Di tengah kemunculan berbagai aliran pemikiran yang cenderung mengaburkan hakikat ajaran Islam dalam aspek akidah, pertanyaan yang sering muncul adalah: “Mengapa kita perlu mengikuti mazhab Asy’ariyah dalam akidah?”
Pertanyaan tersebut bukan sekadar menyangkut identitas formal, melainkan berkaitan langsung dengan upaya menjaga kemurnian ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana diwariskan oleh mayoritas ulama umat Islam sepanjang sejarah. Memahami karakteristik mendasar dari mazhab Asy’ariyah dapat menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut.

Dalam kitab Asy’ariyyūn Ana, Syekh Salim Abu ‘Asyi—seorang pakar tafsir, akidah, ushul fikih, dan ilmu logika di Al-Azhar Asy-Syarīf—menjelaskan dua karakteristik mendasar yang menjadi ciri khas mazhab Asy’ariyah atau Ahlussunnah wal Jamaah. Dua karakteristik tersebut adalah, pertama, perpaduan antara logika akal dan petunjuk wahyu dalam memahami kalam ilahi.
Mazhab Asy’ariyah menempatkan akal dan wahyu bukan sebagai dua kutub yang saling bertentangan, melainkan sebagai dua unsur yang saling melengkapi. Wahyu adalah cahaya petunjuk dari Allah, sedangkan akal adalah lentera dalam diri manusia yang digunakan untuk menalar, memahami, dan menyelami makna di balik teks suci, yaitu Al-Qur’an. Tanpa bimbingan wahyu, akal bisa terjerumus pada kesimpulan yang keliru.
Sebaliknya, tanpa peran akal, teks wahyu bisa disalahpahami secara literal, tanpa mempertimbangkan maqāshid (tujuan) dan konteksnya.
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menggambarkan hubungan ini melalui perumpamaan: akal dan wahyu ibarat mata dan cahaya. Cahaya tidak akan berguna bila mata tertutup, sebagaimana mata juga tidak akan berfungsi tanpa cahaya. Maka, sebagaimana mata membutuhkan cahaya untuk melihat, akal juga membutuhkan wahyu agar tidak tersesat.
Imam Abu Zahrah—seorang sarjana Muslim asal Mesir yang dikenal sebagai ahli sejarah agama-agama kuno, aliran pemikiran, dan teologi modern—menegaskan dalam bukunya Mafāhīm Yajibu an Tushaḥḥaḥ fī al-‘Aqīdah wa al-Fikr wa al-Sulūk:
“Unsur kekuatan Islam terletak pada fakta bahwa Islam adalah agama yang rasional. Semua perintah Islam didukung oleh logika akal sehat, dan segala yang dilarang oleh Islam pun diperkuat oleh rasionalitas. Hal ini berlaku untuk ketetapan yang bersifat individu maupun kolektif.”
Kedua, prinsip keadilan ilmiah dan toleransi terhadap sesama Ahlul Qiblah. Salah satu prinsip utama dalam mazhab Asy’ariyah adalah menjunjung tinggi keadilan dalam menilai perbedaan dan menghindari pengkafiran terhadap sesama Muslim. Sikap ini melahirkan toleransi yang menjadi ciri khas Ahlussunnah wal Jamaah.
Ibnu ‘Asākir dalam kitabnya Tabyīn Kadzb al-Muftarī meriwayatkan bahwa Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, di akhir hayatnya, berkata kepada salah satu muridnya:
“Aku bersaksi atas diriku sendiri bahwa aku tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan Ahlul Qiblah, karena pada hakikatnya mereka semua mengarah kepada Tuhan yang satu. Sesungguhnya perbedaan itu hanya terletak pada cara pengungkapan dan penjelasan semata.”
Dengan demikian, pengkafiran terhadap individu atau kelompok yang berbeda pandangan tidak hanya memicu permusuhan, tetapi juga dapat mengarah pada penghalalan darah sesama Muslim. Betapa menyedihkannya jika umat Islam saling berperang hanya karena perbedaan dalam pendekatan teologis.
Ketika berbagai penafsiran keagamaan semakin beragam dan saling bersimpang jalan, mazhab Asy’ariyah hadir sebagai kompas ilmiah yang menjaga arah pemahaman agar tetap berada di atas manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Berpegang padanya bukanlah wujud fanatisme buta, melainkan bentuk tanggung jawab ilmiah dan komitmen terhadap warisan para ulama yang telah menjaga agama ini dengan ilmu, hikmah, dan pengorbanan—semuanya berpijak pada ajaran Rasulullah saw.