Buruh dan Ketahanan Pangan di Indonesia

38 views

Ketahanan pangan merupakan isu strategis nasional yang sangat menentukan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.

Dalam konteks negara agraris seperti Indonesia, peran buruh dalam sektor pertanian, industri pangan, dan distribusi sangat vital dalam menjaga ketersediaan, keterjangkauan, dan keamanan pangan bagi seluruh masyarakat. Namun, peran penting buruh ini sering kali tidak diimbangi dengan perlindungan dan pengakuan yang layak, baik dari sisi kesejahteraan maupun kebijakan yang berpihak.

Advertisements

Indonesia memiliki jutaan buruh yang bekerja dalam rantai pasok pangan, mulai dari buruh tani, buruh pabrik makanan, pekerja pengemasan, hingga buruh distribusi dan logistik. Ironisnya, banyak dari mereka justru mengalami kerawanan pangan. Buruh tani, misalnya, yang menjadi aktor utama dalam produksi pangan, seringkali tidak memiliki lahan sendiri dan bekerja dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. Mereka tergantung pada sistem kerja harian lepas tanpa jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja.

Di sektor industri pangan, buruh dihadapkan pada sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak memberikan kepastian kerja. Upah minimum pun seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk pangan yang bergizi. Ini menunjukkan adanya paradoks besar: para buruh yang berada di jantung sistem pangan nasional justru tidak memiliki akses yang memadai terhadap pangan yang layak.

Ketahanan pangan selama ini sering dipahami secara teknokratis sebagai persoalan produksi dan distribusi. Pendekatan ini cenderung mengabaikan dimensi sosial-ekonomi yang memengaruhi siapa yang bisa mengakses pangan dan siapa yang terpinggirkan. Padahal, ketahanan pangan sejati tidak hanya mencakup ketersediaan pangan, tetapi mencakup aksesibilitas, keterjangkauan harga, keberlanjutan produksi, dan hak atas pangan yang adil.

Dalam konteks ini, buruh menjadi peran kunci. Mereka bukan hanya pelaku ekonomi, tetapi subjek politik yang mengalami langsung dampak dari kebijakan pertanian dan pangan. Ketika harga pangan melonjak atau ketika impor pangan meningkat tanpa regulasi yang memadai, buruh menjadi pihak yang paling terdampak baik sebagai produsen (petani atau buruh tani) maupun sebagai konsumen.

Sistem pangan Indonesia juga memperlihatkan ketimpangan struktural. Perusahaan-perusahaan besar, termasuk korporasi pangan multinasional, mendominasi rantai nilai pangan dan menentukan harga pasar. Sementara itu, buruh tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan nilai jual dari hasil produksi atau dalam proses pengambilan keputusan kebijakan.

Contohnya bisa dilihat dalam praktik alih fungsi lahan yang marak terjadi demi pembangunan industri atau infrastruktur. Ketika lahan-lahan pertanian produktif dikorbankan, buruh tani kehilangan sumber penghidupan, dan produksi pangan dalam negeri menurun. Akibatnya, Indonesia semakin bergantung pada impor pangan yang justru memperlemah ketahanan pangan nasional dan meningkatkan ketergantungan ekonomi.

Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak 2020 menjadi cermin betapa rentannya sistem ketahanan pangan yang tidak inklusif terhadap buruh. Banyak buruh kehilangan pekerjaan, dan mereka yang tetap bekerja menghadapi risiko tinggi tanpa perlindungan kesehatan yang memadai. Gangguan distribusi dan pembatasan aktivitas ekonomi menyebabkan lonjakan harga pangan yang semakin menyulitkan akses masyarakat miskin terhadap pangan bergizi.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketahanan pangan tidak bisa dilepaskan dari isu ketenagakerjaan dan keadilan sosial. Tanpa perlindungan bagi buruh, sistem pangan akan rapuh dan mudah goyah ketika menghadapi krisis.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan, negara perlu mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan inklusif. Pertama, pengakuan terhadap hak-hak buruh dalam sistem pangan harus menjadi prioritas. Ini mencakup hak atas upah layak, jaminan sosial, kondisi kerja yang aman, serta perlindungan terhadap buruh perempuan yang sering kali menjadi kelompok paling rentan.

Kedua, reforma agraria sejati harus dilaksanakan guna memberikan akses tanah kepada petani dan buruh tani. Tanpa landasan kepemilikan atau penguasaan lahan, buruh tani akan terus terpinggirkan dari sistem produksi pangan.

Ketiga, pemerintah harus mendorong model pertanian berkelanjutan berbasis komunitas, koperasi tani, dan agroekologi yang memperkuat posisi buruh dalam rantai pasok pangan. Model ini tidak hanya meningkatkan kemandirian pangan, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan kedaulatan petani dan buruh atas sumber daya alam.

Keempat, penting untuk membangun sistem pengawasan yang kuat terhadap praktik eksploitasi buruh dalam industri pangan. Undang-undang ketenagakerjaan harus ditegakkan secara konsisten, dan buruh harus dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan pangan di tingkat lokal maupun nasional.

Ketahanan pangan bukanlah sekadar soal memproduksi lebih banyak beras atau jagung. Ia adalah persoalan politik, ekonomi, dan sosial yang menyangkut hak asasi manusia, keadilan distribusi, dan keberlanjutan ekologi. Dalam kerangka ini, buruh bukan sekadar alat produksi, tetapi subjek penting yang harus diperhatikan secara serius.

Mengabaikan kondisi buruh dalam sistem pangan berarti menanamkan fondasi yang rapuh bagi ketahanan pangan nasional. Sebaliknya, memperkuat peran dan kesejahteraan buruh justru akan menjadi investasi strategis untuk masa depan Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan