Dan Sepatu pun Menertawakanku

4,062 kali dibaca

Suasana kampus tempat anakku kuliah ramai bukan main. Mobil carteran yang kami tumpangi berjalan merayap ke area kampus. Di kanan-kiri jalan terdapat gedung-gedung perkuliahan yang berdiri gagah. Rasa bangga menggetarkan dada, menyadari anakku telah berhasil menyelesaikan studi di kampus bergengsi seperti ini. Susah payah aku mengumpulkan uang untuk membiayai kuliahnya, ternyata tidak sia-sia.

“Haraz sudah balas WA-mu, Bune?” aku bertanya pada istriku. Dia cuma menggeleng. Aku kembali menikmati keramaian kampus dengan pandangan mataku. Semakin mendekati gedung tempat wisuda, laju mobil semakin melambat. Para fotografer bertebaran di mana-mana. Anak-anak muda itu menyambut para undangan sembari menjajakan jasa.

Advertisements

Beberapa saat kemudian kami telah sampai di area parkir. Istriku sibuk membenahi make-up-nya. Anakku yang kedua dan ketiga tak berhenti ngemil semenjak bangun tidur di tengah perjalanan tadi. Kami turun di tempat parkir. Aku merasa perlu untuk mematut diri. Jangan sampai anakku nanti merasa malu karena melihat rambutku ada yang tidak rapi.

“Kita makan di mana, Yah?” celetuk Si Bontot tiba-tiba.

“Ikuti ibumu ke sana,” perintahku sambil menuding ke arah Ibunya yang telah melangkah pergi meninggalkanku. Putriku yang baru kelas 3 SD itu berlari mengejar ibu dan kakaknya. Aku lantas bersisir sembari mengoleskan sedikit minyak rambut sambil mengaca di depan spion.

“Arjun!” tiba-tiba ada seseorang memanggilku dari arah lain. Tolah-toleh kepalaku mencari sumber suara itu. Detik berikutnya kulihat seorang lelaki berkopyah datang kepadaku. Aku mengernyitkan dahi guna mengenalinya. Setelah beberapa saat berusaha membuka lipatan ingatan, akhirnya aku ingat juga siapa lelaki berkopyah putih itu.

“Hakim!” balasku seraya melebarkan tawa. Kami berjabatan tangan erat.

“Bagaimana kabarnya, Jun?” sapanya.

“Baik-baik saja Kim, seperti yang kamu lihat,” balasku cepat. Temanku di pondok yang kukenal sebagai santri abdi ndalem Kiai Salman itu lantas kutepuk bahunya. Tubuhnya begitu gempal tidak seperti yang dulu. Waktu di pondok dulu dia setiap hari pergi ke sawah milik Kiai Salman sampai lupa kewajibannya untuk belajar. Ketika ngaji di madrasah dia selalu mendapat hukuman berdiri di kelas karena tidak pernah hafal nadzoman-imrithy. Hakim adalah santri yang paling sering kena marah kala itu.

“Ngapain ke sini, Jun? Ngantar wisuda anakmu ya?” tanyanya sumringah, seolah tak pernah punya masa lalu yang segelap itu.

“Iya Kim. Anak pertamaku wisuda hari ini. Jurusan agrobisnis dia. Aku tak ingin anakku menjadi orang yang bodoh, mau seperti apa masa depannya kalau tidak kuliah? Rugi sekali kalau bapaknya kuliah tapi anaknya tidak bisa kuliah, iya kan?” aku menghela napas untuk mengambil jeda. Bicaraku terlalu semangat sehingga membuat napasku terengah-engah. Aku ingin menyadarkan Si Hakim ini perihal pentingnya ilmu pengetahuan. Lalu aku mulai bicara lagi, “perjuanganku menguliahkan anak tidaklah mudah Kim. Tapi syukurlah, setelah kuliah enam tahun lamanya akhirnya bisa wisuda juga dia. Owh iya, kamu sendiri ngapain ke sini, Kim?” tanyaku padanya.

“Nyopir Jun,” jawabnya simpel sambil cengengesan. Sifatnya sejak ABG itu belum hilang rupanya. Dulu ketika ditanya oleh ustadz tentang hafalan imrithy jawabannya juga seperti itu, selalu jawaban “belum “disertai senyum menyeringai yang menyebalkan. Ternyata hingga saat ini dia masih belum bermetaforsis sama sekali.

“Jadi, sekarang kamu nyopir?” aku bertanya memastikan.

“Iya Jun, mau bagaimana lagi Jun-Jun,” dia menjawab pertanyaanku disertai tawa kecil.

Aku terdiam beberapa saat sambil mencerna ucapannya. Jawaban Hakim itu mengingatkanku pada suatu peristiwa puluhan tahun yang lalu. Pikiranku kembali terbang ke masa-masa di pondok dulu. Kami adalah teman sekelas di madrasah, jadi aku tahu betul bagaimana tabiatnya. Dia yang tak pernah benar hafalannya sering mendapat amarah dari para ustadz. Aku sebagai teman sekelasnya juga sering memberi nasihat. Bahkan aku sempat begitu kesal pada Hakim karena teman sekelas tidak boleh keluar kelas jikalau masih ada santri yang belum hafal nadzoman-imrithy. Kami para santri yang nyambi sekolah sampai bangun kesiangan karena malamnya tidak bisa tidur menunggu hafalannya di depan ustadz.

Aku masih ingat kata-kata pedasku padanya waktu itu, “Bodoh itu urusanmu Kim, tapi jangan bikin kami susah karena kebodohanmu itu! Santri itu harus pintar! Kalau kamu tak pernah mau usaha begini, paling banter nanti kamu cuma jadi sopir, Kim!” ucapku penuh emosi waktu itu. Dan ternyata kutukanku itu sekarang jadi kenyataan. Aku tertawa dalam hati.

“Bosmu orang mana?” tanyaku kemudian.

“Tetap Jun. Masih seperti yang dulu,” jawabnya pula. Naluri penasaranku membuncah mendengar ucapan Hakim seperti itu.

“Siapa maksudmu?” teka-tekinya terdengar begitu menyebalkan di telingaku.

“Kiai. Bosku Kiai, Jun,” jawabnya santai.

“Maksudmu juraganmu Kiai Salman? Kamu masih ngabdi ke Kiai Salman?” suaraku agak meninggi karena tercengang mendengar jawabannya. Dia mengangguk sambil berhaha-hehe. Benar-benar wataknya yang dulu itu belum hilang. Cuman perawakannya sekarang lebih bersih, lebih ganteng.

“Jadi, selama ini kamu masih ngabdi? Sudah boyong apa belum?” tanyaku semakin penasaran. Semenjak boyong dari pondok aku sudah tidak pernah berkunjung ke pesantren lagi. Aku sama sekali buta dengan apa yang terjadi di pesantren.

“Masih ngabdi, Jun, ngalap berkah,” tuturnya pelan. Kali ini nada suaranya terdengar agak serius, seperti ada wibawa dari ucapannya itu.

“Lalu sawahnya itu sekarang siapa yang nggarap?” aku mengajukan pertanyaan selanjutnya.

“Kadang-kadang aku masih ikut terjun ke sawah juga Jun,” jawabnya enteng. Suasana menjadi semakin gerah karena banyaknya lalu-lalang orang.

“Jadi, kemari kamu ngantar siapa? Putranya Kiai Salman?” pertanyaanku berikutnya.

“Iya,” dia menjawab singkat.

“Siapa?”

“Amalia, Jun. Masih ingat? Ning Lia itu, loh. Putri kiai yang ketiga,” kali ini jawaban Hakim tidak disertai tawa lagi. Mungkin dia merasa alur hidupnya terlalu datar. Sedari kecil dia mengabdi bahkan hingga tua begini. Kalau saja dulu dia mau sedikit lebih rajin dalam belajar mungkin masa depannya tak akan semuram ini. Kalaupun dia punya bekal ilmu mungkin kini dia sudah bisa berkeluarga dan kehidupannya akan lebih baik. Aku masih sangat ingat. Dulu ketika dia diminta untuk belajar, kesibukannya di ndalem kiai selalu alasan tak ikut ngaji. Pantas saja sampai sekarang hidupnya masih seperti ini. Nasib memang tak pernah menghianati usaha. Di pondokku dulu memang terdapat beberapa santri yang sampai di usia tuanya tetap tinggal di pesantren. Dan ternyata Hakim meneruskan tradisi itu.

Aku lantas menyahut ucapannya setelah beberapa saat bengong. “Owh, Ning Amalia itu. Dulu ketika aku masih nyantri di sana dia masih kecil. Anaknya kuliah jurusan apa? Wisuda juga hari ini?” rasa penasaran  tentang keluarga pesantrenku tatkala aku masih duduk di bangku SMA itu semakin menjalar di pikiran. Dulu aku nikah memang agak telat, pantas saja anak pertamaku seusia dengan anaknya Ning Amalia yang usianya jauh di bawahku.

“Jurusan kedokteran, Jun,” Hakim menjawab.

“Dokter? Wah, pantas saja ya, cucunya Kiai Salman. Tapi kalau kuliah kedokteran bagaimana dengan pesantrennya? Apa dia sempat ngaji ilmu-ilmu alat? Ilmu fikih? Balaghoh? Bayan? Usul fikih? Wah pasti nggak kopen pondoknya,” sahutku antara salut dan prihatin.

“Alhamdulillah, hafalan Quran-nya telah selesai semasa di Aliyah dulu. Ilmu alat dan kitabnya juga nggak ketinggalan,” Hakim menimpali.

“Wah, pantas saja ya, cucunya Kiai Salman. Eh, kamu kok bisa tahu?” rasa penasaranku belum juga kunjung memudar.

“Kan abdi ndalem? Ning Lia di kamar mandi pun aku tahu!”

Tawa kami pun meledak.

Detik berikutnya aku berpamitan untuk mengikuti acara wisuda anakku di dalam gedung. Sebelumnya kami sempat saling bertukar nomer HP. Sambil berjalan aku masih memikirkan Si Hakim. Dia tidak banyak berubah. Kalaupun ada yang berubah itu adalah sikapnya yang sudah tidak pemalu lagi seperti dulu, bahkan dia sekarang berani menggunjingkan putri Kiai Salman.

Dan aku pun terus melangkah ke pusat acara. Gedung tempat pelaksanaan wisuda penuh dengan gegap gempita. Meriah sekali. Jumlah wisudawan ada ribuan membuat kami harus menunggu berjam-jam. Kulihat istriku masih tampak semangat mengikuti jalannya prosesi wisuda. Sedangkan, aku sedang berjuang menahan kantuk. Anak-anakku malah sudah tertidur dari tadi.

“Pak, bangun, Pak,” tepukan tangan dan suara keras istriku di ujung telinga serta merta mengagetkanku.

Aku tergeragap bangun. Mataku masih terasa berat sekali untuk kubuka. “Kenapa sih, Bune?” tanyaku setengah jengkel. “Haraz sudah dipanggil ke depan?” tanyaku pula. Kukucek mataku.

“Ini Si Haraz WA Ibu, katanya sepatunya rusak. Sol sepatunya lepas!” ucap istriku dengan raut paniknya. Kantukku langsung hilang. Tak ingin aku mengantuk, tapi tak begini caranya, Tuhan.

“Kok bisa?” ucapku spontan. “Terus piye iki?” gumamku kebingungan.

“Belikan lem, mumpung belum waktunya maju.”

“Beli lem bagaimana? Ruangan penuh sesak begini. Di luar juga ramai, tak tahu tempat belinya pula. Nggak bisa keluar Bune,” sahutku dengan pikiran tidak karuan.

“Coba minta tolong Mas Marwan tadi,” sarannya.

Aku segera menghubungi Marwan. Sial. Pulsaku tidak cukup. Pulsa istriku juga tidak ada. Ketika aku mengiriminya pesan WA ternyata centang satu. Semuanya terasa kacau. Kami sangat bingung.

“Gimana, Pak?” tanyanya lagi. Tak kujawab, kepalaku sedang didera rasa bingung dan kepanikan yang luar biasa.

Tiba-tiba aku teringat pada Hakim, temanku yang walaupun bodoh itu punya hati yang putih. Dia pasti mau membantuku. Segera kucari nomernya di HP-ku. Alhamdulillah, ada nomer WA-nya. Aku segera mengiriminya pesan WA. Beberapa detik berikutnya dia telah membaca pesan WA-ku. Alhamdulillah, masih ada harapan.

Beberapa menit kemudian HP di sakuku bergetar. Segera aku membukanya. Dan ternyata kabar buruk. Hakim tidak bisa menolongku karena suasana sedang ramai sekali sehingga dia tidak bisa keluar. Aku mengelus dada disertai sumpah serapah dan keluh-kesah. Istriku semakin tampak panik, menyalahkanku yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan hari istimewa anaknya.

“Bagaimana kalau Haraz memakai sepatuku ini? Tidak begitu jelek bukan?” tiba-tiba aku punya akal untuk menyiasati keadaan. Sepatu pantofel ketika aku masih menjadi guru itu menurutku masih bagus. Dulu aku memang sempat menjadi guru Bahasa Arab sebelum resign karena tidak betah dengan gajinya. Haraz tak akan kehilangan ketampanannya hanya karena memakai sepatu ini, pikirku. Detik berikutnya istriku meminta Haraz untuk menemuiku. Dan ternyata benar. Sepatunya seukuran dengan sepatuku. Akhirnya kami bertukar sepatu. Dan begitulah, sampai akhir acara aku memakai sepatu yang solnya hampir lepas. Sedikit tragis dan mengharukan. Tapi demi anak, ini adalah hal yang membanggakan dan akan menjadi kenangan yang tak akan pernah terlupakan.

Iya, sampai juga akhirnya di pengujung acara. Kami semua berkumpul untuk segera pulang. Termasuk Haraz. Dia tadi berangkat dari rumah kosnya.

“Bapak, kita nggak tukaran sepatu lagi?” tanya Haraz sembari kami melangkah menuju mobil.

“Pakai saja dulu, sampai kamu menemukan pekerjaan nanti,” tukasku membesarkan hatinya.

“Sepatuku juga sudah waktunya ganti, Yah,” celetuk Sara, anakku yang kedua. Aku mengiyakannya sambil terus berlalu. Lalu terdengarlah keriuhan dari anak-anak serta istriku. Aku berjalan semakin pelan. Sol sepatuku semakin menganga lebar. Terlalu cepat langkah kakiku bisa berakibat fatal.

Sesampainya di parkiran aku kembali berjumpa dengan Hakim. Begitu melihatku dia langsung meminta maaf karena tadi tidak bisa membantuku. Matanya sempat melihat langkah kakiku yang sedikit tertatih. Aku harus berjalan pelan agar tidak kelihatan sepatuku sedang menganga lebar. Kami berbasabasi sebentar. Lalu datanglah seorang gadis cantik memakai toga mencium tangannya penuh takzim. Obrolan kami terhenti. Aku pura-pura melihat HP sambil mendengarkan percakapan mereka.

“Bah, kita foto-foto dulu ya sebelum pulang,” gadis itu merengek manja.

“Owh iya. Ajak juga umi dan adikmu di mobil ya,” pinta Hakim pelan. Aku terus mengikuti percakapan mereka. Detik berikutnya gadis itu beringsut pergi, mungkin memanggil ibunya.

“Siapa dia Kim?” tanyaku. Kali ini rasa penasaranku begitu menggelisahkan.

Sebelum menjawab pertanyaanku Hakim tertawa kecil. “ Dia putriku, Pak Arjun” jawabannya lagi-lagi dipungkasi tawa. Mungkin maksudnya untuk merendah. Tapi di telingaku tawa itu terdengar begitu jumawa. Dia pun memanggilku dengan “Pak” pula.

“Anakmu wisuda juga tadi?”

“Iya Jun, makanya tadi aku tidak bisa keluar untuk membelikan lem.”

Aku merasa tertipu.

“Jadi kamu ke sini untuk mengantar wisuda anakmu atau untuk mengantar cucu Kiai Salman?” tanyaku dengan suara sedikit bergetar.

Hakim terdiam. Pikiranku menerka-nerka akan seperti apa jawabannya.

“Kedua-duanya benar, Jun,” jawabnya singkat. Dia kemudian tersenyum bijaksana.

“Jadi? Kamu menjadi menantu Kiai Salman? Menikahi Ning Amalia?”

Sebelum Hakim sempat menjawab pertanyaanku, gadis yang memakai toga tadi sudah datang lagi bersama ibunya beserta anak-anak kecil yang kukira adalah adik-adiknya.

“Ini Ning Amalia, Jun. Istriku. Dan ini adalah anak-anakku.”

Mulutku seolah terbungkam oleh ucapannya. Sulit bagiku untuk mempercayai bahwa abdi ndalem yang dulu begitu kuremehkan itu ternyata kini menjadi menantu Kiai Salman. Tapi apa yang terlihat di depan mata membuatku tidak bisa untuk mengingkarinya. Aku berdiri memaku dengan tatapan kosong. Mereka kemudian berlalu meninggalkanku. Dan aku tidak berani bergerak karena sol sepatuku telah lepas. Mulutnya semakin menganga lebar. Rupanya hidupku penuh kelakar! Lihatlah, bahkan sepatu pun ikut menertawakan kesombonganku! Mukaku terasa kebas. Dadaku pun terasa sesak untuk bernapas.

Bantur, 17 April 2020.

 

 

Multi-Page

One Reply to “Dan Sepatu pun Menertawakanku”

Tinggalkan Balasan