Cermin Kimin (Kado Ulang Tahunku)

5,135 kali dibaca

Kimin, wartawan muda yang cukup berbakat, tiba-tiba menjadi pembicaraan. Bukan karena tulisan beritanya, melainkan oleh isi tas kerjanya yang dinilai banyak orang sangat ganjil. Sejak sepekan terakhir, tas kerja Kimin tidak hanya berisi alat-alat pendukung tugas kerja jurnalistik seperti notes, tape recorder, dan kamera. Di dalam tas kerja Kimin juga berisi sebuah cermin, sesuatu yang biasanya menjadi “barang asing” di kalangan wartawan.

“Wartawan, kok, ke mana-mana membawa cermin, nenteng pengilon. Memangnya kamu mau jadi pesolek? Mau alih profesi jadi fotomodel? Nggak ada potongan kamu,” demikian beberapa kawan dekatnya meledek.

Advertisements

Kimin sendiri menganggap semua komentar tentang keganjilannya sebagai angin lalu. Bahkan, omelan istrinya tiap kali Kimin pulang kerja tak pernah ditanggapi serius. “Itu cerminku satu-satunya, jangan dibawa-bawa. Apa kalau mau pakai lipstik aku harus numpang di rumah tetangga.” Tapi, Kimin hanya tersenyum tipis tiap kali diomeli istrinya seperti itu.

Semakin lama, yang terlihat ganjil ternyata bukan cuma isi tas Kimin. Kebiasaan Kimin pun juga mulai terlihat aneh. Sebentar-sebentar, Kimin membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah cermin berukuran 10 x 15 sentimeter dan mengaca! Bahkan, setiap kali hendak melakukan wawancara dengan nara sumber beritanya Kimin pasti mengaca dulu. Bercermin. Anehnya, meskipun sebentar-sebentar atau setiap kali hendak melakukan wawancara mengaca dulu, penampilan Kimin tidak berubah, tak berbeda dengan sebelumnya. Kimin tetaplah Kimin, wartawan yang memiliki sedikit bakat seni dan berpenampilan dekil. Rambutnya jarang disentuh sisir, kumisnya dibiarkan tumbuh liar, dan pakaiannya selalu lusuh.

“Kimin, kamu sekarang ngaca terus, tapi penampilanmu tak pernah menjadi necis. Kenapa?”

“Aku membawa cermin bukan untuk berdandan, tapi untuk mengaca, tahu!”

Bahkan, makin lama akhirnya cermin itu ternyata bukan digunakan untuk Kimin sendiri. Ada kebiasaan baru Kimin yang cukup mengganggu suasana kerja jurnalistik di kalangan wartawan. Setiap kali hendak melakukan wawancara —selain dirinya sendiri— Kimin juga minta sumber beritanya mengaca dulu dengan cerminnya. Tapi, tidak semua sumber beritanya memenuhi permintaan Kimin. Malahan, ada beberapa sumber berita yang tersinggung dengan permintaan Kimin itu. Karena itu, kawan-kawannya sesama wartawan akhirnya memprotes kebiasaan Kimin itu.

Namun, Kimin hanya menanggapi dingin protes kawan-kawannya. Kimin tetap cuek. Kimin tetap mengaca dan meminta sumber beritanya mengaca dulu sebelum wawancara dimulai. Akhirnya, karena keganjilan itu, kawan-kawannya menilai Kimin sebagai orang yang tak waras lagi. Mereka tidak mau melakukan liputan atau menemui sumber berita bersama Kimin. Mereka tidak sudi lagi meliput berita bareng dan dibarengi Kimin. Kimin mulai diasingkan oleh kawan-kawannya. Kini Kimin lebih sering sendirian setiap kali hunting. Akhirnya Kimin pun mulai menemui kesulitan baru. Sebab, banyak sumber berita yang semula welcome mulai enggan ditemui dan diwawancarai Kimin.

**

Perihal perilakunya yang nyeleneh itu akhirnya sampai juga ke pemimpin redaksi koran di mana Kimin bekerja. Kimin mendapat teguran karena dinilai telah menyimpang dari etika dan prosedur kerja jurnalistik. Namun Kimin ternyata mengabaikan teguran itu. Kimin tetap melakukan kebiasaannya: ngaca dulu dan juga minta pada nara sumber beritanya untuk mengaca dulu pada cermin yang selalu dibawanya setiap kali hendak melakukan wawancara. Apa boleh buat, karena telah mengabaikan teguran pimpinannya, Kimin akhirnya diskors. Kimin dilarang melakukan tugas-tugas kewartawanan sampai dia mau memperbaiki atau menghentikan perilakunya yang nyeleneh itu.

“Apa? Perilakuku dianggap nyeleneh? Yang benar saja, orang bercermin untuk melihat diri sendiri kok dianggap nyeleneh? Apa zaman ini sudah benar-benar edan?” omel Kimin sambil melempar surat skorsing ke keranjang sampah. “Gila!”

“Ia, tapi cara yang kamu pakai itu memang caranya orang gila, tahu?!”

“Persetan!”

Kimin tak mau memedulikan kawan-kawannya. Kimin terus ngeloyor pergi.

Cerita keganjilan tak hanya berhenti di situ. Sejak dia diskors, keesokan harinya, tetangga-tetangga Kimin mulai diliputi tanda tanya. Pagi itu orang-orang yang mau berangkat kerja dikejutkan oleh sebuah cermin berukuran besar, kira-kira 1 x 2 meter persegi, yang dipajang di halaman depan rumah Kimin. Di bagian atas cermin itu diberi tulisan: Silakan Ngaca!

Melihat keganjilan itu, tetangga-tetangga Kimin yang sedang berangkat kerja hanya tersenyum tipis. Mengulum keheranan. Selebihnya, mereka lekas melupakan urusan cermin itu. Mungkin, demikian pikir mereka, Kimin sedang akan mengganti kaca lemarinya. Tapi, tidak demikian bagi anak-anak yang hendak berangkat sekolah. Mereka justru tertarik dengan pemandangan ganjil itu. Beberapa anak yang berangkat sekolah menyempatkan diri berhenti, sejenak memperhatikan cermin itu, kemudian berebutan mengaca.

“Eh, gantian, kamu sudah kelihatan keren, tuh.”

“Ya, mana, aku juga mau ngaca.”

“Siiip…, kalau sudah rapi begini, pasti aku akan dipuji ibu guru yang cantik itu.”

“Ah, ge-er, kamu.”

Melihat peristiwa di depan rumahnya itu, istri Kimin yang sedang sibuk di dapur jadi uring-uringan. Dia cepat-cepat lari keluar dan lekas mengusir anak-anak yang masih bergerombol di depan cermin itu. Setelah anak-anak itu pergi, istri Kimin mengamati kaca yang dipajang suaminya. Sejenak dia mengelus dada, kemudian buru-buru membawanya masuk ke rumah.

“Kamu ini sudah gila apa?!” katanya bersungut-sungut sambil menuding kaca yang ditaruh di sebelah kiri Kimin. Kimin, yang sedang duduk asyik membaca koran, merasa terganggu oleh sikap istrinya. Kimin berdiri, lalu meremas-remas koran yang baru dibaca beberapa judul halaman depannya, dan melemparkannya ke keranjang sampah.

“Eh, itu koran baru. Aku belum baca, kok, dibuang ke keranjang sampah,” protes istri Kimin berkacak pinggang.

“Biar. Itu koran yang hanya memberitakan orang-orang yang tak mau ngaca. Kamu tak perlu baca itu,” sahut Kimin yang segera beranjak meninggalkan geram pada istrinya. Untuk beberapa saat, istri Kimin hanya terpaku, berdiri mematung memandangi suaminya yang terus ngeloyor pergi begitu saja.

Hari berikutnya, Kimin membuat keganjilan lagi. Bukan lagi di rumahnya, melainkan di alun-alun kota. Di seputaran trotoar alun-alun, Kimin memajang cermin berukuran 1 x 2 meter persegi. Bukan hanya satu, tapi belasan jumlahnya. Cermin itu dijejer mengelilingi alun-alun kota. Pada setiap cermin, di bagian atasnya juga diberi tulisan: Silakan Ngaca!

Pagi itu, warga kota yang sedang joging mengelilingi alun-alun dibuat terheran-heran. Satu dua orang akhirnya menyempatkan diri untuk mendekati cermin-cermin itu. Setelah membaca tulisan “Silakan Ngaca!” di bagian atasnya, secara refleks akhirnya mereka mencoba bercermin. Aneh, seorang yang sedang mengaca di bawah pohon akasia di sudut alun-alun tiba-tiba berteriak histeris setelah beberapa saat menatap gambar wajah dirinya di cermin itu. Sebab, setelah diamati secara serius, ternyata bukan gambar wajah dirinya yang nongol di cermin itu, melainkan gambar wajah seekor kera.

Lebih aneh lagi, hal serupa juga terjadi di deretan cermin-cermin yang lain. Hampir serentak, orang-orang yang berhenti sejenak dari joging untuk sekadar mengaca pada cermin-cermin itu berteriak histeris. Mereka tak percaya pada kenyataan yang ada di depan matanya. Mereka tak percaya jika pada cermin-cermin itu gambar wajah mereka ada yang berubah menjadi wajah kera, wajah buaya, wajah anjing, wajah babi, wajah badak, dan bahkan wajah buto cakil. Sejenak di antara orang-orang yang keheranan itu saling memandang. Tapi tidak ada perubahan apa pun pada wajah-wajah mereka. Kemudian, di antara mereka ada yang berinisiatif untuk bertukar tempat mengaca. Setelah saling melirik, secara hampir bersamaan mereka kembali mengaca. Namun, seperti sebelumnya, hampir serentak pula mereka kembali berteriak histeris. Sebab, yang muncul pada cermin-cermin itu bukan gambar wajah diri mereka, melainkan (tetap) wajah-wajah kera, buaya, anjing, babi, badak, dan buto cakil.

Histeria orang-orang yang berkerumun di sepanjang jogging track alun-alun itu membuat suasana pagi kota yang biasanya tenang menjadi gaduh, hiruk-pikuk. Dan orang-orang yang sedang melintas di jalan-jalan sekitar alun-alun itu pun akhirnya tersedot juga perhatiannya. Semakin siang, teriakan histeris terdengar semakin keras. Sebab, semakin banyak saja —karena penasaran— orang yang mencoba-coba mengada pada cermin-cermin itu yang wajahnya tiba-tiba berubah menjadi wajah binatang buas.

“Brengsek, kaca apa ini?! Menipu!” tiba-tiba salah seorang di antara kerumunan massa ada yang marah dan melempar cermin yang baru dipakai mengaca ke jalan raya. Tentu saja cermin itu pecah berantakan. “Laporkan ke polisi, ini harus diusut,” teriaknya.

Tidak lama berselang, puluhan polisi sudah tiba. Tempat itu langsung diamankan. Dan ratusan orang yang masih berkerumun diminta bubar. Namun massa tak mau bubar. Mereka hanya bergerak mundur beberapa meter dari jogging track alun-alun. Dan akhirnya jalan-jalan di sekitar alun-alun macet total. Karena massa tetap tak mau bubar, akhirnya polisi mengambili belasan cermin itu dan membawanya ke kantor polisi. Anehnya, massa tetap tak mau bubar. Kerumunan itu malah merangsek, bergerak menuju kantor polisi. Mereka ingin tahu, kenapa cermin itu bisa mengubah tampilan wajah setiap orang yang mengaca. Kenapa cermin itu selalu menampilkan gambar wajah-wajah binatang buas setiap kali ada orang yang bercermin. Kepala kepolisian akhirnya turun tangan sendiri. Dia memerintahkan anak buahnya agar menyimpan cermin-cermin itu di gudang sebagai barang bukti. Dan massa diminta bubar. Semula ogah, tapi akhirnya massa mau bubar setelah memperoleh jaminan polisi akan mengusut tuntas kasus itu.

Tapi, belum berhasil kasus diungkap, hal yang sama terjadi lagi keesokan harinya. Bahkan, kerumunan massa yang berebut bercermin jumlahnya dua kali lebih banyak dari hari sebelumnya. Anehnya, kini ratusan orang yang berjubel di sepanjang jogging track alun-alun malah berebut ingin mengaca, ingin melihat gambar wajahnya yang akan ditampilkan cermin itu.

Seperti hari sebelumnya, setiap kali ada orang bercermin, kaca-kaca itu tetap menampilkan gambar wajah-wajah binatang. Namun, berbeda dengan hari sebelumnya, orang-orang yang berebut mengaca itu kini tak lagi terusik perasaannya meskipun yang muncul pada cermin-cermin itu bukan gambar wajahnya sendiri, melainkan gambar wajah-wajah binatang. Aneh, mereka malah banyak yang merasa puas saat melihat gambar wajahnya berubah menjadi wajah kera, wajah anjing, wajah buaya, dan beragam wajah binatang lainnya. Orang-orang itu justru bangga sebab, dengan demikian, berarti mereka telah tahu dan mengenal wajah diri yang sebenarnya. Apa pun bentuk wajah yang terlihat pada cermin-cermin itu, mereka tak peduli. Bagi mereka, yang penting kini bisa melihat wajahnya sendiri, mengenali jati dirinya —sesuatu yang selama ini tak mereka ketahui.

Seperti hari sebelumnya, dari emper sebuah toko Kimin asyik sendiri menikmati pemandangan itu. Dengan bibir yang mengulum senyum, sesekali tangan Kimin sibuk membuat catatan pada sebuah notes yang sudah kumal. Tapi keasyikan Kimin kemudian terganggu saat terlihat rombongan wali kota berjalan menuju alun-alun. Di tengah kerumunan massa, wali kota menanyai satu dua warganya. Setelah itu, sang wali kota mencoba ikut mengaca di salah satu deretan cermin itu.

Melihat gambar wajahnya berubah menjadi wajah buto cakil pada tampilan cermin, raut sang wali kota mendadak berubah pucat. Dan beberapa detik kemudian, wajahnya berubah merah padam tanda naik pitam. “Ambil cermin-cermin ini dan hancurkan segera!” perintah wali kota kepada aparat keamanan yang menyertainya.

Orang-orang yang berkerumun menjadi bengong. Kemudian, “Jangan, Pak. Itu satu-satunya alat kami untuk bisa mengenali wajah diri kami yang sesungguhnya,” teriak beberapa orang hampir bersamaan.

“Ambil dan hancurkan cermin-cermin itu. Tangkap orang yang memajang kaca-kaca itu di sini. Ini perintah!” teriak wali kota kepada puluhan aparat keamanan yang masih terlihat ragu-ragu. Setelah wali kota mengulangi perintahnya disertai kemarahan, barulah aparat keamanan mengambili cermin-cermin yang dipajang berjejer itu. Namun, seperti dikomando, massa ternyata mengadang agar kaca-kaca itu tak diambil guna dihancurkan. Karena saling ngotot, masing-masing bersikukuh, akhirnya terjadi keributan dan kaca-kaca itu pun hancur berantakan. Banyak orang menangis karena merasa kehilangan pengilon, alat untuk melihat gambar dirinya yang ajaib itu.

**

Sore hari menjelang senja, saya sedang menyelesaikan laporan berita peristiwa keributan di alun-alun itu ketika seseorang mengetuk pintu, bertamu. Kepada saya, orang itu menyerahkan sebuah bingkisan dan segera minta diri. Saya segera membuka bingkisan itu. Dan saya terkejut, ternyata bingkisan itu merupakan sebuah kado. Isinya sebuah cermin berukuran 10 x 15 sentimeter disertai sebuah catatan pendek:

Aku tahu saat ini hari ulang tahunmu. Hanya cermin inilah yang bisa kuhadiahkan. Karena dituduh memancing keributan, aku kini ditahan polisi.

Dari sahabatmu, Kimin.

Ya Tuhan, haruskah cermin ini kini menjadi milikku….

Multi-Page

Tinggalkan Balasan