Alegori Bidadari

2,965 kali dibaca

Sejak kanak-kanak kita sering mendengar cerita tentang bidadari sebagai setengah dongeng, setengah mitos, dan kita berharap ia nyata ada. Sekali waktu kita akan sulit membedakannya dengan peri.

Dari dongeng kakak-kanak itu, kita yang perempuan akan sering membayangkan diri menjadi bidadari. Sosok perempuan yang tak hanya sempurna kecantikannya, tapi juga paripurna perangainya. Diam-diam, dalam hati, mungkin banyak perempuan yang mendaku: akulah bidadari itu.

Advertisements

Dari dongeng kakak-kanak itu, kita yang laki-laki akan sering mengimpikan kelak suatu hari akan bertemu, kalau bisa memiliki dan dicintai, sang bidadari itu. Diam-diam, dalam hati, mungkin banyak laki-laki yang terobsesi: aku layak mendapatkan bidadari itu —bagaimana pun caranya.

Tapi hingga kita dewasa, hingga giliran kita mendongeng kepada cucu-cucu, kita tak pernah menjadi bidadari itu, kita tak pernah bertemu dengan bidadari itu. Ia tak pernah menjadi sosok nyata dalam kehidupan kita. Maka, di sini bidadari adalah sebuah alegori —ia hanya ada di surga sana.

Begitulah cara Tuhan berkomunikasi dengan makhluknya, termasuk manusia: melalui alegori. Manusia, makhluk yang dikenal tamak dan serba pamrih ini, memang harus diberi seabrek iming-iming yang wah, yang memukau. Maka dijanjikanlah surga. Ketika istilah surga masih sulit dibayangkan, maka ditambahkan keterangan nun di sana ada bidadari. Tidak hanya seorang bidadari untuk seorang, tapi banyak —72 bidadari!

Memang banyak ayat dalam Al-Quran yang membicarakan tentang apa yang kita maksud sebagai bidadari, yang disebut hur (jamak dari haura). Dalam dialek Arab, al hur bersumber dari kata al baizu atau al bayaz yang berarti putih. Dari sana kemudian muncul istilah al hur atau al haura yang berarti perempuan berkulit putih-bersih-bening, sosok perempuan yang diidealisasi secara seksis. (Sebagai perbandingan, kita mengenal istilah bidadari mungkin bersumber dari kepercayaan Hindu-Budha, Vidyādhara dan Vidyādhari, [bidadara dan bidadari], sosok laki-laki dan perempuan pembawa kebajikan).

Banyak tafsir alegoris atau majaz untuk perihal “kebidadarian” ini jika kita menelusuri kitab-kitab klasik karya ulama terdahulu. Di luar pengertian tekstualnya, ada kalanya ia dinisbatkan pada sosok ideal tanpa preferensi jenis kelamin. Atau sebuah ungkapan untuk mewakili kondisi yang tiada tara, entah itu kebahagiaan, kedamaian, keindahan, atau kenikmatan.

Namun, jika kita tidak mendekatinya secara alegoris, melainkan memaknainya secara tekstual atau harfiah, maka tanpa disadari kita akan menempatkan ayat-ayat Al-Quran sebagai bias gender, laki-laki-sentris. Sebab, bidadari penghuni surga itu digambarkan sebagai sosok perempuan sempurna yang tentu saja untuk kaum pria. Tidak ada teks Al-Quran yang berbicara tentang bidadara. Maka, secara tekstual, Tuhan sungguh “tidak adil”.

Tapi jelas bukan karena itu jika sufi perempuan yang begitu agung, Rabiah Al-Adawiyah, tak tertarik dengan iming-iming surga. Di sini saya nukilkan terjemahan puisinya:

“Ilahi. Bilamana aku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku. Bilamana aku menyembah-Mu karena gairah nikmat surga. Maka tutuplah pintu surga selamanya untukku…

Tetapi, bila diriku menyembah-Mu karena Dikau semata. Maka jangan larang diriku untuk menatap keindahan-Mu yang abadi…”

Di sini, Rabiah Al-Adawiyah mewakili penghambaan atau lelaku hamba yang tanpa pamrih. Surga dan neraka bukan motif. Hubungan antara khalik dengan makhluk bukan relasi transaksional. Bukan “jika aku menyembah-Mu, aku dapat apa?” Bukan pula karena takut siksa neraka dan menginginkan kenikmatan surga. Itulah tingkatan tertinggi keimanan, kepasrahan, dari seorang hamba kepada penciptanya. Penghambaan yang tanpa motif, tanpa pamrih. Kita mengenalnya dengan istilah lillahi ta’ala.

Tapi tak banyak, memang, dari kita yang mengikuti “jalan Rabiah Al-Adawiyah”. Kebanyakan dari kita beramal sambil berharap memperoleh imbalan yang berlipat. Beribadah karena takut siksa neraka. Berbuat baik dan lantas mendaku berhak atas surga. Gagah berjuang di jalan Tuhan untuk menjemput bidadari.

Bagaimana mungkin kita akan memperolah tempat khusus di surga seperti Rabiah Al-Adawiyah jika masih menyimpan motif berahi? Menyembah Tuhan sambil membayangkan diri meniduri bidadari?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan