Corona Bukan Pandemi Pertama di Indonesia

3,177 kali dibaca

Pandemi global penyebaran virus Corona yang juga melanda Indonesia bukan pandemi pertama bagi Indonesia. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Indonesia pernah menghadapi wabah yang cukup berbahaya, yakni wabah pes dan influenza. Hal ini disampaikan oleh sejarawan Syefri Luwis pada diskusi online Jejaring Dunia Santri, Sabtu (16/05/2020), yang bertemakan Sejarah Pandemi.

Wabah pes pertama kali diumumkan tersebar di Hindia Belanda (sebutan lama Indonesia) pada 1911, tepatnya di Malang. Namun, sebenarnya wabah ini sudah ada jauh sebelum itu. Pada 1905 terdapat dua orang kulit di Pelabuhan Bandar Deli yang dilaporkan terjangkit virus tersebut. Tetapi pada saat itu pemerintah mengabaikan dan menganggap wabah pes tidak akan masuk ke Indonesia.

Advertisements

Prediksi pemerintah colonial ternyata meleset. Banyak korban wabah pes berjatuhan di Malang pada 1911. Wabah ini diperkirakan tersebar melalui kutu tikus yang terdapat pada beras impor dari Myanmar. Beras impor tersebut mulanya diturunkan di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kemudian diangkut dan dibawa ke Malang. “Transportasi menjadi salah satu faktor utama penyebaran wabah,” tutur Syefri.

Korban wabah pes pada 1911 dan 1912 disebutkan sekitar 2000 orang. Angka ini mengalami lonjakan drastis pada 1913 dengan jumlah korban sekitar 11  ribu orang. Penyebabnya tidak terlepas dari pembukaan karantina kota atas permintaan para pengusaha perkebunan di Malang. Di tahun berikutnya, jumlah korban mencapai 15 ribu orang. Angka ini menyusut tajam pada tahun 1915 dengan jumlah korban 1.638 orang seiring dengan didirikannya Burgelijken Geneeskundigen Dienst (BGD) , yakni dinas pemberantasan pes.

Tidak berbeda dengan kebijakan karantina yang diberlakukan saat ini, pada 1911 tersebut pemerintah juga mengeluarkan kebijakan karantina kota di Malang untuk menekan jumlah korban pes. Pemerintah Hindia Belanda juga melakukan berbagai upaya lain untuk menangani wabah, seperti penangkapan dan pembunuhan tikus serta penyemprotan disinfektan pada kereta api.

Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu juga mengeluarkan kebijakan yang cukup ekstrem, seperti pengosongan dan pembakaran desa yang seluruh warganya terjangkit wabah pes dan membangun desa baru. Warga juga dilarang keras keluar-masuk Malang. Jika hal demikian terjadi, maka warga yang melanggar akan ditembak mati.

Sosialisasi juga dilakukan untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang bahaya wabah pes. Pengumuman dipasang di sudut-sudut tertentu menggunakan aksara Jawa (Hanacaraka). Namun, cara ini justru menyulitkan masyarakat yang lebih mengenal aksara Arab Pegon. Akibatnya, sosialisasi menjadi tanggung dan tidak maksimal.

Dalam menangani wabah pes ini, sangat disayangkan juga karena dokter-dokter Eropa enggan untuk terlibat langsung. Mereka berdalih masih mengalami trauma atas wabah Black Death yang sempat menghantui masyarakat Eropa beberapa tahun sebelumnya. Dengan demikian, penanganan wabah pes ini ditangani langsung oleh dokter-dokter bumiputra, seperti dr Tjipto Mangunkusumo.

“Para dokter Eropa trauma atas pengalaman dengan Black Death, lalu menyerahkan tugas kepada dokter bumiputra yang tidak mengerti tentang pes,” ucap Syefri.

Berselang dua tahun pasca terjadinya wabah pes, muncul wabah lain di Hindia Belanda, yakni influenza. Syefri meyakini wabah ini disebarkan oleh para tentara Amerika yang sedang membantu Prancis dalam Perang Dunia I. Tetapi pemerintah di negara yang terlibat perang tersebut berusaha menutupi. Hingga kabar ini kemudian disebarkan pertama kali oleh Spanyol yang dalam hal perang berada di posisi netral. Oleh karena itu, influenza juga dikenal dengan sebutan flu Spanyol.

Influenza memakan lebih banyak korban. Data yang ditemukan menyebutkan jumlah korban pada 1918 mencapai 1,5 juta jiwa. Laporan tentang wabah ini muncul di banyak surat kabar dari berbagai penjuru di Hindia Belanda. Wabah ini memang tidak hanya berada pada satu titik, melainkan menyebar di banyak wilayah.

Kala itu, anjuran untuk memakai masker dan ‘di rumah saja’ juga digalakkan agar masyarakat terhindar dari wabah influenza. Pemerintah juga menyusun rancangan Influenza Ordonantie pada 1919 untuk mengatasi masalah ini, serta melaksanakan program Medische Propaganda melalui karikatur wayang dan lain sebagainya sebagai langkah sosialisasi wabah. Bagi pasien yang sembuh juga mendapatkan surat bebas influenza.

Ada berbagai macam cara masyarakat dan pemerintah sebagai langkah pengobatan. Tidak hanya pergi ke dokter, masyarakat juga melakukan ikhtiar pengobatan dengan pergi ke dukun. Jamu juga menjadi obat alternatif untuk memerangi influenza. Salah satunya ialah jamu temu lawak. “Candu juga pernah diusulkan menjadi obat sementara untuk penenang. Beberapa ada yang sembuh, tapi banyak juga yang menjadi mabuk karena candu,” ungkap Syefri.

Wabah influenza berakhir dengan pola herd immunity, yakni terbentuknya sistem kekebalan tubuh pada manusia dengan sendirinya. Sayangnya, wabah ini telah menghabisi jutaan nyawa yang terpapar.

Beragam fenomena sosial dan politik muncul di tengah masa wabah pada saat itu. Dalam praktik politik, misalnya, beberapa pejabat kolonial memanfaatkan momentum ini untuk menonjolkan dirinya bahkan menyingkirkan lawan politiknya. Di sisi lain, terjadi benturan antara masyarakat dan pemerintah kolonial dalam penanganan wabah pada pasien. Syefri Luwis menyatakan bahwa di kalangan penduduk muslim penanganan pemerintah dengan cara otopsi dianggap menyakiti jenazah dan keluarga yang ditinggalkan.

Perubahan dalam berbagai sektor juga muncul pasca wabah. Di lingkungan para dokter, dengan didirikannya DGD dokter-dokter dapat berkecimpung langsung menangani masyarakat umum, setelah sebelumnya hanya boleh menangani kesehatan anggota militer KNIL. Banyak dokter bumi putra, seperti dr Rifai, bisa bersuara di MPR tentang keseriusan pemerintah dalam menangani wabah. Sejak saat itu, para dokter bumi putra mulai banyak menulis. Tidak sedikit dari mereka yang tidak menyelesaikan kuliahnya sebab mendirikan surat kabar untuk menyuarakan kondisi saat itu.

Dari peristiwa ini, beragam pemikiran politik lahir dari kaum pribumi dan mempengaruhi kesadaran mereka akan pentingnya ide-ide nasionalisme.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan