Bukan Arab, Tapi Islam: Gagasan Kiai Cepu Soal Sastra dan Lembaga Keagamaan

16 views

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyelenggarakan seminar dan tribute dengan tema “Peran Lembaga Kebudayaan Islam dalam Membentuk Sastra dan Drama Bernapas Islam di Indonesia#2”. Acara ini merupaka serangkaian dari acara Pestarama ke-10.

Pestarama merupakan kegiatan tahunan yang diinisiasi oleh Prodi PBSI sebagai ajang apresiasi seni dan budaya. Dalam penyelenggaraan tahun ini, Pestarama menghadirkan berbagai bentuk ekspresi kreatif, seperti pertunjukan teater, lokakarya satu hingga enam, workshop keaktoran, seminar nasional, serta tribute. Tema besar dari Pestarama#10 adalah “Relung Langkah Budayawan Muslim Indonesia”, yang menjadi refleksi satu dekade perjalanan kegiatan Pestarama.

Advertisements

Diskusi berlangsung di Aula Student Center UIN Jakarta dengan menghadirkan Dr. Kusen, M.A., atau yang lebih dikenal dengan sapaan Kiai Cepu, sebagai narasumber utama. Acara dipandu oleh moderator Rosida Erowati, yang merupakan dosen PBSI UIN Jakarta.

Kiai Cepu merupakan lulusan S-3 Filsafat Agama dari universitas di Australia dan saat ini menjabat sebagai dosen filsafat di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, sekaligus wakil di Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah. Selain itu, Kiai Cepu juga aktif dalam berbagai organisasi keislaman dan kebudayaan serta memiliki keahlian dalam seni monolog dan puisi.

Dalam pemaparannya, ia menegaskan bahwa sastra Islam tidak harus diidentikkan dengan tema-tema religius secara eksplisit. Menurutnya, esensi sastra Islam justru terletak pada nilai-nilai universal seperti keadilan, kejujuran, dan keagungan nilai-nilai inti yang terkandung dalam ajaran Islam.

Ia mencontohkan Kuntowijoyo sebagai sastrawan yang karya-karyanya mengandung semangat Islam, meski tidak secara langsung menampilkan simbol atau tema keagamaan. Lebih jauh, Kiai Cepu mengkritisi minimnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan seni, khususnya dalam bentuk drama dan sastra.

Menurutnya, meskipun saat ini telah ada upaya membuka ruang melalui berbagai lembaga dan program, menurutnya seni masih belum dianggap sebagai aspek utama yang perlu didorong secara serius dalam pembangunan kebudayaan nasional.

“Saya sangat menolak beberapa sastrawan dimasukkan begitu saja ke dalam kategori sastra Islam. Itu justru mempersempit makna sastra Islam seolah-olah hanya bercerita tentang agama. Misalnya, kisah Masyitoh menurut saya bukanlah sastra Islam, baik secara esensial maupun simbolis,” ucap Kiai Cepu.

Di akhir pemaparannya, beliau menegaskan bahwa seni harus tetap hidup dan berkembang meskipun menghadapi keterbatasan dalam hal pendanaan. Baginya, kekuatan seni bukan semata-mata ditentukan oleh ketersediaan dana, melainkan oleh semangat, dedikasi, dan tekad para seniman untuk terus berkarya.

Ia juga menyoroti pentingnya komitmen dan kecintaan terhadap seni sebagai landasan utama lahirnya karya-karya yang bernilai. Seni, menurutnya, adalah ekspresi jiwa yang harus tetap menyala meski berada dalam situasi yang penuh tantangan.

Diskusi dilanjut oleh narasumber kedua, Bambang Prihadi, yang menyampaikan pandangannya mengenai hubungan antara lembaga keislaman dan perkembangan seni. Dalam penyampaiannya, Bambang menekankan bahwa kesenian seharusnya dipahami sebagai ruang ekspresi yang tidak selalu perlu dilembagakan secara formal oleh institusi keislaman.

Ia mengajak audiens untuk membuka perspektif yang lebih luas dalam memandang keterkaitan antara seni, budaya, dan nilai-nilai keislaman. Menurutnya, pendekatan simbolik semata seperti identitas visual atau label “islami” tidak cukup untuk merepresentasikan kedalaman nilai keislaman dalam karya seni. Ia menegaskan bahwa kreativitas dalam seni harus diberi ruang bebas tanpa dibatasi oleh formalisasi atau pemaknaan yang sempit.

Kemudian, Rahmat Hidayatullah, pria yang meraih gelar S-3 Kajian Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta itu menyampaikan topik mengenai peran Lembaga Kebudayaan Islam (LKI) dalam mendukung sastra yang bernapaskan Islam. Ia menjelaskan bahwa sastra Islam tidak harus menampilkan ayat Al-Qur’an atau simbol keislaman secara langsung, tapi bisa dilihat dari nilai dan etika yang diangkat dalam karya.

Menurutnya, sastra Islam punya cakupan yang luas dan tidak terbatas pada bentuk yang formal. Sejak zaman dulu, sastra digunakan sebagai media dakwah dan kini berkembang menjadi sarana estetik dan religi. Di Indonesia, banyak seniman dan sastrawan yang menyampaikan nilai keislaman lewat karya sastra. Karena itu, LKI berperan penting dalam menjembatani nilai Islam dengan seni dan budaya secara lebih terbuka dan kontekstual.

Pemaparan penutup disampaikan oleh Mahwi Air Tawar, pria yang sering menulis puisi dan cerpen dan terbit di pelbagai media ternama dan konsisten mengadakan Semaan Puisi itu membahas sosok Mohammad Diponegoro, yang sering diinisial MD, sastrawan asal Yogyakarta yang banyak berkontribusi dalam perkembangan sastra dan teater Islam.

Menurut Mahwi, MD dikenal sebagai penulis yang aktif dan penuh gagasan. Diponegoro menciptakan Teater Muslim lewat naskah berjudul Iblis, di tengah dominasi teater seperti Bengkel Teater dan Rendra. Ia juga diketahui telah menulis puitisasi Al-Qur’an jauh sebelum H.B. Jassin, dengan gaya sastra yang kuat karena penguasaan bahasa Arab. Selain menulis, Diponegoro juga turun langsung ke sekolah-sekolah Muhammadiyah untuk mengajar menulis dan mengembangkan teater pelajar.

Namun, menurut Mahwi, karya-karya Mohammad Diponegoro belum banyak mendapat perhatian. Mahwi mengajak para penulis untuk mulai menulis tentang tokoh penting ini agar jasanya tidak terlupakan.

Seminar Nasional ini menjadi pembuka rangkaian kegiatan Pestarama#10, yang menandai sepuluh tahun perjalanan acara tahunan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pestarama terus menjadi ruang ekspresi dan apresiasi seni bagi mahasiswa.

Dengan semangat kolaboratif dan kreativitas yang terus tumbuh, diharapkan seluruh rangkaian kegiatan Pestarama#10 dapat berjalan lancar dan memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan, seni, dan budaya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan