“Kamu NU atau Muhammadiyah?”
Pertanyaan itu sering saya dengar ketika duduk di bangku kuliah. Saya yang tumbuh di lingkungan pesantren merasa heran. Bukan karena tersinggung, tapi karena selama ini saya tidak pernah merasa perlu memilih. Di kampus, pertanyaan seperti itu ternyata bukan hal asing. Ada yang menanyakannya dengan nada santai, ada pula yang serius seolah jawaban saya menentukan nasib hidup saya.

Saya lulusan Pesantren Hubulo, sebuah pesantren di Gorontalo. Pesantren yang berdiri di kaki pegunungan dengan suasana asri dan damai. Di Hubulo, kami belajar banyak hal, mulai dari ilmu-ilmu klasik sampai ilmu-ilmu umum. Tapi satu hal yang paling membekas adalah cara kami diajarkan berpikir. Kami dibiasakan untuk memahami perbedaan dan tidak merasa resah dengan banyaknya pendapat yang sah dalam Islam.
Subuh di pesantren kami kadang pakai kunut, kadang tidak. Tarawih bisa delapan rakaat, bisa juga dua puluh. Ada yang membaca bismillah jahran, ada juga yang sirran. Tidak pernah kami ribut karena soal itu. Yang penting kami paham alasan kenapa satu pendapat dipilih dan mana yang lebih kuat dalilnya. Karena itu, saat teman-teman di luar bertanya, “Kamu pilih yang mana?”saya sering kebingungan menjawab.
Suatu kali, saya berkunjung ke rumah teman di Semarang. Saat tiba waktu salat, saya minta diantar ke masjid terdekat. Teman saya bilang, “Kalau kamu pakai celana, mending ke masjid kanan aja, jangan yang kiri.”
Saya tanya kenapa, jawabannya malah bikin saya senyum sendiri. Katanya, masjid kiri itu NU, biasanya salat pakai sarung. Masjid kanan itu Muhammadiyah, jadi yang bercelana seperti saya lebih cocok. Saya tidak tahu apakah itu serius atau cuma guyonan, tapi bagi saya itu tidak masuk akal.
Di Pesantren Hubulo, kami tidak pernah diajari memilih kelompok hanya karena soal pakaian atau gaya salat. Kami diajari memilih karena alasan dan pemahaman. Dua pelajaran yang paling membentuk cara berpikir saya adalah Ushul Fikih dan Fikih. Di kelas Ushul Fikih, kami belajar tentang kaidah-kaidah dasar dalam mengambil hukum. Tentang istinbath, qiyas, dan pertimbangan maslahat. Tentang bagaimana teks dipahami, dan bagaimana konteks menentukan makna.
Di kelas Fikih, kami mengkaji kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Kitab ini tidak hanya menyebut satu pendapat, tapi menjelaskan berbagai pendapat para ulama beserta argumennya. Ustaz kami selalu menekankan agar kami tidak fanatik terhadap satu pendapat. “Yang penting jelas alasannya,” katanya. Bahkan beliau sering menantang kami untuk berani berpendapat berbeda, asalkan bisa dipertanggungjawabkan.
Meskipun kadang, saking terbiasanya berpikir bebas, santri-santri Hubulo jadi terlalu kreatif dalam membela diri. Misalnya dalam aturan berpakaian saat salat berjamaah. Sudah jadi adat pondok, kalau Maghrib, Isya, dan Subuh harus pakai sarung, koko, dan songkok. Tapi selalu saja ada yang datang pakai celana. Kalau ditanya, jawabnya bukan minta maaf, tapi malah berdalil, “Yang penting aurat tertutup, ustaz. Saya lagi pengen kaji pendapat kontemporer.” Padahal ya mungkin sarungnya belum kering.
Atau soal salat berjamaah. Azan sudah berkumandang, tapi dia masih asyik ngunyah di dapur. Alasannya: “Saya takut nggak khusyuk kalau belum makan.” Dalihnya terkesan paham maqashid, tapi kadang ya cuma akal-akalan supaya bisa santai sebentar lagi.
Di Mahkamah Pondok, kadang saya merasa sedang baca kitab Bidayatul Mujtahid versi live. Ada saja yang berdalih canggih soal hal-hal sepele. Misalnya yang terlambat baris pagi karena katanya bangun malam buat tahajud. Atau yang ketahuan tidak piket bersih-bersih karena bilang, “Toh kebersihan itu bukan cuma fisik, tapi juga batin.” Mungkin maksudnya batinnya bersih, jadi sapunya boleh disimpan.
Tapi dari semua kelucuan dan dalih itu, justru saya belajar satu hal penting: kebebasan berpikir itu mendidik, asal tahu batas. Islam tidak sesempit pertanyaan “ikut siapa”. Perbedaan bukan aib, tapi kekayaan. Karena itu tidak perlu heran kalau di masjid pesantren kami ada imam yang baca basmalah jahran, besoknya imam yang lain membaca sirran. Tidak ada yang merasa aneh. Tidak ada yang merasa paling benar.
Saya pikir, semangat ini juga tercermin dalam mars pesantren kami. Kalimat “berdiri di atas semua golongan, Qur’an Hadis jadi pedoman” bukan sekadar nyanyian. Itu adalah prinsip yang betul-betul hidup dalam keseharian santri. Kami tidak sibuk mencari golongan, tapi sibuk mencari dalil. Kami tidak terpaku pada simbol, tapi pada substansi.
Kini saya menyadari bahwa apa yang saya alami di luar pesantren bukan hal baru. Dunia luar memang penuh dengan sekat-sekat identitas. Tapi bekal dari Hubulo membuat saya tidak mudah terjebak. Saya bisa berdiskusi tanpa harus menghakimi. Saya bisa berbeda tanpa harus merasa paling benar. Itu semua karena saya pernah belajar bahwa berbeda itu biasa, asal tahu ilmunya.
Menjadi santri Hubulo membuat saya tidak takut untuk berpikir. Tidak takut untuk bertanya. Tidak takut untuk memilih pendapat yang berbeda, selama alasannya kuat. Karena itu, ketika saya ditanya lagi, “Kamu NU atau Muhammadiyah?” saya cuma senyum dan menjawab, “Saya santri Hubulo.” Wkwk—nggak ding, itu terlalu cocoklogi. Jawaban saya ya, “Saya Islam.”