Dari Ruang VIP KOMPAS TV ke Pondok Cipasung

Tanggal 16 Mei 2025, seusai menghadiri peluncuran buku Masinis yang Menembus Badai karya Zulfaisal Akbar dan Wisnu Nugroho, saya, KH Said Aqil Siradj, Bang Fachry Ali (yang merupakan tokoh intelektual dari Himpunan Mahasiswa Islam), dan Halim Pohan (Pembina jejaring duniasantri), diajak panitia ke ruang VIP KOMPAS TV. Di ruangan itu kami dijamu makan siang yang sudah disiapkan oleh panitia. Bukan menu makanan yang beragam-ragam yang membuat saya merasa nyaman, tidak ingin beranjak dan ingin lebih berlama-lama berada di dekat dua tokoh intelektual dan agamawan Indonesia ini.

KH Said Aqil Siradj menyampaikan beberapa cerita menarik yang patut disimak dan diamalkan di tengah arus informasi seperti saat ini. Misalnya, bagaimana saat ini kita mesti selektif menjaring informasi dan membaca ilmu pengetahuan yang datang begitu cepat, kadang tidak bisa dikendalikan. Tidak luput dari obrolan di meja makan itu tentang peran para kiai, ulama, dan tokoh-tokoh nasionalis dalam menjaga kesatuan negara Republik Indonesia.

Advertisements

Di sela-sela obrolan yang berlangsung khidmad itu, Kiai Said bertanya tentang aktivitas dan kegiatan saya. Saya ceritakan kepada beliau; saat ini saya bersama teman-teman Semaan Puisi di Serua bikin kegiatan Semaan Puisi yang kegiatan di dalamnya, tiap Kamis malam berdoa, mengaji surat Yasin, kemudian menderas puisi-puisi para maestro, seperti Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, dan penyair-penyair peraih nobel dari belahan dunia, seperti Pablo Neruda, Derek Walcott, Robert Fros, dan lain-lain. Saya juga bercerita bahwa peserta yang hadir dalam Semaan dari berbagai kalangan, dosen, guru, dan mahasiswa.

Kiai Said menanggapi uraian cerita dengan tersenyum, sesekali merespon cerita saya dengan ungkapan, “Bagus, bagus, bagus itu.” Ungkapnya dengan antusias, “Jadi sekarang, belajar apa pun termasuk belajar sastra (puisi) mesti runtut sanad keilmuannya, menghormati dan menggali pengetahuan para pendahulu itu penting sebagai pedoman agar kita tak salah jalan.”

Bang Fachry Ali yang sedari tadi lebih banyak mendengar pun menyela, “Puisi tadi bagus sekali.” Ia menanggapi pembacaan puisi saya yang dibacakan di acara peluncuran buku Masinis yang Melintasi Badai karya Zulfikar Akbar dan Wisnu Nugroho. Dalam acara itu, saya membaca puisi berjudul “Dari Stasiun Blitar”, puisi dengan tema tentang sejarah dan pemikiran Bung Karno (Soekarno) tentang peran dan pentingnya pemuda. Berikut saya kutip puisi yang saya bacakan itu:

Dari Stasiun Blitar

Kereta jurusan sepeluh November
Lintasi empat puluh lima stasiun keheningan
Di jalur-jalur perlintasan perjuangan
Di denyut-denyut stasiun dewangga

Penumpang berselempang selongsong
Sudi kiranya terbangkan burung garuda
Dari lima jendela dan runcing tadabur dalam dada

Penumpang bermantel harapan
Beri tempat sepuluh pemuda
Bersama putra Sang Fajar
‘kan kuguncang dunia rawan

Sepuluh kepalan berdenyut di dada
Sepuluh kepakan nusantara garuda
Sepuluh harapan denyutkan nadi sila
Sepuluh pemuda ‘kan guncang dunia

Penumpang kereta jurusan sepuluh November
Dan jurusan masa depan akan segera tiba
Diharap segala barang bawaan tak tertinggal
Bagi yang hendak turun diharap senyapkan duka
Di depan gerbang stasiun sangsaka impian bangsa

Bagi anda yang hendak melanjutkan perjalanan
Diharap retakkan lima jendela
Juga peta petunjuk arah
Dan sejarah!

***

Halim Pohan yang juga hadir bercerita tentang komunitas Jejaring duniasantri. Ia bercerita tentang bagaimana ia merintis dan menggawangi para penulis muda di komunitas jejaring duniasantri, khususnya santri dalam merawat kreativitas dan intelektual. “Para santri itu hebat-hebat. Mereka menulis berbagai macam tema dengan sudut pandang seorang santri. Setiap hari saya dan teman-teman menerima dan membaca tulisan para santri sebelum kemudian dinaikkan ke website duniasantri.co, media jejaring duniasantri.”

“Oh ya, ya, ya, para santri hebat. Tidak sedikit intelektual-intelektual Indonesia yang lahir dari pesantren,” timpal Kiai Said.

“Teman-teman jejaring duniasantri, kabarnya, sedang melakukan gerakan literasi ke pesantren-pesantren, Kiai,” sambung saya.

“Betul, Buya, teman-teman jejaring duniasantri, aktif melakukan pelatihan di pesantren-pesantren,” sambung Halim Pohan.

“Yang paling penting,” sambung Kiai Said, mantan ketua PBNU selama dua periode (2010-2021), “Teman-teman terus bergerak menyebarluaskan pengetahuan berbasis pesantren sekali pun tidak melalui lembaga NU. Harus istikamah.”

“Mesti bahu membahu menyebarkan ilmu pengetahuan.” Kiai Said juga bercerita tentang pengajian rutin yang beliau lakukan di Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, “Setiap malam Jumat kita mengkaji tafsir.”

Sebagai informasi tambahan terkait dengan kegiatan jejaring duniasantri yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Di antaranya, akan dilangsungkan pelatihan menulis bagi para santri di Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, 28-30 Mei 2025. Pelatihan menulis itu akan dihadir oleh cerpenis dan penyair terkemuka Indonesia, seperti, Putu Fajar Arcana, Hilmi Faiq, Ngatawi Al-Zastrouw (Budayawan Nahdliyin),dan Dahris Siregar (pengelola lembaga riset & publishing Octopus).

Informasi yang penulis dapatkan, pelatihan yang juga digelar dalam rangka Haul Akbar masyayikh dan pendiri pondok Pesantren Cipasung, KH Ruhyat dan KH Ilyas Ruhyat, itu diikuti oleh para santri baik dari santri Cipasung maupun santri dari pesantren-pesantren di luar Singaparna, seperti Cirebon dan Garut.

***

Tidak lama setelah bersua dengan dua tokoh intelektual dan agamawan, KH Said Aqil Siradj dan Bang Fachry Ali, masing-masing dari kami berpamitan. Kepada Bang Fachry Ali, sambil setengah berbisik saya sampaikan, saya sangat merindukan kolom-kolomnya. Kepada Kiai Said, saya memohon doa, semoga saya dan teman-teman Semaan Puisi, dan khususnya, jejaring duniasantri, terus diberi kekuatan untuk istikamah. Aaamin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan