Apa Enaknya Jadi Anak Kiai?

33 views

Ada kenyataan pahit yang sering kali terjadi namun jarang dibicarakan. Ketika seorang kiai perintis pondok pesantren wafat, perlahan tapi pasti, jumlah santri mulai berkurang. Polanya selalu berulang. Fenomena ini tak terjadi di satu atau dua pondok saja. Entah di mana letak kesalahannya.

Memang benar, ilmu tidak bisa diwariskan secara otomatis. Karena ia harus diperjuangkan oleh tiap individu. Namun, hidup dalam rumah seorang ulama, apalagi terlahir sebagai anaknya adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang dapatkan Di sinilah letak perbedaannya.

Advertisements

Anugerah itu tidak otomatis menjamin keberlanjutan perjuangan. Karena pada akhirnya, setiap orang punya takdir dan pilihannya sendiri. Sebagian anak kiai berhasil melanjutkan perjuangan orang tuanya, bahkan mungkin melampauinya. Ini tentu berkat didikan yang kuat dari orang tua. Tapi sebagian lainnya, hanya membawa nama besar tanpa ada ikhtiar untuk mewarisi ilmu dan amal yang telah diajarkan.

Nasab adalah takdir yang tak bisa dipilih. Anak tak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan. Tapi nasib adalah pilihan. Menjadi pejuang ilmu seperti orang tuanya atau tidak, itu adalah keputusan masing-masing.

Mewarisi ilmu saja pun tak cukup. Setiap anak kiai dituntut untuk menjadi teladan—bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam hal sosial. Mampukah mereka menginspirasi, sebagaimana orang tuanya dulu menyebarkan agama Allah dengan kasih dan keteladanan?

Mungkin di sinilah tantangannya. Tidak semua sanggup memikul amanah besar ini. Maka banyak yang gugur di tengah jalan. Dan kadang, mereka yang gagal menanggung amanah itu lupa bahwa kemuliaan tak datang hanya karena keturunan.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“إنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ”

Artinya: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, melainkan mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil ilmu itu, sungguh ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Hadis ini menegaskan bahwa warisan sejati dari seorang ulama bukanlah harta, kedudukan, atau bangunan fisik, melainkan ilmu yang ia ajarkan dan akhlak yang ia wariskan dengan keteladanan.

Kemuliaan yang sering dinisbatkan kepada anak kiai sejatinya bukan karena dirinya semata, melainkan karena ia adalah anak dari seorang guru. Terkadang penghormatan itu datang dari para santri ayahnya, yang memang diajarkan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim untuk menghormati guru dan keluarganya.

Namun, hal ini tidak bisa serta-merta menjadikan seorang anak kiai merasa layak untuk dihormati. Hormat itu tidak diwarisi; ia harus diperjuangkan lewat akhlak, keteladanan, dan kelayakan pribadi. Sebab yang diwarisi sejatinya adalah amanah, bukan kedudukan.

Hal ini pun pernah menjadi pembahasan di kelas kami kala itu

بِجِدٍّ لا بِجَدٍّ كُلُِ مَجْدٍ، فَهَلْ جَدُّ بلا جِدٍّ كُلُّ مَجْدٍ؟

Artinya: “Dengan kesungguhan, bukan dengan garis keturunan, seseorang meraih kemuliaan. Maka, apakah kemuliaan bisa diraih hanya dengan nasab tanpa kesungguhan?”

Syair itu seakan menyadarkan kami bahwa kemuliaan dan kesuksesan itu bisa diraih kalau kita mau berjuang. Menjadi perintis ataupun pewaris, keduanya sama-sama membutuhkan perjuangan. Dulu, bentuk perjuangan yang kami tau adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Tapi setelah terjun ke masyarakat, kami sadar yang lebih dibutuhkan bukan hanya ilmu, tapi juga teladan.

Kita harus berilmu agar tahu mana yang benar dan salah. Tapi kita harus beradab agar mampu menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu atau dua pesantren saja. Banyak yang mengira, penyebab berkurangnya santri adalah karena orang tua kini lebih memilih menyekolahkan anaknya ke pendidikan formal. Tapi ternyata, setelah pesantren mendirikan lembaga formal, santri tak juga bertambah. Justru ada pesantren yang tetap mempertahankan sistem salaf dan justru masih ramai dipenuhi santri.

Lihatlah pondok-pondok seperti Gedongsari di Nganjuk, Lirboyo dan Ploso di Kediri, dan banyak pesantren salaf lainnya yang tetap dipercaya masyarakat. Ini membuktikan, bahwa kepercayaan masyarakat bukan sekadar soal formalitas atau fasilitas, tapi soal nilai, keistikamahan, dan keteladanan yang terus dijaga.

Warisan terbesar dari seorang ulama bukanlah pesantrennya, bukan pula popularitasnya, tapi istikamah dan jejak amal yang ia tinggalkan. Dan jejak itu, harus ada yang meneruskan. Bukan sekadar dilihat, tapi dilalui.

Maka siapapun pewaris pesantren, khususnya anak-anak para kiai, sudah sepatutnya menjadikan warisan ilmu dan akhlak sebagai amanah—bukan hanya kebanggaan. Karena ketika nama orang tua disebut dengan hormat, jangan sampai anaknya disebut dengan penyesalan.

Dan harus sadar bahwa yang diwariskan bukan hanya bangunan fisik atau nama besar, tapi tanggung jawab yang besar. Jika tak bisa menjadi seperti ayahnya, setidaknya jangan menodai warisan perjuangannya. Jika tak mampu meneruskan ilmunya, setidaknya teruskan akhlaknya. Jika belum bisa meniru langkahnya, setidaknya jangan menyimpang dari arah perjuangannya.

Semoga kita semua, para santri mampu menjaga warisan ulama dengan kesungguhan. Karena dalam perjuangan, yang paling dibutuhkan bukan keturunan, melainkan keteladanan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan