Dari Oase Perjumpaan Para Masyayikh

45 views

*Catatan Kecil dari Santri Kecil untuk KH Wahid Hasyim.

Bismillāh. Dengan menyebut asma Allah yang Maha Menyayangi para pencari ilmu.

Advertisements

Kiai, izinkan saya, santri kecil yang tak banyak tahu ini dan itu, berkirim surat berdasarkan catatan setelah mengikuti diskusi buku Oase Hikmah Para Masyayikh karya Ngatawi Al-Zastrouw di Universitas Wahid Hasyim, Gunungpati, Semarang. Acara itu berlangsung pada hari Selasa, 3 Juni 2025. Kampus ini, seperti Kiai tentu mafhum, berdiri atas nama Kiai, nama yang tak hanya harum tapi juga mewariskan pemikiran dan terobosan dalam sistem pengajaran di pesantren-pesantren Indonesia.

Sebelum acara dimulai, kami sempat mendengar kisah dari Dr KH Imam Fadhilah, Dekan Fakultas Agama Islam di kampus. Beliau bertutur bagaimana nama Kiai akhirnya digunakan sebagai nama universitas. Tak langsung, memang. Perlu sowan dulu ke Jombang dan ke kantor PBNU, menemui Gus Dur—putra panjenengan. Dalam cara khas Gus Dur, jawaban tidak keluar secara eksplisit menyebut nama Kiai, tapi para pendiri membaca isyarat: bahwa nama “Wahid Hasyim” bukan sekadar boleh dipakai, tapi harus dijaga ruhnya.

Ruh itu, saya kira, adalah semangat Kiai dalam mengharmonikan antara keilmuan pesantren dengan semangat zaman modern. Pesantren tak boleh menutup diri dari perubahan, tapi juga tak boleh tenggelam dalam arusnya.

Kiai yang saya hormati,

Saya bersyukur bisa ikut serta dalam acara diskusi buku Oase Hikmah Para Masyayik yang ditulis oleh sosok yang pernah menjadi staf khusus Gus Dur saat memimpin Republik ini. Tidak. Ia bukan sosok yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang dalam irama keseharian hidupnya hanya mengaji, belajar kemudian dan mengaji lagi. Begitu seterusnya.

Ngatawi Al-Zastrouw adalah anak desa, putra dari seorang buruh pabrik gula, yang dalam perjalanan hidupnya menggapai cita-cita harus bergelut sendiri—mencari penghidupan, menabung dari jerih payahnya, bahkan pernah menjadi kenek angkot desa serta kenek truk pengangkut ikan. Semua itu beliau jalani dengan penuh keuletan, sejak masa sekolah di bangku Madrasah Ibtidaiyah hingga kemudian berhasil melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Cerita demikian tentu tidak saya peroleh dari forum-forum diskusi umum. Kisah pribadi semacam ini hanya mungkin saya dengarkan secara langsung dan dengan penuh khidmat dalam pertemuan tatap muka antara saya dan beliau.

Saya juga membayangkan, narasi mengenai para masyayikh yang ditulis dalam buku terbarunya ini bukan semata hasil riset formal, melainkan buah dari keintiman perjumpaan, hubungan baik yang terjalin secara mendalam—bukan hanya dalam acara seremonial atau diskusi ilmiah. Ada pertautan batin yang kuat, yang tampaknya memberi ruh pada setiap lembar kisah dalam buku Oase Hikmah Para Masyayikh.

Namun, tanpa mengurangi rasa hormat saya, bukan soal hubungan personal antara beliau dan para masyayikh yang ingin saya sampaikan dalam surat ini, Kiai. Yang ingin saya garis bawahi adalah pentingnya peristiwa diskusi buku tersebut—buku yang bukan hanya merekam sejarah para masyayikh, tetapi juga menggambarkan cara mereka menanamkan ajaran Islam tanpa mencabut akar tradisi.

Betapa besar manfaatnya, andai jejak pemikiran serta cara para masyayikh menjaga, merawat, dan menyebarkan ilmu serta kearifan lokal turut ditulis dan diwariskan oleh para santri di berbagai pesantren. Baik dalam bentuk tulisan kolom, esai, atau dalam ragam karya lain—semisal syi’ir—yang bisa dilantunkan seperti kidung dan tembang peninggalan Sunan Kalijaga, menjelang waktu salat.

Alangkah indah dan dalam pengaruhnya bagi masyarakat sekitar pesantren. Dengan begitu, masyarakat sekitar pesantren tak hanya mengenal kekeramatan sang kiai secara mistik belaka, tetapi juga memahami bahwa segala sesuatu perlu diupayakan melalui kerja nyata, seperti halnya kisah masa kecil penulis yang harus bersusah payah mencari ilmu, bekerja keras, berdoa, dan bersyukur dalam langkah yang seimbang.

***

Membaca Oase Hikmah Para Masyayikh, saya merasa sedang duduk di serambi pesantren. Kang Zastrouw tidak menulis dari atas mimbar, tapi dari panggung hati. Ia bercerita seperti guru ngaji yang sabar dan bersahaja. Tidak banyak menggurui, tapi mengajak merenung.

Saya, yang pengetahuannya masih sebatas kulit ari ini, teringat pada buku lain yang tak kalah penting: Guruku Orang-Orang Pesantren, karya almaghfurlah KH Saifuddin Zuhri. Di sana ada kisah tentang panjenengan, Kiai, yang sering berkirim surat dengan Kiai Saifuddin di masa-masa genting menjelang dan sesudah kemerdekaan. Bayangkan, dalam keadaan Republik ini terombang-ambing, panjenengan masih sempat mengirim surat. Surat yang tak hanya berisi kabar, tapi juga strategi, harapan, dan doa. Bahasa yang lembut, tapi penuh daya tahan.

Surat-surat itu, Kiai, adalah tonggak sejarah yang sunyi. Saat banyak orang menenteng senjata, panjenengan dan para kiai menenteng pena, mengirim doa, dan menyalakan api semangat. Tanpa suara keras, tapi justru menggema ke dasar nurani bangsa.

Buku Oase Hikmah Para Masyayikh menghidupkan kembali semangat itu. Kang Ngatawi Al-Zastrouw menulis dengan jernih, penuh cinta. Ia berkisah tentang para masyayikh yang menanam dakwah bukan di menara, tapi di hati umat. Ada Syaikh Tubagus Ahmad Bakri, pendakwah yang menjadikan budaya lokal sebagai medium syiar. Ada KH Taufiq dari Wonopringgo, yang membangun pesantren sebagai tempat menyucikan ruhani dari gangguan dunia modern yang gaduh.

Kiai, buku ini memuat banyak nama: Habib Thohir bin Yahya, Habib Luthfi bin Yahya, KH Dimyati Rois, Gus Mus, Mbah Moen, KH Salahuddin Wahid, Gus Nas, Gus Irwan, dan masih banyak lagi. Semuanya hadir bukan hanya sebagai tokoh, tapi sebagai lentera yang menuntun umat—tanpa sorotan kamera, tapi selalu terang di relung hati umat.

Kang Ngatawi menulis, bahwa buku ini adalah upaya menjaga “mata air” agar tidak tersumbat oleh “sampah-sampah peradaban bangsa lain.” Kalimat ini menusuk saya. Bukankah sekarang kita sedang kehausan di tengah banjir informasi? Kita punya banyak data, tapi miskin hikmah.

Kiai, terima kasih karena panjenengan telah meletakkan dasar-dasar pemikiran yang luhur. Terima kasih juga kepada Kang Ngatawi, yang telah menyirami kembali tanah gersang ini dengan oase penuh hikmah.

Akhirnya, saya hanya bisa berharap: semoga para santri dan kader-kader muda NU bisa menulis seperti Kang Ngatawi menulis. Menyampaikan pemikiran para kiai, bukan dengan nada tinggi, tapi dengan hati yang bening.

Saya mohon doa panjenengan dari tempat yang teduh di sisi Allah. Doa agar kami bisa menjaga warisan panjenengan. Warisan ilmu, warisan adab, warisan cinta kepada umat dan negeri.

Wassalāmu ‘alaikum wa rahmatullāh.

Yang masih fakir dalam ilmu dan amal,
Mahwi Air Tawar

Semarang-Yogyakarta, 8 Juni 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan