Crazy Rich

904 kali dibaca

Sederetan crazy rich, yang sebagiannya baru-baru ini telah ditahan polisi, adalah anak-anak kandung kita, yang benihnya telah kita semai dari generasi ke generasi. Hari ini kita telah melahirkan bukan hanya generasi milenial, tapi juga generasi duniawi. Generasi yang begitu menggilai kemewahan lebih dari segala-galanya.

Bagaimana mungkin masyarakat yang dikenal religius ini bisa melahirkan generasi duniawi yang seakan mbrojol dari perut setan? Pengalaman Damian Hoo barangkali dapat memberi sedikit jawaban.

Advertisements

Beberapa tahun lalu, Damian Hoo, yang merupakan warga negara Australia, pernah menjadi guru di Singapura. Salah satu muridnya adalah anak orang super kaya Indonesia, yang kini popular dengan sebutan crazy rich.

Suatu hari, murid Hoo ini minta izin tak masuk sekolah. Alasannya, ia harus pulang ke Jakarta karena orangtuanya mengadakan pesta ulang tahunnya. Sebenarnya Hoo keberatan karena saat itu menjelang pekan ujian. Tapi apa boleh buat, orangtuanya yang tajir melintir itu memaksa. Orang kaya punya kuasa.

Yang membuat Hoo lebih kaget lagi adalah cerita yang dibawa muridnya saat kembali ke sekolah. Si murid perempuan yang baru merayakan ulang tahun ke-16 ini memperoleh kado spektakuler: mobil super mewah Lamborghini.

“Apa kamu bisa menyetir? Bukankah kamu belum boleh punya SIM?” tanya Hoo.

“Bisa. Dan SIM, kan, saya bisa beli,” jawaban si murid ini yang bikin Hoo melongo.

Cerita Hoo yang belum lama ini viral di media sosial itu tentu bukan khayalan. Nyata ada, dan di Indonesia pula. Sepintas itu perkara sepele: merayakan ulang tahun anak tercinta dengan kado istimewa. Tapi tanpa disadari, hal itu menggambarkan terjadinya proses pewarisan nilai-nilai dan penyemaian benih-benih generasi duniawi.

Di sana sedang dibangun konstruksi nilai-nilai bahwa pesta lebih penting daripada belajar; bahwa tujuan bisa menghalalkan segala cara; bahwa pada akhirnya yang utama adalah menjadi kaya. Mewah mengalahkan berkah. Dan generasi milenial yang beranjak remaja itu akan punya idola baru: Indra Kenz dan Doni Salmanan!

Fenomena ini bukan muncul tiba-tiba dari ruang hampa. Ia membonceng pada standar dan orientasi hidup yang telah berubah. Misalnya, entah sejak kapan, tanpa kita sadari, diam-diam kita telah memberikan penghormatan dan kekaguman yang lebih kepada anak-anak kita, saudara-saudara kita, teman-teman kita, atau tetangga-tetangga kita yang secara materi lebih berada, lebih sukses, lebih mewah. Persetan dengan caranya. Masa bodoh akan prosesnya. Dan kita tiba-tiba menjadi pemuja berhala baru: kemewahan!

Dari masyarakat yang mulai menjadi pemuja kemewahan ini akhirnya lahir sebuah “sistem hidup” yang melulu berorientasi pada hasil dan tak lagi menjunjung tinggi proses dan etik. Maka semua menempuh dan mengambil jalan pintas. Jalan pintas untuk menjadi crazy rich. Jalan pintas untuk, bukan hanya menikmati, tapi juga mementaskan kemewahan ke ruang-ruang publik.

Gejala itu, kalau kita mau jujur, disuburkan sejak dari ruang-ruang pendidikan hingga ke liang-liang lahat yang kita bangun. Di pintu gerbang sekolah, satpam akan membungkuk lebih dalam jika kita mengantar anak dengan mobil dibandingkan dengan yang motoran. Sekolah-sekolah semakin mewah dan semakin mahal. Menjadi pintar adalah hak orang-orang kaya. Yang tak berduit jangan harap memperoleh pendidikan yang berkualitas. Di ruang-ruang kelas itulah anak-anak mengalami pendidikan yang nyaris zonder determinasi proses dan etik.

Itu baru satu contoh gejala seperti apa “sistem hidup” yang kita bangun. Kini, hampir semua “sistem hidup” kita memang hanya berorientasi pada hasil dengan mempersetankan akan proses dan etiknya. Dan apa yang disebut “hasil” itu direduksi menjadi sekadar hal ihwal materi dan berbau kemewahan. Itulah kenapa yang kaya dan mewah lebih dihormati dan dikagumi ketimbang yang papa, meskipun yang disebut terakhir ini, misalnya, lebih berilmu dan berakhlak, atau telah menjalani proses hidup yang lebih beragam dan penuh perjuangan. Nilai kejuangan sudah tak punya arti lagi.

Karena kekayaan dan kemewahan telah menjadi berhala baru, maka orang ramai mulai lebih memilih untuk menempuh jalan pintas dalam meraihnya. Sayangnya, jalan pintas itu lebih sering tak hanya menabrak norma-norma agama dan moral, tapi juga menyimpang dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum ekonomi.

Misalnya, banyak orang berlomba mengeruk keuntungan sebesar-besarnya padahal tak memiliki kapasitas untuk berproduksi, baik produksi barang ataupun jasa. Ini jelas penyimpangan terhadap prinsip dan hukum ekonomi yang berlaku universal. Di mana, pendapatan dan keuntungan akan diperoleh dari sejauh mana kita memproduksi entah barang entah jasa dan mendistribusikannya ke pasar dengan baik.

Hari-hari ini, untuk menjadi kaya dan hidup mewah kita tak perlu lagi memproduksi dan mendistribusikan atau memasarkan barang dan jasa. Telah ada mantra baru untuk menggantikan diktum dari prinsip dan hukum ekonomi itu. Kita mengenalnya sebagai “D4” — duduk, diam, dapat duit.

Loh, orang cuma duduk dan diam kok dapat duit? Itulah keajaiban apa yang kita kenal sebagai robot trading. Orang awam seperti kita mungkin sulit untuk memahami teknis sistem kerja robot trading itu. Entah barang apa, jasa apa, atau “barang ghaib” apa yang ditradingkan dengan mesin robot itu. Tapi entah dengan cara apa dan bagaimana, diceritakan, dengan itu mereka mampu menyedot duit bermiliar-miliar bahkan triliunan rupiah. Entah duit siapa pula yang mereka sedot. Mirip-mirip kerja tuyul di masa lalu.

Dari situlah kemudian muncul sosok-sosok muda belia namun sudah super kaya atau tajir melintir, crazy rich, yang bergelimang kemewahan di ruang-ruang publik seperti Indra Kenz dan Doni Salmanan itu. Orang ramai pun berduyun-duyun mengidolakan dan ingin menjadi seperti mereka.

Tapi apa lacur, ketika Indra Kenz dan Doni Salmanan kemudian digelandang ke bui ribuan orang merasa tertipu. Jalan pintas itu ternyata jalan sesat. Mungkin, secara hukum mereka salah. Tapi secara secara moral kita juga harus ikut bertanggung jawab. Sebab, kitalah yang melahirkan mereka: generasi pemuja kemewahan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan