Buku Itu dan Istrinya

849 kali dibaca

Senja merupakan saat paling nyaman sepanjang hari. Itulah kalimat pembuka Po-On, novel karya F Sionil Jose, pengarang berkebangsaan Filipina yang memenangkan Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1980.

Bahwa kalimat itu begitu sederhana, Sukra sudah mafhum. Namun, meskipun sederhana kalimat itu sangat berkesan di hatinya. Karena itu, dia selalu memilih senja hari untuk setiap perbincangan-diri, termasuk di senja ini, di sebuah pantai laut lepas. Sukra, karena pergulatan hidupnya, telah mengabaikan sejumlah petuah nenek moyangnya tentang surup. Dulu, ketika masih bocah, saat senja tiba yang berarti surup, oleh orangtua dan lebih sering neneknya, Sukra dilarang keluar rumah. Saat-saat seperti itu, katanya, banyak dedemit mencari mangsa. Bila surup tiba, seluruh anggota keluarga harus berada di dalam rumah.

Advertisements

Kini, setelah bergelut dan mengenal banyak warna kehidupan, Sukra memiliki pandangan hidup yang berbeda. Wajar jika kemudian Sukra sangat terkesan dengan kalimat pembuka Po-On tersebut. Kini, di mata Sukra, senja merupakan waktu di mana banyak keindahan tersimpan, banyak makna terkandung. Sering di waktu senja, dia duduk tepekur atau merenung, mencoba menjelajahi perjalanan hidupnya yang telah berlalu.

Senja adalah saat di mana matahari mulai bersandar di kaki langit, barang sejenak melepas lelah, dan untuk segera kembali ke peraduannya. Menyimpan selaksa peristiwa, untuk ditukar dengan sejuta mimpi dalam tidur setiap manusia di malam hari. Dan kini Sukra menatapnya dengan tajam, dari batas bibir pantai. Dibiarkan angin basah melepas kegerahan atau semacam kesumpekan hari-harinya. Dengan kesejukan, Sukra ingin berada di batas pergantian waktu. Sukra ingin merasakan apakah di saat berada di batas pergantian waktu, ketika malam memeluk siang, juga masih memiliki kecenderungan untuk memiliki banyak hal. Sukra ingin berada di titik nol, suatu kondisi yang terbebas dari riuh rendahnya daya tarik beragam hasrat.

***

Gelombang laut yang tercipta dari putaran bumi, terus bergerak dan menepi. Selalu memecah di garis tepi. Sukra mengikuti irama napas geraknya, irama gerak hidupnya. Di batas senja, Sukra memejamkan mata. Sepi memberi waktu kepada gemuruh ombak yang pecah untuk menyapa setiap pendengaran. Sukra tidak mendengar suara apa pun kecuali kehidupan laut. Pusat kesadarannya menangkap harmoni kehidupan alam. Cahaya bulan keperakan mempercantik tarian gelombang. Semuanya bergerak sebagaimana harus bergerak. Bulan bersinar sebagaimana ia harus bersinar. Angin berembus sebagaimana ia harus berlaku demikian.

Dia hanya berdiri mematung, menyaksikan segala yang terjadi. Mungkin dia terlalu lelah untuk sekadar melangkah mendekati percikan air dari pecahan ombak. “Tuhan, izinkan aku menunda maghribku,” Sukra berguman.

Sorot mata dan raut mukanya menampakkan kelelahan. Kelelahan yang bukan disebabkan banyaknya kesibukan kerja, melainkan karena terlalu seringnya dia harus, terutama kepada istrinya, meyakinkan bahwa sikap dan pandangan hidupnya tidak salah, dan dia bisa mempertanggungjawabkannya.

Sukra memang belum lama hidup bersama Darsih, istrinya. Mereka baru menjalani separo tahun pertama perkawinannya. Biasanya orang yang usia perkawinannya seperti itu, masih selalu seiring sejalan dalam menikmati rajutan benang cintanya. Namun tidak demikian dengan kehidupan pasangan Sukra-Darsih. Kehidupan pasangan muda ini sudah mulai dingin menginjak paro kedua tahun pertama perkawinannya. Itu terjadi bukan karena Sukra mulai selingkuh. Sebab, Sukra tergolong lelaki yang mengagungkan kesucian cinta. Sukra adalah lelaki yang selalu berjalan mengikuti tuntunan nuraninya, bukan nafsu primitifnya.

Tapi justru di situlah, di mana Sukra dinilai terlalu ketat dan kaku mengikuti suara hatinya, Darsih sering merasa dibuatnya kesal. Sukra dinilai terlalu asyik dan serius dengan dunianya sendiri. Sementara, keluarganya lebih memerlukan sentuhan-sentuhan tangan manusiawinya. Tapi semua urusan keluarga justru diserahkan kepada Darsih.

Sebenarnya, dulu, ketika keduanya masih menjadi mahasiswa, justru sikap dan perilaku Sukra seperti itulah yang membuat Darsih jatuh hati. Darsih, yang dua tahun belakangan masuk universitas, sangat mengagumi pribadi Sukra. Saat pertama kali bertemu, Darsih merasa laki-laki itu memiliki daya tarik yang kuat. Itu bukan karena wajah Sukra tergolong tampan dengan postur tubuh yang menjanjikan kepuasan seksual. Bukan. Dari sorot mata, cara memandang, dan gaya bertuturnya, Darsih merasa lelaki yang sedang berada di hadapannya itu adalah sosok manusia yang sangat menantang sekaligus misterius. Begitu memandang, Darsih merasa sorot mata Sukra tajam menusuk. Ketika berbicara, tutur katanya terasa begitu jernih, mantap, dan menunjukkan bahwa yang sedang berbicara adalah lelaki yang penuh percaya diri. Namun begitu, Darsih juga mengakui bahwa penampilan Suktra terkesan begitu dekil. Rambutnya gondrong tak teratur, baju dan celana yang dikenakan selalu lusuh, bagian tumit sepatunya selalu diinjak dalam lipatan. Dan, yang membuat Darsih agak gelisah, setiap embusan napasnya selalu dihiasi asap rokok.

“Orang ini begitu menantang, tapi terasa sangat misterius. Aku harus mengenalnya lebih dekat, mendalami kehidupannya,” begitu Darsih membatin ketika berkenalan. Kepada teman-temannya, secara tersamar Darsih sering mengungkapkan isi hatinya itu. Dari pertamuan pertamanya, Darsih sudah memperoleh kesan bahwa Sukra tergolong mahasiswa intelek, gentle, namun berpanampilan ngere. Mungkin, demikian Darsih menduga-duga, Sukra hanya seorang pemuda yang sedang patah hati.

“Oh, pantas saja…,” Darsih berkata dalam hati beberapa pekan kemudian setelah mulai mengenal kehidupan Sukra. Darsih pun menjadi tahu, selain dikenal sebagai aktivis mahasiswa, Sukra juga tergolong seniman kampus. Atau, paling tidak, jiwa dan selera seninya sangat menonjol. Darsih juga kian tertarik dengan luasnya cakrawalan pemikiran Sukra. Sebab, meskipun Sukra mengambil jurusan pendidikan, namun ketika berbicara soal seni dan sastra, tidak kalah dengan mahasiswa jurusan sastra. Bahkan, sejumlah cerpennya pernah dimuat koran. Malah Darsih mendengar Sukra pernah mementaskan sebuah drama dan dia sendiri sutradara dan penulis naskahnya. Mungkin, Sukra memang memiliki bakat alam, demikian Darsih membatin.

Dan pada titik itulah perhatian Darsih terpusat dan tertambat. Akhirnya Darsih juga menyadari bahwa lelaki yang sudah mulai menyedot perhatiannya itu memiliki potensi yang, bila tak salah arah, akan bisa berkembang luar biasa. Dengan alasan ingin terus mengikuti perkembangan Sukra, akhirnya Darsih memang selalu dekat dengan Sukra. Namun, Darsih menyadari, di saat-saat tertentu Sukra ternyata sulit diikuti. Atau, demikian suatu hari Darsih membatin, barangkali karena jalan pikiran keduanya berbeda, Darsih sering mengalami kesulitan membaca perilaku dan kecenderungan Sukra.

“Aku adalah kuda jantan yang berlari kencang menuju sejumlah arah. Dan, aku tidak akan menoleh atau berputar ke arah belakang. Aku akan meninggalkan setiap apa yang tak bisa mengikuti gerak langkahku,” kata Sukra kepada Darsih ketika mereka sedang makan malam bersama. Darsih memahami sepenuhnya apa yang dimaksud Sukra. Tapi perempuan itu menjadi kian tertantang. Kalau Sukra kelak memang harus jadi seorang seniman, jadilah, asal bukan seniman gembel, kata Darsih dalam hati.

Dalam prosesnya Darsih ingin punya peran, dan karena itu mereka terlibat dalam sebuah perkawanan yang lebih intim dan sublim. Sukra, yang sebelumnya selalu cuek dan kurang menaruh minat terhadap kehadiran perempuan, akhirnya menerima kehadiran Darsih yang selalu berada di sisinya. Hubungan mereka pun membawa perubahan bagi keduanya. Dua pribadi yang berbeda ini saling mengisi saling memberi. Sukra pun mengalami perubahan. Seringkali ia tampil lebih rapi, necis, tidak lagi ngelombrot. Seiring dengan itu, kegiatannya di bidang kesenian kampus mulai berkurang. Namun, bukan berarti kesibukannya juga menurun. Sukra tetaplah Sukra, tipe aktivis mahasiswa tulen. Meskipun tak mengabaikan perkawanannya yang intim dan sublim dengan Darsih, pikiran dan waktunya tetap lebih banyak dicurahkan untuk kemahasiswaannya, yang tak kalah menantang dibanding berkeseniannya.

Ada tiga hal yang menyita hampir seluruh pikiran dan waktu Sukra. Yaitu buku, diskusi, dan aktivitas kemahasiswaan. Sukra adalah tipe mahasiswa yang sangat betah memelototi buku selama berjam-jam. Sukra adalah tipe mahasiswa yang dalam kesempatan apa pun selalu mengajak diskusi lawan bicaranya. Sukra adalah —dan karena itu ia dikenal sebagai tokoh— mahasiswa yang mengharuskan dirinya selalu terlibat dalam semua kegiatan mahasiswa.

Dan hati Darsih berbunga-bunga melihat perkembangan Sukra seperti yang diinginkannya. Dengan perkembangan seperti itu, demikian Darsih membatin, jalan Sukra untuk menjadi seniman mulai menyempit. Melihat gelagatnya, Darsih yakin Sukra kelak akan seorang intelektual atau, paling tidak, seorang akademisi berbakat. Darsih pun semakin menggelamkan diri dalam kehidupan Sukra. Darsih kerap tenggelam di antara ratusan buku koleksi Sukra. Di tempat Sukra, mereka sering terlihat menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan membaca buku, jarang diselingi obrolan. Di saat-saat seperti itu, Darsih teringat mimpi orangtuanya yang ingin memiliki seorang menantu yang terpandang. Orang terhormat.

“Aku Tak ingin jadi penjual kecap. Aku juga tak mau jadi pegawai negeri atau orang kantoran yang terhormat itu. Aku tak ingin makan gaji lalu bekerja atau bekerja karena digaji. Aku hanya ingin menikmati jerih payak kerja kreatifku,” begitulah jawaban Sukra saat Darsih menawarkan sejumlah pilihan apakah kelak Sukra akan jadi dosen, pegawai negeri, atau orang kantoran. Sebab, di mata Darsih dan temannya, Sukra memang pantas untuk itu.

Ketika mereka sudah membangun kehidupan bersama, Sukra dan Darsih tetap memiliki kedirian yang berbeda. Sukra tetaplah Sukra. Begitupula Darsih: dia tetaplah seorang perempuan yang menginginkan dirinya menjadi istri seperti pada umumnya kaum perempuan. Namun, setelah sekian lama hidup bersuamikan Sukra, keinginannya itu tinggalah impian. Darsih pun sudah berada di batas kesabarannya. Saat dua hari Sukra tak pulang ke rumah, Darsih berbuat nekat: pagi-pagi sekali kamar khusus Sukra yang dijadikan perpustakaan dikosongkan. Buku-bukunya dipindahkan ke halaman belakang, dan dalam waktu singkat telah hangus terbakar. Jadi debu. “Kau terlalu mencintai buku-bukumu ketimbang harus repot memperlakukan aku sebagai istrimu, Sukra,” demikian geraman Darsih.

***

“Kau terlalu sentimentil, Darsih. Kauingat, bahwa buku makanan ruhaniku. Dan hanya perpustakaan itu kelak yang akan kuwariskan pada anak cucuku. Sebab, menurut sejarah, banyak tokoh besar yang di masa kanak-kanaknya hidup di tengah buku-buku yang dikoleksi ayahnya,” kata Sukra ketika pulang, dan langsung pergi lagi tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan istrinya yang berdiri di tengah pintu. Darsih belum sempat mengucapkan sepatah kata pun. Sebab, begitu tiba dan melihat apa yang terjadi, hanya kalimat itulah yang diucapkan Sukra sambil berlalu.

“Ya… masih ada kehidupan di pantai ini. Mungkinkah di rumahku juga…,” gumam Sukra sambil terus menatap laut lepas. Istriku, masihkah ia menyuguhkan kehidupan? Lagi, Sukra teringat istrinya. Istrinya yang telah lancang membakar buku-bukunya yang menurutnya lebih banyak menyuguhkan kehidupan.

Lama kemudian Sukra merasakan angin laut berembus semakin kencang. Ia merasa dikejutkan suara benda jatuh. Ia melihat, dan melangkah mendekatinya. Dan, sebuah buku dilihatnya tergeletak, di pantai ini, di senja ini.

Sukra terkejut. Sebab, saat dipungut, buku itu sampul depannya bergambar wajah istrinya. Sukra semakin tak mengerti, sebab, saat membuka halaman pertama, ia merasa yang dibukanya adalah baju istrinya. Ketika diteruskan membuka halaman berikutnya, yang dirasakan adalah ia mencopot kutang istrinya. Dan seterusnya. Tanpa berpikir panjang, buku itu dilemparkannya ke arah laut. Sukra berpaling, membelakangi laut, dan bergegas melangkah pulang. Kenapa bukan istriku yang menjadi buku, yang kelak kuwariskan buat anak cucuku, gumamnya.

ilustrasi: girl reading karya pablo picasso.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan