Bandongan, Terasa Membosankan Tapi Mencerdaskan

185 kali dibaca

Dulu, awal-awal nyantri saya pernah menggerutu dengan metode ngaji bandongan. Bagaimana tidak, sebelumnya saat masih ngaji di rumah, tiap ngaji guru menjelaskan dengan gamblang dan tuntas.

Namun,begitu ngaji bandongan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, guru cuma maknani, memberi penjelasan pun sedikit, sekadar dan seperlunya, tak lebih. Pendeknya, kiai atau guru hanya menerjemahkan kitab dari Arab ke Jawa, kemudian tiba-tiba wallohu a’lam bisowab. Selesai, mejelis bubar.

Advertisements

Tak pelak saya melongo, menggerutu, sebab tidak memahami isi kitabnya, seolah tidak mendapat apa-apa selain hanya  meninggalkan terbuangnya waktu secara sia-sia.

Tapi sebagai santri, saya tetap sam’an wathoatan menjalaninya. Mana mungkin sistem ini salah, kalau ternyata ribuan santri secara masif mengikuti ngaji bandongan semua, mulai dari yang ibtida sampai aliyah, bahkan yang sudah pengajar pun tetap ikut bandongan. Berarti tidak mungkin bandongan-nya salah. Kalau begitu bisa dipastikan sayanya yang salah.

Cara tranmisi ilmu di Pondok Lirboyo ternyata mayoritas menggunakan metode bandongan. Bahkan di kelas sekalipun, guru membacakan dan tiba-tiba salah satu murid disuruh untuk men-tasawurkan/ menerangkan. Tambah plonga-plongolah saya.

Urusan gudik, kangen rumah, dan problem domestik pondok belum selesai, ini malah tambah dibuat pusing dengan bandongan. Duuh, nasibbbbb. Untung waktu itu belum viral lagu ‘genduk denok santri lulusan pondok’.

Mengahadapi realitas itu, saya tetap menerabas, tidak menyerah di tengah jalan, sak dermo nglakoni, paham rapaham pikir keri (dan banyak juga kayaknya yang seperti saya).

Keresahan ngaji bandongan yang saya pikul bertahun-tahun itu, lama kelamaan sirna, ketika saya bisa memahami apa yang dibacakan kiai, oh ternyata begini, ternyata begitu. Ya karena berangkat dari terpaksa, terbiasa pada akhirnya bisa. Ciahhh.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan