Inti dari kurban adalah ritual keagamaan sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah melalui menyembelih hewan. Namun, di satu sisi, kurban juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini terrepresentasi melalui sikap peduli sosial dengan membagi-bagi daging hewan sembelihan kurban, khsusunya kepada orang yang tidak mampu. Hal ini merupakan ciri khas Islam dalam menunaikan ibadah melalui harta benda; bahwa setiap ibadah yang melibatkan harta akan selalu melibatkan unsur sosial, seperti zakat.
Jika kembali kepada sejarah, kita bisa menemukan sebuah perbandingan antara ritual kurban di masa jahiliyah dengan kurban setelah datangnya Islam. Sejarah mencatat bahwa orang Arab jahiliyah tidak memakan hewan sembelihannya, melainkan mengkhususkan hanya untuk sesembahan kepada berhala-berhala mereka saja. Hal ini mereka lakukan sebagai bentuk sikap kesombongan kepada orang fakir-miskin.

Hal tersebut berbeda dengan ritual kurban yang mengikuti arahan Islam. Dalam sebuah ayat Allah swt berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Artinya: agar mereka menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka, dan mereka menyebut nama Allah di hari-hari yang sudah diketahui untuk hewan-hewan ternak yang Allah berikan kepada mereka. Maka makanlah dari hewan tersebut dan bagikanlah kepada orang yang sangat fakir. (QS: Al-Hajj:28).
Jelas bahwa dalam ayat tersebut ada perintah untuk memakan hewan sembelihannya. Di satu sisi juga ada perintah untuk membagikan daging-daging hewan sembelihan tersebut kepada fakir-miskin.
Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatihul Ghaib, memberi penjelasan terkait ayat tersebut bahwa perintah untuk membagikan hewan kurban tersebut memiliki tiga alasan; pertama, agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh non-muslim (di masa jahiliyah); kedua, mewujudkan egalitarianisme antara kaum elite dan kaum miskin; dan, ketiga, sebagai sikap rendah hati. Ini membuktikan bahwa spirit kurban memiliki prinsip kesetaraan dan spirit kesejahteraan sosial.
Terdapat tiga pendapat terkait memakan hewan kurban dan membagikannya kepada fakir miskin, sebagaimana disampaikan oleh Al-Mawardi dalam kitab tafsirnya, An-Nukat wal ‘Uyun.
Pertama, keduanya sama-sama wajib (dikatakan oleh Abu Thayyib bin Salamah). Kedua, keduanya sama-sama sunnah (pendapat Abul Abbas). Ketiga, sunnah memakannya sendiri dan wajib membagikannya (dikemukakan oleh Imam Asy-Syafi’i).
Meskipun terdapat perbedaan pendapat, kita bisa lihat bahwa hukum wajib untuk membagikan hewan kurban mendominasi secara kuantitas, di mana ia dikemukakan oleh dua ulama. Ini menunjukkan bahwa sikap peduli sosial dalam ritual kurban merupakan bagian yang tak terlepaskan dari penghambaan kepada Allah.
Dalam ayat yang lain Allah menggunakan kalimat al-qani’ dan al-mu’tar. Dalam surat yang sama Allah swt berfirman:
وَالْبُدْنَ جَعَلْناها لَكُمْ مِنْ شَعائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيها خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْها صَوافَّ فَإِذا وَجَبَتْ جُنُوبُها فَكُلُوا مِنْها وَأَطْعِمُوا الْقانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذلِكَ سَخَّرْناها لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: Dan telah Kami jadikan unta-unta itu untuk kamu sebagai bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan sudah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan berilah makan kepada fakir miskin yang tidak meminta-minta dan yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu untuk kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
Kata القانع dalam ayat tersebut, berdasarkan riwayat dari Qatadah, adalah orang miskin yang meminta-minta, sementara المعتر adalah orang miskin yang tidak meminta-minta, sebagaimana kami kutip dalam tafsir Yahya bin Salam sebagaimana diriwayatkan. Ini menunjukkan bahwa spirit kurban tidak pandang bulu; selama ia masuk bagian dari orang miskin, meskipun ia tidak tabah akan keadaannya dengan cara meminta-minta, maka dia adalah orang yang punya hak atas hewan kurban tersebut.
Terkait kesejahteraan sosial bisa kita lihat dari komentar salah seorang penafsir yaitu, Abu Laits As-Samarqandi, dalam kitabnya, Bahrul Ulum. Dalam komentarnya terhadap kalimat لكم فيها خير (pada unta-unta itu terdapat kebaikan untuk kalian), ia mengatakan bahwa kebaikan tersebut adalah pahala untuk bekal akhirat dan beberapa manfaat duniawi. Ini tentunya mengarah kepada sikap seharusnya dari seorang yang berkurban, di mana kesejahteraan sosial merupakan salah satu dari tanggung jawabnya saat itu.
Ajakan peduli sosial ini tidak lain karena pada kurban memiliki manfaat duniawi yang seharusnya disalurkan kepada orang yang berhak sebagai bentuk perhatian akan nilai-nilai kemanusiaan.
Hal menarik lain dari dua ayat tersebut adalah terletak pada penyebutan mustahik daging kurban. Ia hanya terbatas pada satu golongan, yaitu fakir miskin. Tidak sebagaimana dalam ayat zakat, di mana mustahik zakat tidak hanya dari orang fakir miskin, melainkan juga golongan lain, seperti musafir, mualaf, mereka yang ikut perang, dan amil zakat.
Bahkan secara tegas Al-Qordlawi dalam kitabnya, Fiqhu az-Zakat, menegaskan bahwa alokasi zakat kepada kaum mualaf bertujuan untuk menguatkan keyakinan mereka kepada Islam. Ini membuktikan bahwa spirit zakat tidak fokus pada nilai-nilai kemanusiaan. Beda halnya dengan kurban—penyebutan fakir-miskin sebagai mustahik hewan kurban menunjukkan bahwa sebenarnya ritual kurban hanya berfokus pada nilai-nilai kemansiaan melalui sikap peduli sosial.
Fenomena kurban di lapangan tidak hanya melulu soal bagaimana memikirkan nasib fakir-miskin melalui memberi daging. Hal lain dari itu bisa ditemukan pada peternak kecil sapi dan kambing yang umumnya adalah seorang petani, khususnya di desa saya.
Sekilas cerita dari desa saya, bahwa para warga yang umumnya bertahan hidup melalui alam secara langsung, seperti menanam padi, kacang-kacangan dan sebagainya, banyak yang memiliki sapi atau kambing. Sebagai pendapatan sampingan tentunya mereka memiliki tidak dengan jumlah yang banyak, sekitar 2-3 ekor saja. Hal ini mereka lakukan sebagai upaya menabung dengan cara membeli di saat harga murah untuk kemudian dijual di hari raya Idul Adha dengan harga yang sudah dikatakan cukup bagi mereka. Betapa luasnya jangkauan kurban terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, bagi saya, ada beberapa hal yang perlu kita pegang teguh dalam ritual kurban. Kembali lagi pada sejarah, di mana ritual kurban pertama dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang diawali dengan ujian untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail, yang kemudian diganti dengan seekor kambing.
Hal yang dapat kita ambil dari peristiwa sejarah tersebut adalah keikhlasan dan ketabahan hati Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam melakukan penghambaan kepada Allah. Ini adalah wanti-wanti kepada kita bahwa kurban adalah sebuah penghambaan kita kepada Allah, sehingga tidak seharusnya diiringi dengan sifat riya dan pamrih, semuanya karena Allah. Dan, memang demikian seharusnya ibadah—dalam segala jenisnya—terlebih dalam ibadah kurban yang melibatkan manusia.
Di sisi lain ini juga memancing kesadaran manusia akan nilai-nilai kemanusiaan. Keikhlasan orang yang berkurban akan segera menghilangkan kepentingan-kepentingan duniawi, seperti kelas sosial dan lainnya, hingga akhirnya ia tulus dalam membantu masalah kemanusiaan. Inilah yang perlu kita jaga dalam ritual kurban.
Salah satu kekhawatiran terhadap hilangnya rasa ikhlas dalam ritual kurban adalah semakin menguatnya problem kemanusiaan. Logikanya demikian; jika ia dalam ritual kurbannya menggunakan logika dagang, maka ia akan berusaha untuk meraup keuntungan lebih dari apa yang telah ia berikan. Daging kurban yang ia bagikan sebelumnya tak ubahnya modal awal untuk mendapatkan atensi lebih dari masyarakat. Hal ini sangat mungkin terjadi kepada kaum elit di kursi pemerintahan atau yang hendak duduk di kursi pemerintahan. Jadi, hati-hati.