Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW merupakan inti dari keimanan seorang muslim. Nabi tidak hanya diposisikan sebagai pembawa risalah, melainkan juga teladan moral, sumber inspirasi, serta pengikat spiritual umat Islam.
Dalam tradisi pesantren, kecintaan kepada Nabi menjadi bagian yang inheren dari proses pendidikan dan pembentukan karakter santri. Namun, bagaimana sesungguhnya santri mengekspresikan cinta itu, dan sejauh mana ekspresi tersebut berdampak pada kehidupan nyata mereka?

Pertanyaan ituah yang perlu ditelaah secara kritis, sebagai momentum tepat pada tanggal dilahirkannya Nabi Muhammad, yaitu 12 Rabiul Awal.
Pertama, kecintaan santri kepada Nabi sering diwujudkan melalui ritual keagamaan. Misalnya, pembacaan maulid, selawat, barzanji, dan diba’ yang rutin dilaksanakan di pesantren. Aktivitas ini menumbuhkan rasa rindu dan penghormatan mendalam terhadap Rasulullah.
Namun, perlu dicermati bahwa cinta yang hanya diwujudkan dalam bentuk ritual seremonial dapat berpotensi bersifat simbolis belaka. Cinta sejati semestinya melampaui dimensi ritual menuju penghayatan terhadap makna kehidupan Nabi sebagai uswah hasanah (teladan yang baik).
Kedua, dalam aspek pengamalan ilmu, santri mengekspresikan cinta dengan mendalami hadis, sirah nabawiyah, dan akhlak Rasulullah. Mereka diajarkan untuk tidak sekadar menghafal, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai itu dalam perilaku sehari-hari.
Namun di sini pula tantangan muncul: apakah santri hanya berhenti pada penguasaan teks, atau mampu mengaktualisasikannya dalam praktik sosial? Kecintaan kepada Nabi akan bermakna ketika ilmu yang dipelajari menjadi dasar untuk bersikap jujur, sederhana, dan peduli kepada sesama sebagaimana dicontohkan Nabi.
Ketiga, ekspresi cinta santri kepada Nabi terlihat pada sikap ketaatan terhadap guru. Guru dalam tradisi pesantren dipandang sebagai penerus sanad keilmuan Nabi. Menghormati guru, tawadhu, serta berkhidmah di pesantren merupakan refleksi kecintaan mereka kepada Rasulullah.
Akan tetapi, aspek ini juga mengandung problematika. Relasi guru-santri bisa berpotensi menimbulkan sikap taklid buta bila tidak diimbangi dengan nalar kritis. Padahal, Rasulullah sendiri mendorong umatnya untuk berfikir, berdialog, dan tidak menutup pintu ijtihad.
Keempat, cinta kepada Nabi juga harus dibaca dalam konteks sosial. Nabi Muhammad bukan hanya teladan dalam ibadah, tetapi juga pemimpin yang memperjuangkan keadilan, memberantas penindasan, dan mengedepankan kasih sayang. Santri yang mencintai Nabi idealnya tidak hanya rajin bershalawat, tetapi juga hadir di tengah masyarakat dengan membawa semangat reformasi sosial. Mereka seharusnya mampu menjadi agen perubahan, memperjuangkan nilai keadilan, dan membela kaum lemah, sebagaimana misi profetik Nabi Muhammad.
Dengan demikian, kecintaan santri kepada Nabi Muhammad tidak boleh berhenti pada dimensi emosional dan ritualistik semata. Cinta sejati menuntut pembuktian melalui akhlak, pemikiran kritis, dan aksi nyata. Dalam konteks modern, santri dihadapkan pada tantangan globalisasi, sekularisasi, dan degradasi moral. Maka, mencintai Nabi berarti meneguhkan nilai Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dengan cara yang relevan dengan zaman.
Akhirnya, santri perlu menyadari bahwa mencintai Nabi bukan hanya mengulang-ulang syair pujian, tetapi juga berusaha menghadirkan keteladanan Rasulullah dalam setiap sendi kehidupan. Tanpa aktualisasi, cinta hanya akan menjadi romantisme sejarah. Tetapi dengan penghayatan dan amal nyata, cinta kepada Nabi akan menjadi energi transformatif yang mampu membentuk santri sebagai pribadi beriman, berakhlak, dan berdaya guna bagi umat dan bangsa.