Fikih memang merupakan peranti Islam untuk mengatasi persoalan sosial. Akan tetapi, ia bukan satu-satunya. Paham fikih tidak berarti bisa mengatasi masalah sosial. Ia hanya sebatas preskripsi hukum yang tertulis dalam kertas-kertas tanpa daya.
Karenanya, konkretisasi fikih dalam bentuk tindakan dengan persebaran dalam skala kolektif tidak bisa independen. Hal ini karena fikih itu normatif. Ia hukum.

Di satu sisi, hukum memang mengayomi dan bertujuan menciptakan keadilan, namun di sisi lain ia memiliki tabiat melawan. Terlebih untuk kepentingan dakwah; interaksi fikih dengan realitas justru lebih dominan dengan dialog sinis. Itulah kenapa fikih tidak cukup untuk mencapai tujuannya sendirian.
Kita bisa lihat beberapa kasus fikih yang berjalan sendirian dalam menyukseskan dakwah. Hasilnya mendapat perlawanan balik dari objek dakwah. Sebut saja misalnya terkait fatwa haram sound horeg; di mana fikih berjalan sendirian berkampanye melawan sound horeg. Dampaknya, alih-alih berhasil mencapai tujuan, objek dakwah melakukan perlawanan balik terhadap fatwa tersebut.
Kami sepakat bahwa sound horeg haram. Namun, memfatwakan kesimpulan hukum tersebut tidaklah benar jika melihat fenomena di lapangan. Tidak semudah itu mengubah masyarakat dalam kaitannya dengan fenomena sound horeg dan semisalnya.
Masih terkait sound horeg. Biarlah hukum haram itu menjadi landasan untuk melakukan perlawanan terhadap sound horeg. Cukup sebagai landasan. Bukan sebagai senjata pamungkas yang kemudian dibungkus melalui fatwa yang bersifat publik. Masih ada banyak bentuk perlawanan terhadap hiburan yang merugikan itu. Berfatwa bukan satu-satunya—bahkan berdasarkan yang terjadi justru ia adalah senjata tumpul dalam melakukan perlawanan.
Dari itu, para ahli fikih tidak cukup untuk memahami teks-teks kitab klasik untuk menyukseskan misi dakwahnya, melainkan juga perlu menguasai ilmu-ilmu sosial dan dakwah.
Bagaiamana Seharusnya Fikih Dieskpresikan?
Salah satu yang bisa dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap suatu pelanggaran hukum yang dilakukan secara kolektif oleh suatu komunitas adalah dengan membuat produk tandingan. Kembali pada sound horeg; bahwa menciptakan hiburan masyarakat yang lebih positif dengan tujuan memikat mereka sehingga berpaling dari hobinya yang meresahkan adalah pilihan yang lebih bijak dari pada berfatwa haram. Alih-alih mengancam, dengan membuat produk tandingan kita sedang melakukan perlawanan secara bijak. Dan itu adalah prinsip dakwah dalam Islam.
Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Alm. KHR. Fawaid, pengasuh ke-3 PP Sukorejo, dalam berdakwah melawan hiburan musik yang di dalamnya mengandung perbuatan haram, seperti ikhtilath (percampuran antarlawan jenis).
Beliau tidak tiba-tiba berfatwa haram terhadap kegiatan-kegiatan orkes dengan goyangannya yang menggoda, melainkan menciptakan Grup Gambus Al-Badar untuk menarik minat masyarakat dan berpaling dari hiburan musik yang mengandung perbuatan haram. Bahkan, tidak hanya bertujuan membuang kecintaan masyarakat pada hiburan musik yang mengandung unsur haram, dengan Grup Gambur Al-Badar beliau juga meningkatkan kecintaan mereka pada Rasulullah.
Itu salah satu cara yang bisa diterapkan. Cara yang kedua adalah melawan dari dalam. Bisa dikatakan bahwa menyatakan diri sebagai lawan atas suatu musuh sama halnya dengan membantunya untuk melawan balik. Dengan mereka tahu bahwa kita sedang berusaha menghapus status quo-nya, persiapan untuk mengadang atau bahkan melakukan perlawanan bisa saja terjadi. Dari itu, untuk setiap pelanggaran hukum yang dilakukan secara kolektif oleh suatu komunitas, perlu adanya pendekatan yang harmonis dan merangkul.
Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Walisongo, bahkan terbukti berhasil dalam misi mengislamkan Nusantara. Para sunan bukan menghajar mereka dengan pukulan dan kata-kata; tidak berfatwa bahwa perbuatan mereka adalah tindakan syirik dan kufur. Adapun, yang dilakukan oleh Walisongo adalah melawan dari dalam. Dengan upaya sedikit demi sedikit memasukkan beberapa nilai-nilai keislaman pada budaya dan tradisi menyimpang masyarakat Nusantara kala itu, Islam dapat tersebar luas ke seluruh penjuru Nusantara, bahkan sampai saat ini menjadi negara dengan jumlah populasi muslim terbesar kedua di dunia.
Dari dua cara tersebut, penulis teringat pada suatu kalimat hikmah berbahasa Madura terkait dakwah. ”pegha’ jukokna jhe’ palekko aingnga” (tangkap ikannya, jangan keruhkan airnya). Kalimat ini sedang menasihati para pendakwah yang cenderung sinis dan memusuhi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Metode dakwah yang diinginkan oleh kalimat ini adalah pendekatan persuasif, bukan pendekatan yang melawan.
Apa yang dituju oleh dakwah adalah terciptanya ruang sosial yang bersih dari dosa, dan hal itu bisa dicapai tanpa harus merusak hak-hak pelaku dosa. Berdakwah itu bukan mengajak, bukan memaksa sehingga harus ada yang dikorbankan.
Seperti itulah seharusnya fikih diekspresikan. Cukuplah ia sebagai pegangan dan landasan dakwah, bukan sebagai senjata yang dibawa ke lapangan untuk menggorok leher masyarakat. Hal ini karena fikih tidak memiliki panduan untuk terjun ke lapangan. Alih-alih menyukseskan misi dakwah, justru ia menjadi penyebab munculnya perlawanan masyarakat.