Bendera

461 kali dibaca

Warsih mendekap erat bendera Merah Putih yang barusan diambil dari lemari kayu cokelat di kamar ayah. Pelan, Warsih mencium bendera yang berbau apak itu. Entah telah berapa puluh tahun usia bendera dengan ukuran 90 kali 60 sentimeter itu.

Yang jelas, bendera tersebut adalah peninggalan kakek-nenek yang kata ayah bernilai sejarah dan tak bisa digantikan dengan bendera-bendera lain yang lebih mahal dan bagus kualitas kainnya.

Advertisements

Bendera yang warna putihnya sudah agak menguning dan warna merahnya mulai memudar itu konon pernah ikut menjadi saksi sejarah kemerdekaan negeri ini. Almarhumah ibunya Warsih dulu pernah bertutur, ketika kemerdekaan Republik Indonesia ditetapkan, bendera tersebut dijahit sendiri oleh nenek. Setelah bendera usai dijahit, nenek menyerahkannya kepada kakek untuk dikibarkan di depan rumah sebagai wujud syukur atas kemerdekaan yang berhasil diraih oleh para pejuang.

“Kenapa Nenek nggak beli bendera yang sudah jadi saja, Bu?” tanya Warsih kala itu.

“Emm… Mungkin Nenek nggak mampu beli, makanya menjahit dengan kedua tangannya sendiri,” Ibu tampak ragu dengan jawabannya membuat kening di wajahku berkerut.

“Bukan nggak mampu, Bu,” ucap ayah yang tiba-tiba sudah berada di belakang ibu. Lantas ayah pun bercerita panjang lebar. Jadi, kakeklah yang menyuruh pada nenek agar menjahit bendera sendiri. Kata kakek, segala sesuatu yang dibuat dengan jerih payah sendiri itu lebih berkesan ketimbang membeli sesuatu yang sudah jadi. Kalau kedua tangan dan kaki kita berhasil mengusir penjajah dari negeri ini, kenapa hanya menjahit selembar kain saja nggak bisa? Begitu alasan kakek.

Alasan itulah yang menerbitkan ide di benak Warsih. Dia ingin sekali-kali mengamalkan pesan kakek; menjahit bendera sendiri. Rencananya dia akan membeli jarum, benang, dan kain dua warna; merah dan putih. Nantinya, bendera tersebut akan dipasang di depan rumah untuk memperingati kemerdekaan RI yang ketujuh puluh enam.

***

Dengan telaten Warsih memapah ayah menuju kamar mandi. Setahun terakhir ini ayah memang sering sakit-sakitan. Kata dokter, ayah mengalami gejala stroke ringan. Hal inilah yang menjadi penyebab tubuh ayah sering ngedrop. Kadang dua hari terlihat bugar, tapi hari berikutnya tiba-tiba meriang, sekujur tubuh terasa kesemutan dan keseimbangannya menurun. Karenanya, Warsih berusaha agar bisa menjaga ayah setiap waktu.

Untung saja Warsih tak dipusingkan biaya hidup dirinya dan sang ayah. Karena Tarjo, suaminya yang sudah tiga tahun bekerja di Malaysia selalu rutin mengiriminya uang. Warsih menikah dengan Tarjo, pria yang berasal dari kampung sebelah itu lima tahun silam, ketika ibunya Warsih masih hidup. Kesulitan ekonomi dan susahnya mendapatkan pekerjaan di negeri sendiri membuat Tarjo memilih mengais rezeki di luar negeri.

Selesai dari kamar mandi, Warsih menyiapkan bubur untuk menyuapi ayah. Setelahnya, Warsih izin pada ayah. Ingin pergi berbelanja ke pasar, sekaligus beli kain, jarum, dan benang sebagai bahan membuat bendera. Ayah tersenyum ketika Warsih menceritakan keinginannya untuk menjahit bendera sendiri. Ayah sangat setuju bahkan menurutnya menjahit bendera sendiri termasuk cara kita mencintai tanah kelahiran.

***

Warsih meringis menahan nyeri. Telunjuknya tertusuk jarum ketika bendera yang dia jahit nyaris selesai. Buru-buru dia memasukkan telunjuknya ke dalam mulut. Dia masih ingat kebiasaan almarhumah ibunya yang selalu mengisap jari saat tersayat pisau atau benda tajam lainnya. Air liur dalam mulut konon dipercaya bisa membantu menyembuhkan luka.

Warsih merasa lega saat telunjuknya tak lagi berdarah. Hanya menyisakan sedikit pegal yang dia yakin sebentar lagi akan sembuh dengan sendirinya. Bagi Warsih, jari terluka sudah biasa. Dia biasa mengalaminya dulu, awal-wal baru menjadi seorang istri, saat sedang merajang bumbu-bumbu di dapur.

Warsih kembali melanjutkan menjahit bendera yang sudah hampir kelar. Ketika telah selesai dijahit, Warsih merentangkan bendera tersebut di depan ayah yang sedang duduk di atas dipan. Raut Warsih terlihat sangat puas dengan hasil jahitannya yang lumayan rapi.

“Kamu pantas jadi penjahit, jahitanmu sangat rapi,” ayah memuji sambil meraba kain bendera tersebut. Pujian ayah yang tampak tulus menerbitkan sebuah rencana di benak Warsih. Dia akan belajar menjahit pakaian sebagai kegiatan selingan di rumah. Rencananya via telepon, dia akan minta izin sekaligus bertanya pada Tarjo, apa boleh suatu saat membeli mesin jahit?

***

Agustus akhirnya tiba. Bendera siap dipasang. Warsih telah menyiapkan bambu sepanjang tiga meter yang barusan ditebang. Di belakang rumah memang banyak pohon bambu tumbuh rimbun saling berhimpitan. Tak butuh waktu lama bagi Warsih untuk menalikan bendera tersebut ke bagian atas bambu kecil tersebut.

Namun ketika bendera telah siap ditancapkan di pinggir jalan depan rumah, terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah. Warsih langsung teringat ayah dan itu membuatnya panik. Setengah berlari dia pun masuk ke dalam rumah.

“Ayah!”

Warsih berjongkok, meraih dan memapah tubuh ayah.

“Ayah nggak apa-apa kok, cuma terpeleset,”

Lega. Itu yang dirasa Warsih saat melihat kondisi ayah baik-baik saja. Warsih tersenyum ketika ayah bilang bahwa dia terjatuh karena ingin keluar rumah. Ayah ingin menyaksikan putri semata wayangnya yang belum dikaruniai momongan itu memasang bendera. Karena tergesa berjalan, tongkat penyangga tubuh melesat dan ayah pun terjatuh.

***

Ayah duduk di atas lincak sambil tersenyum. Kedua matanya yang kian lamur digerus usia tampak basah saat menyaksikan Warsih menancapkan bambu bendera di depan rumah tepi jalan. Bendera Merah Putih itu tampak berkibar saat tertiup angin. Ayah tertawa geli saat melihat Warsih sibuk menggaruk-garuk tangannya. Ayah tebak, tangan Warsih terkena bulu-bulu bambu yang biasanya menimbulkan gatal-gatal saat bersentuhan dengan kulit.

Multi-Page

2 Replies to “Bendera”

Tinggalkan Balasan