Andai Tan Malaka Hidup Hari Ini

Bayangkan jika Tan Malaka—sosok revolusioner, filsuf, sekaligus pendidik tangguh itu—tiba-tiba hadir di tengah kita hari ini. Duduk di bangku taman kampus, menyaksikan berita viral di TikTok, atau ikut mengamati debat publik soal kebijakan negara di podcast-podcast kanal YouTube.

Mungkin ia tak lagi memakai kopiah khasnya, tapi tetap menyimpan buku catatan kecil di sakunya—tempat ia menulis ide-ide besar yang menolak tunduk pada ketakutan dan kebodohan.

Advertisements

Bukan hal baru kalau nama Tan Malaka sering kali diselimuti kabut sejarah. Di satu sisi, ia disebut sebagai “Bapak Republik.” Di sisi lain, namanya sempat tenggelam dalam buku pelajaran yang terlalu tipis membahas peran-peran besar. Tapi hari ini, mari kita hidupkan imajinasi: kalau Tan Malaka hidup di zaman kita—apa yang kira-kira akan ia perjuangkan?

Pertama-tama, ia mungkin akan menghapuskan logika mistika yang masih menjangkiti nalar publik.

Tan Malaka dalam Madilog—sebuah singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—pernah menyindir keras cara berpikir bangsa ini yang, menurutnya, terlalu lama dibius oleh takhayul dan irasionalitas. Ia menulis dengan getir bahwa bangsa yang terlalu percaya pada mistik akan sulit berpikir jernih, apalagi membangun masa depan.

Kalau ia melihat bagaimana masyarakat kita hari ini masih sering mengaitkan bencana dengan “kutukan”, mengundang dukun untuk “membersihkan” kantor, atau menelan mentah hoaks yang beredar tanpa logika—barangkali Tan Malaka akan geram. Tapi ia tak akan berhenti di kemarahan. Ia akan turun tangan. Menulis lagi. Berpidato. Mengajak dialog.

Ia tak akan menyuruh kita meninggalkan agama atau kepercayaan. Ia hanya ingin: pisahkan iman dari irasionalitas. Gunakan kepala untuk berpikir, dan hati untuk memahami.

Kesadaran inilah yang ingin ia bangun lewat pendidikan. Bukan pendidikan yang kaku, hafalan semata, atau sekadar menyiapkan manusia jadi buruh pabrik yang patuh.

Tapi pendidikan yang dialogis. Yang mengajarkan murid untuk bertanya “mengapa”, bukan hanya menghafal “apa”. Pendidikan yang membuka ruang diskusi, bukan hanya pengajaran satu arah.

Yang kedua, kalau Tan Malaka melihat sistem pendidikan kita hari ini, yang masih dipenuhi oleh ketimpangan, Ujian Nasional yang sering menekan, kurikulum yang berubah-ubah sesuai kepentingan, mungkin ia akan merasa frustrasi. Tapi ia akan tetap menyalakan lilin harapan. Karena menurutnya, perubahan tak datang dari langit. Ia datang dari manusia yang berpikir.

Dalam buku Madilog yang terkenal itu, ia menulis: “Manusia dan bangsa harus mempunyai alat berpikir yang dapat memperbaiki hidupnya sendiri. Alat itu ialah logika dan dialektika.”

Kalimat itu tak pernah kehilangan relevansi. Bukan semata agar mereka bisa berdebat atau membantah guru. Tapi karena dalam berpikir kritis, ada keberanian untuk bertanya: Apakah ini adil? Apakah ini benar? Siapa yang diuntungkan dari sistem ini?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang bisa menjadi akar dari kesadaran sosiologis. Sebuah kesadaran bahwa hidup kita tak pernah berdiri sendiri, tapi dilingkupi oleh struktur, sistem, dan relasi kuasa. Ketika seseorang sadar bahwa ketimpangan bukan nasib, tapi buah dari proses sosial, maka di situlah perubahan bisa dimulai.

Tan Malaka bukan tipe pemimpin yang hanya menyuruh rakyat bersyukur. Ia justru mengajak rakyat berpikir dan bertanya agar mereka bisa mengambil kendali hidupnya kembali.

Yang ketiga, karena informasi begitu cepat, tapi pemahaman begitu dangkal. Kita mudah percaya, tapi malas mengkaji. Kita mengagungkan motivasi instan, tapi enggan membangun kesadaran perlahan.

Di sinilah warisan pemikiran Tan Malaka bisa jadi cahaya. Bahwa berpikir, membaca, menganalisis, dan berdialog adalah tindakan radikal yang tak boleh ditinggalkan.

Ia akan menyapa para pemuda yang mulai resah dengan dunia. Ia akan menepuk pundak pelajar yang frustrasi dengan sekolah yang membosankan. Ia akan mengajak para intelektual turun dari menara gading dan membicarakan ilmu dengan bahasa yang bisa dipahami tukang parkir, ibu pengelola warteg, dan anak-anak pinggir kota.

Karena Tan Malaka tahu: ilmu bukan milik kelas elite. Ia adalah alat pembebas rakyat.

Dan Tan Malaka akan mencoba menegakkan sebuah “cermin” yang memaksa kita bertanya: Apakah kita sudah berpikir? Sudah cukup kritis? Sudah membangun pendidikan yang membebaskan? Kalau belum, maka tugas kita belum selesai.

Mungkin kita tak bisa menjadi Tan Malaka sepenuhnya. Tapi kita bisa mulai dengan membiasakan diri membaca. Berdialog. Menolak diam saat melihat ketidakadilan. Menyampaikan pendapat meski suara masih bergetar. Karena itulah cara paling sederhana untuk menghormati warisan seorang revolusioner.

Jadi, andaikata Tan Malaka hidup hari ini, ia tak minta disembah sebagai pahlawan. Ia minta kita meneruskan perjuangannya. Dengan cara kita masing-masing. Dengan cara yang kontekstual, tak harus heroik, tapi konsisten. Ia tidak sedang menunggu bunga di makam. Ia menunggu kita membangunkan pikiran.

Maka jika hari ini kita merasa bingung, marah, atau lelah melihat kondisi bangsa—ingatlah satu hal: Tan Malaka tak pernah menulis Madilog untuk didiamkan di rak. Ia menulisnya untuk kita baca. Untuk kita bawa dalam hidup sehari-hari.

Karena masa depan Indonesia bukan milik orang yang banyak bicara tentang cinta tanah air, tapi mereka yang berani berpikir untuk membangunnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan