Awas, Politik Identitas

1,185 kali dibaca

Banyak kalangan merasa was-was menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sebab, dikhawatirkan penyelenggaraan kontestasi demokrasi itu akan digaduhi dengan fenomena politik identitas, terutama yang berbasis agama, dalam hal ini Islam. Bahkan, banyak yang memprediksi, pengerahan politik identitas pada Pemilu 2024 nanti akan jauh lebih brutal dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di DKI Jakarta pada 2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019.

Setidaknya, kekhawatiran itu dapat dibaca dari pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2022 di Gedung DPR-MPR RI di Jakarta. Dalam pidato kenegaraannya, Presiden Joko Widodo meminta kepada segenap bangsa Indonesia untuk menjauhi politik identitas dan politisasi agama dalam menghadapi Pemilu 2024 nanti.

Advertisements

Sebenarnya, seberapa berbahaya politik identitas? Seberapa hebat potensi daya rusaknya terhadap negara demokrasi? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat bergantung pada bagaimana politik identitas dioperasikan.

Sesungguhnya, politik identitas bukan tabu dalam alam demokrasi. Sebab, ia menjadi “anak haram” dari sistem demokrasi itu sendiri. Dalam sejarahnya, ia lahir dari ketaksempurnaan sistem demokrasi itu.

Dari kajian filsuf kontemporer, Francis Fukuyama (Identity: 2018), kita tahu bahwa sesungguhnya perkara identitas baru menjadi persoalan ketika manusia hidup dalam alam modern dengan tatanan sosial yang semakin kompleks.

Di zaman pramodern, ketika manusia masih hidup dalam komunalisme, perkara identitas tak pernah menjadi persoalan. Ketika orang-orang masih hidup dalam komunitas sendiri, misalnya dengan ras, etnis, bahasa, dan keyakinan yang sama, maka identitas orang per orang atau kelompok tak pernah menjadi persoalan.

Namun, di zaman modern dengan struktur sosial yang semakin kompleks, ketika orang-orang harus hidup di suatu teritori bersama atau bersisihan dengan orang-orang yang berbeda ras, etnis, suku, tradisi, bahasa, dan keyakinan yang berbeda-beda, maka perihal identitas mulai menjadi persoalan yang serius. Pertanyaan “siapa aku” atau “siapa mereka” di tengah keasingan menjadi pembuka persoalan identitas manusia.

Sistem demokrasi hadir salah satunya sebenarnya untuk mengakomodasi dan merangkum perbedaan-perbedaan identitas itu. Semua memperoleh tempat yang sama. Semua memperoleh hak yang sama. Namun, dalam praktiknya, oleh berbagai problematikanya, ada kelompok-kelompok masyarakat yang “terbedakan” atau terabaikan, yang tak memperoleh tempat selayaknya, yang tak memperoleh hak-hak semestinya.

Itulah yang terjadi dalam sejarah praktik demokrasi di negara-negara modern, terutama pada apa yang disebut oleh Samuel P Huntington sebagai gelombang ketiga demokratisasi global sepanjang periode 1990-2000. Di sana ada kelompok masyarakat dengan ras tertentu, etnis tertentu, suku tertentu, warna kulit tertentu, keyakinan agama tertentu, kelas tertentu, dan jenis kelamin tertentu, misalnya, yang terabaikan, yang terpinggirkan, yang tak memperoleh tempat dan hak-hak selayak yang lainnya.

Dalam struktur masyarakat modern, lazimnya mereka tercatat sebagai minoritas atau “diminorkan” dalam keramaian alam demokrasi. Dari sanalah, menurut Francis Fukuyama, politik identitas mulai mengecambah, baik melalui gerakan politik maupun partai politik. Kaum minoritas ini, atau mereka yang hak-haknya terabaikan, yang harkat dan martabatnya diacuhkan, memulai gerakan untuk menuntut pengakuan dan perlakuan akan hak, harkat, dan martabat yang setara di ranah publik.

Dari fenomena seperti ini, dalam praktik demokrasi, politik identitas akhirnya muncul sebagai sebuah alat politik, baik dalam bentuk gerakan maupun membonceng partai politik yang ada, dari suatu kelompok tertentu yang biasanya didasarkan pada kesamaan identitas: ras, etnis, suku, budaya, keyakinan dan agama, kelas sosial, bahkan jenis kelamin alias gender.

Di negara-negara modern dengan sistem pemerintahan demokratis, entah di Eropa atau bahkan di Amerika Serikat, fenomena seperti ini bukan hal tabu. Misalnya, gerakan kaum perempuan atau kelompok LGBT menuntut kesamaan dan kesetaraan hak dan perlakuan dari negara. Atau gerakan kulit hitam di Amerika Serikat yang menuntut diberikannya hak dan perlakuan yang sama dengan kulit putih. Atau imigran di negara-negara Eropa yang juga menuntut hal serupa dan tidak diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.

Anomali Kita

Hasil Pemilu Legislatif 2019.
Hasil Pemilu Legislatif 2019.

Di Indonesia pun, jika mengacu pada awal mula kemunculannya, politik identitas seharusnya juga bukan sesuatu yang tabu. Namun, di sini anomali memang kerap terjadi. Semestinya, politik identitas di Indonesia digerakkan oleh dan muncul dari kelompok-kelompok minoritas, baik minoritas dalam hal etnis, suku, budaya, keyakinan dan agama, atau lainnya yang seringkali memperoleh perlakuan yang tidak adil baik dari negara maupun kelompok masyarakat lainnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, politik identitas digerakkan dan dimainkan oleh kelompok mayoritas, dalam hal ini datang dari orang-orang Islam.

Itulah fakta yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta pada 2017 dan Pilpres pada 2019 —dan yang akan terulang pada Pemilu 2024. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Berdasarkan data di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, per 31 Desember 2021, jumlah penduduk Indonesia 273,87 juta jiwa. Dari jumlah itu, penduduk yang beragama Islam mencapai 238,09 juta jiwa. Artinya, 86,93 persen dari populasi di Tanah Air adalah muslim. Dari data itu, Indonesia dinobatkan sebagai negara Islam terbesar di dunia.

Data itu menunjukkan bahwa muslim di Indonesia bukan sekadar mayoritas dalam pengertian 50+1 persen, bahkan sangat mayoritas atau sangat mendominasi populasi yang ada. Bukan hanya dalam statistik, bahkan muslim di Indonesia sangat dominan mempengaruhi dan mewarnai kebijakan-kebijakan negara dan kehidupan berbangsa. Maka, sulit dinalar jika umat Islam sebagai mayoritas, yang dalam relasi sosio-politik disebut sebagai dominasi mayoritas, justru memainkan politik identitas, melakukan apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan di negara-negara lain.

Anomali lain, meskipun umat Islam di Indonesia menjadi mayoritas, dalam sejarah Indonesia partai-partai politik Islam atau yang berbasis massa Islam tidak pernah memenangi pemilu. Lihatlah, misalnya, perolehan suara pada Pemilu 2019. Dari lima besar perolehan suara, hanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang masuk, itu pun berada di posisi keempat dengan persentase 9,69 persen. Diperkirakan, berdasarkan hasil survei beberapa lembaga riset, tren penurunan perolehan suara akan dialami partai-partai Islam pada 2024. Perolehan PKB, PKS, PPP, PAN, dan PBB diprediksi akan lebih rendah dari Pemilu 2019.

Jika dikorelasikan dengan jumlah penduduk Muslim yang mencapai 238,09 juta jiwa atau 86,93 persen dari populasi, data-data itu menunjukkan bahwa sebagian besar umat Islam ini tidak mendukung partai-partai Islam atau yang berbasis massa Islam. Sebab, jika perolehan suara seluruh partai Islam digabungkan, jumlahnya hanya sekitar 40 juta. Gejala serupa juga terbaca dari peringkat perolehan suara dari partai-partai Islam atau yang berbasis massa Islam. Semakin kental warna keislamannya, ada kecenderungan perolehan suara partai Islam tersebut justru lebih kecil.

Politisasi Politik Identitas

Kenapa umat Islam justru tidak banyak yang mendukung partai-partai Islam? Bukankah tujuannya untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi umat Islam?

Data-data tersebut bisa dibaca secara terbalik. Kenapa justru lebih banyak umat Islam yang memberikan suaranya pada partai-partai non-Islam? Jawabannya, mungkin, yang pertama, kepentingan dan aspirasi pemilih dari kalangan Islam bisa disalurkan melalui partai-partai non-Islam tersebut. Kedua, partai-partai Islam dipandang belum tentu mampu mengelola negara secara lebih baik. Ketiga, untuk menghindari potensi disharmoni dalam konteks kebangsaan jika partai-partai yang kental warna keislamannya menjadi partai penguasa.

Dengan nalar seperti ini, dan berdasarkan fakta historisnya, maka mengusung politik identitas berbasis agama, dalam hal ini Islam, sesungguhnya tidak memiliki konteks dan kehilangan relevansi.  Dari pemilu ke pemilu, sejak 1955 hingga 2019, konstelasinya selalu seperti itu. Dengan begitu, ketika dalam beberapa tahun terakhir politik identitas berbasis Islam begitu mengental, maka yang terjadi sesungguhnya bukan sekadar politik identitas, melainkan politisasi politik identitas. Jika politik identitasnya berbasis agama, maka yang terjadi adalah politisasi agama. Jika politik identitasnya berbasis agama Islam, maka yang terjadi adalah politisasi agama Islam.

Tak hanya di Indonesia, politisasi politik identitas juga terjadi di mana-mana, di negara-negara demokrasi yang telah maju sekalipun. Apa yang dibawa oleh politisasi politik identitas ini sesungguhnya adalah nafsu untuk berebut kekuasaan dengan berbagai cara yang salah satunya, seperti yang disebut oleh Francis Fukuyama, adalah politik kebencian. Modusnya adalah menjelek-jelekkan untuk menabur garam kebencian pada kelompok-kelompok lain yang berbeda identitas. Dalam kasus politisasi agama, garam kebencian itu ditabur pada yang berbeda identitas agamanya atau keyakinannya.

Jika politisasi politik identitas ini, dalam kasus Indonesia adalah politisasi agama, dipelihara secara terus-menerus maka yang akan muncul adalah konflik yang tak berkesudahan. Itulah yang harus menjadi perhatian bersama seluruh anak bangsa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan