DALAM ZIARAH ABADI

460 kali dibaca

DEMIKIANLAH KUTULISKAN NAMAMU DALAM ZIARAH ABADI

Perjalananku menemuimu adalah kepingan
ziarah abadi
Menuju kepada Yang Tak Terbatas

Advertisements

Kini aku milikmu seutuhnya
Hujamlah dadaku dengan pedang sabdamu
Lantas koyaklah jantungku yang telah lama
merana
Betapa itu akan membebaskan burung jiwaku
yang telah sekian lama terkurung dalam
penjara raga

Duhai, Pemersatu jagat raya:
Setiap celah sepanjang Maghrib hingga Masyriq
Kau isi dengan Matahari dan Rembulan
Selipkan pula Cahaya dan Sinar itu ke dalam
jiwaku
Keduanya akan menjadi jalanku menuju Langit

Mula-mula adalah kata
Lalu hati yang nelangsa mulai menangis
Sesaat setelah mendengar suaramu
Yang dihantarkan angin dan aliran sungai
anggur kesucian

Kita begitu lekat
Kau lebih dekat daripadi urat nadiku
Aku takkan pernah bersedih karena aku tlah
mengenalmu
Meski kakiku terbius bisa ular
Meski ragaku tertusuk delapanpuluh
anak panah

Aku takkan bersedih
Karena pagi ini kita begitu mesra
Begitu teramat mesra seakan sepasang pecinta
yang sudah lama memadu kasih
di bawah bayang-bayang pohon delima

Kemesraan kita begitu mendalam di antara
bisingnya para pewarta kebenaran yang
begitu angkuh
Di tengah hiruk-pikuk para pesiar
yang berbahagia untukmu tapi tak pernah
benar-benar mengenalmu

Lihatlah, penaku patah ketika menuliskan
namamu
Kemudian kupahat batu yang kupikir kekal
Tapi batu itu pecah
Berkeping-keping
Berdarah-darah
Lalu hendak kupinjam bulu-bulu dari sayap
malaikat
Yang selalu menemani perjalananku
Seketika saja mereka tertunduk malu
mendengar namamu

Saat semuanya terdiam
Mega menurunkan hujan ilham
Kata-kata yang membasahi jiwaku
Tinta Langit yang tumpah merasuki aliran
darahku
Masuk dari kulitku yang tlah terbakar api rindu
padamu

Dan aku berseru:
Hiduplah kata-kata
Menjelmalah menjadi bait-bait magis
Hiruplah saripati zarahku
Bangkitkan ruhku yang mati
Agar menjadi jiwa yang tenang
Dalam perjalanan yang tak berbatas

Lalu kunyanyikan sederet zamir yang terlahir
dari berbagai kerinduan purba;
Gunung-gunung
Burung-burung
Turut menari dan bernyanyi bersamaku
Sebagaimana besi yang melunak terbakar api

Demikianlah kutuliskan namamu dalam
perjalanan
Ziarah abadi kepada Cinta yang tak berujung
Sembari mendaras nestapa akanmu yang
teramat sulit kurengkuh

Demikianlah kutuliskan namamu
Dalam mantra yang kuciptakan
Agar bisa memanggilmu:
Kekasih

2023.

TABIR
(Untuk Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya)

Dalam pembaringan malam aku melihat
Kita berhadapan di tengah Semesta
Berbicara melalui sunyi

Tanganku di bawah tanganmu
Yang menggenggam tanganku erat
Seakan enggan melepaskan
Aku yang masih saja terbayangi dunia

Akankah kau tetap mencintaiku,
Kekasih?

Kucoba mengarungi samudera matamu
Seraya kudapati jiwa lukaku
Dengan tubuh yang berdarah
Yang sedang kau balut
Menggunakan bebat perekat aku dan kau
Sembari menyalakan dian penerang serambi

Lewat mata teduh itu saat kau menatapku
Aku saksikan diriku menangis
Tak ubahnya bayi Ismail yang lapar
Memohon air susu Hajar yang kering
Dan dengan segala Rahmat
Malaikat membawakan mata air yang
Tiada pernah habis

Haruskah kudekap kau dengan erat
Untuk memadamkan laraku?

Kita bersila di antara Cahaya
Aku coba memungut cahaya itu
Tapi yang kutemui
Hanya batu-batu langit yang dingin
Yang kerap meminjam kata-kata dari Jibril
Untuk membisikkan para musafir
Arah jalan pulang

Lalu kucoba menyibak malam
Namun roda waktu menahanku
Seakan tak rela aku meninggalkanmu

Di tengah Semesta sunyi
Tanganmu merengkuh tanganku
Yang kugenggam lebih erat
Dan kukecup dengan amat mesra
Lebih mesra dari sepasang kekasih
Di mabuk asmara
Bahkan malaikat-malaikat
Mendekatkan telinganya
Seolah ingin mencuri dengar
Perbincangan kita yang hening itu

Bukankah memang pernah datang
Kepada sebelum kita
Saat-saat yang disembunyikan dan
Baru akan dibuka ketika semuanya
Telah ditiadakan?

Maka berikanlah aku
Seteguk saja air barus dan serbat
Dari cawan kristal itu
Juga susu dari Telaga yang teramat jauh itu

Lihatlah kini
Aku takkan berpaling
Dari malam-malam esok yang ‘kan datang
Agar bisa menyingkap cara Matahari
Memberikan Cahaya kepada Rembulan
Saat bersembunyi di pekat gelap

Lihatlah
Tanganmu yang menggenggamku erat
Malam ini terus saja memberkas
Sehingga dengan mata buta ini kulihat
Semesta berpendar di sekitarku

Dalam pembaringan malam ini
Aku melihatmu
Tersenyum padaku

2023.

MADAH DI MU’ALA
(untuk Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Abbas Al-Maliki Al-Hasani)

I.
Dan menangislah gunung-gunung batu
–gigir yang merana lantaran keangkuhan para rahib yang menutup gerbang kesejukan Yang Maha Tinggi

Sementara sekarang kau genggam tanah yang tak pernah mati, di bawah kakimu, di atas kepalamu, di dalam dekapanmu, juga di dalam segala doa dari para peziarah dari berbagai pelosok negeri

Hari ini aku datang kepadamu, Kekasih
Untuk menyentuh tanah itu seperti yang pernah dijanjikan dan segalanya akan bersamamu

II.
Doakanlah aku, berhala tanah yang bodoh ini, agar bisa dekat denganmu di Negeri entah berantah yang jauh itu nanti

Kumohon bangkitlah
Sambutlah tanganku
Hidupkanlah aku dari kematian
yang selama ini membebani jiwaku

Tiadalah rahasia lagi
Antara hatiku dan hatimu

Jikalau kau berbicara, makalah aku mendengar–dan niscaya semua itu adalah titah Sang Raja

III.
“Alangkah bebalnya patung ini, membiarkan Matahari lewat begitu saja,” tulis seorang sufi

Tapi janganlah kau tinggalkan patung yang tak sekalipun berpikir ini

Patung yang kalah dari terik,
Yang lebih payah dari jilat kesengsaraan,
Yang membiarkan Cahaya-Nya berlalu

Dan memang aku hanyalah pejalan yang mudah dilupakan; meski bumi tlah patuh, meski langit tlah bergerak, meski laut tlah bergejolak

Aku hanyalah tubuh yang diterbangkan oleh kepakan burung jiwa, tak sebanding denganmu: Kekasih dari pemilik Simurgh–kau basahi tiap lembar hati anak manusia dengan air kehidupan dari samudera-Nya

IV.
Bisikkanlah, Kekasih, apa yang akan kutemui dalam kegelapan malam: ialah siksaan yang lebih berat dari penjara raga ataukah nyanyian sebuah rahmat?

Di tengah malam keempat kami terus saja berbicara akanmu

Tentang dinding bumi yang selalu enggan menelanmu

Atau Cahaya yang melingkar di atas kepalamu atau di tengah dadamu

Pernah satu malam pertama pada tahun yang baru kami meminum susu hikmah, beserta kesuciannya yang berujung padamu

Kemudian kami akan berdoa–dan aku, sebongkah liat yang dihidupkan seraya terselimuti dengan kelembutan

V.
Ia sematkan keindahan pada angin agar bisa menari di atas atapmu

Menundukkan matahari untuk patuh pada debu

Lantas kepada merpati Ia sematkan sayap yang membuka setapak bagi para pejalan yang menujumu

Isyarat-isyarat Langit tak pelak lagi demikian jelasnya, sehingga ketika para pendusta ingin membelokkan jalan kami mereka tahu itu tak mungkin

Menara gading kepalsuan menjulang begitu tingginya yang tak lain hanyalah menyentuh mega-mega tanpa mereka pahami apa arti Yang Maha Tinggi

Tak tahukah mereka bahwa hanyalah dedaunan yang kering dan perak sekadar salju yang menghujani? Ataukah mata mereka tlah buta karena tertusuk selubung duri?

Ah, wahai sekawanan burung kepalsuan–jiwa-jiwa yang mati lantaran embun mahkota dan mutiara yang lekas menguap pada pagi hari; kapan kalian bisa merasakan Cahaya Matahari?

VI.
Di rumahmu yang bagai labirin
Gemuruh angin mengheningkan cipta
Sekawanan burung berdekapan mesra
Pasir menghangatkanmu sekaligus
mendinginkan

Genderang hati yang sunyi itu
Petikan sitar sukma yang memabukkan
Seruling jiwa yang melenakan
Demi apa dan bagaimana kau bisa
mencintai kami?

2023.

ilustrasi: lukisan vincent van gogh.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan