Cara Sederhana Santri Mencintai Nabi Muhammad

Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW merupakan inti dari keimanan seorang muslim. Nabi tidak hanya diposisikan sebagai pembawa risalah, melainkan juga teladan moral, sumber inspirasi, serta pengikat spiritual umat Islam.

Dalam tradisi pesantren, kecintaan kepada Nabi menjadi bagian yang inheren dari proses pendidikan dan pembentukan karakter santri. Namun, bagaimana sesungguhnya santri mengekspresikan cinta itu, dan sejauh mana ekspresi tersebut berdampak pada kehidupan nyata mereka?

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Pertanyaan ituah yang perlu ditelaah secara kritis, sebagai momentum tepat pada tanggal dilahirkannya Nabi Muhammad, yaitu 12 Rabiul Awal.

Pertama, kecintaan santri kepada Nabi sering diwujudkan melalui ritual keagamaan. Misalnya, pembacaan maulid, selawat, barzanji, dan diba’ yang rutin dilaksanakan di pesantren. Aktivitas ini menumbuhkan rasa rindu dan penghormatan mendalam terhadap Rasulullah.

Namun, perlu dicermati bahwa cinta yang hanya diwujudkan dalam bentuk ritual seremonial dapat berpotensi bersifat simbolis belaka. Cinta sejati semestinya melampaui dimensi ritual menuju penghayatan terhadap makna kehidupan Nabi sebagai uswah hasanah (teladan yang baik).

Kedua, dalam aspek pengamalan ilmu, santri mengekspresikan cinta dengan mendalami hadis, sirah nabawiyah, dan akhlak Rasulullah. Mereka diajarkan untuk tidak sekadar menghafal, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai itu dalam perilaku sehari-hari.

Namun di sini pula tantangan muncul: apakah santri hanya berhenti pada penguasaan teks, atau mampu mengaktualisasikannya dalam praktik sosial? Kecintaan kepada Nabi akan bermakna ketika ilmu yang dipelajari menjadi dasar untuk bersikap jujur, sederhana, dan peduli kepada sesama sebagaimana dicontohkan Nabi.

Ketiga, ekspresi cinta santri kepada Nabi terlihat pada sikap ketaatan terhadap guru. Guru dalam tradisi pesantren dipandang sebagai penerus sanad keilmuan Nabi. Menghormati guru, tawadhu, serta berkhidmah di pesantren merupakan refleksi kecintaan mereka kepada Rasulullah.

Akan tetapi, aspek ini juga mengandung problematika. Relasi guru-santri bisa berpotensi menimbulkan sikap taklid buta bila tidak diimbangi dengan nalar kritis. Padahal, Rasulullah sendiri mendorong umatnya untuk berfikir, berdialog, dan tidak menutup pintu ijtihad.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan