Bumerang di Tubuh NU

1,934 kali dibaca

Telah sembilan puluh lima tahun umur Nahdlatul Ulama(NU) di tahun ini. Usia yang cukup matang untuk sebuah organisasi. Dalam kurun hampir satu abad itu banyak berseliweran dinamika-dinamika yang menghiasi perkembangan NU. Gerakannya yang moderat namun lugas acapkali berseberangan dengan ormas (organisasi massa) lain. Jalan tengah yang diambil dalam mengawal perjalanan Islam justru sering membuat ormas yang tak sepemikiran mendeskriditkannya.

Namun demikian, perjalanan waktu telah menyaksikan kedigdayaan NU dalam melawan kebatilan. PKI, misalnya. Ideologi keliru yang diusungnya pernah hampir menenggelamkan Indonesia dalam kegelapan zaman. Namun, dengan seizin Allah, organisasi itu pun akhirnya tumbang. Belakangan, gerakan Wahabi dan ormas yang berafiliasi atau sejalan dalam pemikiran dengannya pun juga menyusul tumbang. Pun demikian, bukan berarti perjuangan ormas yang didirikan oleh Hadrotus Syaikh Hasyim Asyari ini telah usai.

Advertisements

Sebagai ormas terbesar di Indonesia yang berorientasi pada keumatan dan mengawal perjalanan kemanusiaan, batu sandungan hampir selalu ada di setiap langkah. Wasatiyah atau jalan tengah yang dipegangi dalam berdakwah tak jarang dianggap liberal oleh kaum radikal. Pun, arus pemikiran itu telah, disadari atau tidak, mulai melakukan infiltrasi dalam sebagian tubuh NU (nahdliyin) sendiri. Arus pemikiran yang bersumber dari luar NU akan mudah ditenggarai dan kemudian dilawan. Namun bagaimana jika arus itu tumbuh dalam tubuh NU (nahdliyin) sendiri?

Entah itu dari mana bermula, namun kemudian di tubuh NU sendiri nyaring terdengar suara golongan yang mengatasnamakan Nahdlatul Ulama Garis Lurus (NUGL). Dari nama saja dapat ditemukan kejanggalan. Tambahan garis lurus seolah ingin mengatakan bahwa NU yang ada saat ini, yang notabene merupakan warisan dari para ulama alim allamah di masa lalu, telah mengalami pembelokan. Kritik-kritik mereka di antaranya berupa tuduhan Syiah yang mulai merasuki tubuh NU. Belakangan, KH Said Aqil Siradj yang menjadi Ketua Umum PBNU pun dianggap berpaham syiah dan sempat disidang (tabayun), dan ternyata hasilnya tidak benar adanya tuduhan itu.

Selain tuduhan Syiah, tuduhan paham liberal juga menghantui perjalanan ormas ini. Paham liberal yang merupakan paham moderat tapi kebablasan, atau menjalankan syariat namun melenceng dari rambu-rambu dalil nash Quran-Hadits menjadi agak sulit diidentifikasi karena luasnya dalil-dalil dengan seluruh penafsiran-penafsirannya. Kegiatan banser dalam menjaga gereja, misalnya. Hal ini dianggap tak berdasar atau keliru karena dianggap melenceng dari ajaran agama. Di sisi lain dianggap berpahala karena menjaga manusia dari sisi kemanusiaan.

Ini hanya contoh kecil. Di luar itu masih banyak hal yang membuat NUGL semakin tidak respek pada jajaran NU struktural. Tindakan-tindakan golongan NUGL yang merongrong NU dari dalam tentu (dalam sudut pandang penulis) adalah sebuah kesalahan. Kritikan-kritikan yang tidak disampaikan secara langsung pada pihak yang dianggap keliru merupakan gambaran betapa tradisi husnudzon dan tabayun mulai pudar dan digantikan oleh suburnya suudzon dan egoisme pribadi/golongan. Dengan gerakan-gerakan NUGL yang selama ini digemborkan, seolah kredibilitas ulama berkualitas dipertanyakan. Rasa takdzim pada ulama pun semakin terkikis.

Padahal, Imam Tajudin As-Subki rahimahaullah mengatakan, “Memperbincangkan para imam agama, dan saling membandingkan di antara mereka yang belum sampai pada tingkatannya, itu hal yang tidak bagus. Dikhawatirkan akibat buruknya di dunia dan akhirat. Sedikit sekali orang yang terjerumus dalam hal ini dapat selamat. Terkadang hal ini merupakan sebagai sebab terjerumus kepada ulama yang dapat menghancurkan tempat.” (Al-Asybah Wan Nazoir, 2/328).

Gerakan NUGL masih terus ada dan berkembang hingga kini. Penulis sendiri mengakui sepak terjang NUGL tidak sepenuhnya salah, bahwa ada hal yang perlu dibenahi di tubuh NU (misalnya, mengungkapkan statemen kontroversial). Akan tetapi, keberadaan NUGL nyata menjadi bumerang di tubuh NU sendiri. Banyak ulama’ yang dikritisi, bahkan kiai khos sekelas Gus Baha pun tak luput dari kritikannya. Padahal, jika memang bermaksud mengingatkan seharusnya tabayun, atau berdiskusi secara langsung pada yang bersangkutan agar tidak timbul fitnah di antara umat. Meminjam dawuh Imam As Subki tersebut, berhentilah memperbincangkan para imam agama karena dikhawatirkan akan ada keburukan bagi orang yang nyinyir itu, baik itu keburukan di dunia maupun di akhirat.

Akhir kata, selamat harlah yang ke-95 NU-ku. Semoga NU semakin bisa merangkul semua golongan (baik di tubuh NU sendiri ataupun di luar NU) dan ke depan semakin gemilang dalam menyebarkan kebaikan. Wallahu a’lam.

Multi-Page

One Reply to “Bumerang di Tubuh NU”

Tinggalkan Balasan