balik kemudahan itu ada sisi negatif yang harus disadari. Sebab, ketergantungan pada gawai berpotensi mengikis kualitas relasi antarmanusia. Individu menjadi lebih tertutup, enggan berinteraksi langsung, dan terbiasa menyingkirkan proses demi hasil instan. Pola pikir serba cepat tanpa usaha yang memadai tumbuh subur dalam lanskap di era digital semacam ini.

Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together, menyoroti pengaruh teknologi terhadap mental manusia masa kini. Ia menulis, “We allow ourselves to be enchanted because the robot offers comfort, not because we are deceived.” Begini kira-kira terjemahan ugal-ugalan-nya, “Daya tarik teknologi bukan karena ia menipu, tapi karena ia menyuguhkan kenyamanan tanpa luka.”

Ya. hal itu disebabkan karena kita menginginkan hubungan yang sepenuhnya bisa dikendalikan, yang tentunya mustahil dilakukan dalam kehidupan nyata.

Mungkin sudah saatnya kita kembali membangun relasi dengan kehadiran utuh. Hadir secara fisik dan perasaan. Hadir seutuhnya, sepenuh jiwa. Maka dari itu kita perlu berbicara dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh tanpa distraksi. Karena relasi yang bernilai tidak dibangun dari signal yang kuat, tetapi dari keterbukaan dan berani terlihat rapuh di hadapan orang lain.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan