Aku dan Pesantrenku (6): Memukul Setan Tidur

1,421 kali dibaca

Mengenangnya hari ini, menjalani hari-hari sebagai santri bertahun-tahun lampau, hidup serasa “upnormal”. Andai waktu bisa diputar ulang, belum tentu saya sanggup menjalaninya seperti itu lagi.

Tapi pengalaman hidup itu sungguh berguna ketika kelak, bertahun-tahun kemudian, selama tahun-tahun menjadi wartawan, saya harus bertemu dengan begitu banyak beragam orang: mulai dari bandit sampai pandit; mulai dari pengemis sampai artis; mulai dari coro sampai ndoro; mulai dari yang papa sampai yang maha kaya; mulai dari penjahat sampai pejabat. Dan sebagainya. Di saat-saat seperti itu saya selalu teringat ajaran para guru di pesantren: hidup tak perlu gugup dan gagap.

Advertisements

Saya pernah mengalami mondok di dua pesantren, Pondok Pesantren Al-Qodiri dan Al-Fattah, keduanya di Kota Jember, Jawa Timur. Tapi sebelum itu saya sebenarnya juga pernah dimasukkan pondok. Sayangnya, setelah malam pertama berlalu, subuh-subuh, saat para santri berangkat ke masjid untuk salat berjemaah, saya kabur…

Saat itu, tahun 1985, Al-Qodiri belum seperti sekarang ini, yang sudah berkembang begitu besar hingga memiliki perguruan tinggi dan cabangnya ada di banyak tempat. Saat itu Al-Qodiri lebih dikenal sebagai pesantren tarekat. Tepatnya Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah. Karena itu, setiap malam Jumat rutin diadakan manaqiban Syekh Abdul Qadir Jailani. Jika malam Jumat Manis (Legi), jemaah manaqibnya bisa mencapai ribuan orang, datang dari berbagai daerah di Indonesia. Tapi khusus untuk santri, manaqibnya (versi pendek) tiap tengah malam. Hingga saat ini, Al-Qodiri masih diasuh KH Ahmad Muzakki Syah.

Adapun, Al-Fattah merupakan salah satu pesantren salaf di bilangan Talangsari, Jember. Letaknya persis bersisihan dengan Pesantren Ash-Shiddiqi Putra (Ashtra) yang diasuh KH Achmad Shiddiq, Rais Am PBNU 1984-1991. Bahkan dua pesantren ini memiliki lorong yang tersambung.

Pesantren Al-Fattah diasuh KH Dhofir Salam. Saat saya mondok di Al-Fattah pada 1989, Kiai Dhofir sudah wafat. Namun, saya masih sempat merasakan jejak Al-Fattah sebagai pesantren salaf: menempati gothakan atau bilik panggung. Tiang-tiangnya dari kayu. Dindingnya dari anyaman bambu. Lantainya juga terbuat dari bilah-bilah bambu.

Pada 1980-an itu, istilah  “sekolah sambil mondok” atau “mondok sambil sekolah” sering bertukar tempat. Sebab, belum banyak pesantren yang memiliki lembaga pendidikan formal seperti saat ini. Sehingga, banyak santri yang juga bersekolah di luar pesantren. Mungkin saya termasuk dalam kategori sekolah sambil mondok. Teman-teman yang lain mungkin sebaliknya, mondok sambil sekolah. Titik tekannya berbeda.

Tujuan awal saya dari Banyuwangi ke Jember memang untuk sekolah di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Jember (sekarang menjadi Madrasah Aliyah Negeri 2). Tapi orangtua memang memberi syarat tambahan: boleh sekolah asal sambil mondok. Tak ada pilihan, itulah untuk pertama kalinya saya mondok beneran; tidak kabur lagi.

Tapi di Al-Qodiri saat itu banyak santri yang masuk kategori mondok sambil sekolah. Tujuan awal memang mondok, lalu sambil belajar di lembaga pendidikan formal yang memang bertebaran di Kota Jember. Tapi tak sedikit pula santri “totok” yang memang mondok untuk ngaji dan ngalap berkah kiai.

Masih terbayang apa yang di awal tulisan ini saya sebut hidup yang “upnormal” itu. Bisa dimulai dari ini: selama sekitar tiga tahun di Al-Qodiri itu, saya tinggal di bilik berukuran kurang lebih 3×4 meter persegi bersama lebih dari 10 santri. Kita tahu, gothakan atau bilik santri itu adalah ruang serba guna. Di situ kita menaruh dan menyimpan segalanya: pakaian, buku-buku dan peralatan sekolah lainnya, perkakas dapur dan bahan-bahan makanan, sepatu dan sandal (kalau tak ingin di-ghasab), dan berbagai macam barang lainnya. Semua ditaruh atau disimpan di lemari-lemari atau rak-rak yang menempel di dinding. Jadi, selain serba guna, kamar-kamar santri selalu penuh warna.

Tanpa penghuninya pun, begitulah adanya, bilik santri sudah demikian sesak. Tentu saja tak pernah cukup bilik itu dipakai untuk tidur seluruh penghuninya. Maka, jika malam, yang tidur duluan bisa dapat tempat; yang kemudian harus menggeletak di sembarang tempat. Mungkin di lorong-lorong antarbilik. Mungkin di musala.

Juga perkara mandi. Jeding pesantren tak pernah cukup untuk melayani ratusan santri yang harus antre mandi di waktu bersamaan. Karena itu saya bersama beberapa kawan biasanya lebih memilih mandi di luar pondok. Waktu itu Al-Qodiri masih di pondok lama. Sekira 500-an meter ke arah belakang ada sungai. Setelah meniti beberapa ruas pematang persawahan, kita bisa menemukan sungai di sana, yang airnya cukup jernih karena mengalir dari mata air pegunungan. Di ceruk-ceruk sungai yang terbuka itulah kami biasa mandi, juga mencuci pakaian. Bodo amat orang lewat melirik ketelanjangan kami.

Yang lebih istimewa adalah ini: nyaris tak bisa terlelap sepanjang malam. Bisa tidur malam sepanjang tiga atau empat jam sudah tergolong mewah. Para santri mulai terbebas dari kewajiban mengaji dan belajar sekitar jam 22.00 atau 23.00. Di jam-jam itu mungkin kita sudah bisa berangkat tidur untuk melepas kelelahan. Tapi sekitar dua jam kemudian, biasanya jam 01.00 atau 02.00, Pak Kiai sudah membangunkan para santri untuk salat malam berjemaah, dilanjutkan dengan zikir dan wirid, manaqiban Syekh Abdul Qadir Jailani versi pendek, sampai menjelang subuh. Dan itu istikamah setiap malam, kecuali Pak Kiai berhalangan.

Dan ingat: dilarang ngantuk saat zikir malam seperti itu. Pak Kiai selalu siaga dengan penggalahnya. Sambil memimpin zikir, matanya selalu awas. Jika saat zikir malam seperti itu ada yang kedapatan mengantuk, maka buk! penggalah akan melecut pundak atau punggung santri yang tertidur. “Aku memukul setan yang menidurimu,” begitu kata Pak Kiai.

Dari sudut pandang saya hari ini, cerita-cerita itu adalah hidup yang “upnormal”, di atas kenormalan. Belum tentu saya sanggup menjalaninya lagi. Tapi riyadhoh yang diajarkan di pesantren ketika itu, riyadhoh untuk menjaga agar “jiwa tetap terjaga” itu, masih terbawa-bawa hingga kini.

Biasanya, di sela-sela zikir malam itu, Kiai Muzzaki banyak memberikan wejangan dan tuntunan bagaimana bersuluk secara benar sampai jiwa kita tetap terjaga, tak pernah tertidur atau bahkan mati. Pada usia sedini itu saya hanya bisa meraba-raba ajarannya tentang hakikat hidup, hakikat bertuhan, tak hanya ketika duduk bersila saat berzikir, tapi juga dalam berbagai aktivitas lainnya. Tapi nanti, ketika sudah kuliah, saya mendalaminya dari banyak referensi tentang tarekat dan kesufian.

Salah satu kesimpulannya cukup mencengangkan: bagaimana bisa kita memasang jarak-psikologis yang sama terhadap semua makhluk, terhadap semua manusia. Ibaratnya saya ditantang untuk bisa bersikap sama baiknya, baik terhadap sang pemberi maupun si pencuri. Rupanya itulah kunci agar tidak gugup dan gagap dalam menjalani hidup. Sampai hari ini saya tak pernah berhenti bersyukur pernah memperoleh pendidikan seperti itu.

Musik di Pondok Salaf

Ada momen yang membuat saya mencintai puisi, hingga kini. Saat akan diadakan imtihan di Al-Qodiri, oleh panitia saya diminta bertugas untuk berdeklamasi di atas panggung, membaca puisi. Entah apa pertimbangannya, yang pasti santri tak bisa menolak perintah pengurus pondok. Jadilah, di malam imtihan itu, saya seperti seorang penyair, membaca puisi di atas panggung. Tapi itu menjadi yang pertama dan terakhir. Saya tak pernah melakukannya lagi, meskipun sejak itu mencintai puisi dan sesekali menulisnya.

Ketika kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember (sekarang berubah menjadi Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq), saya pindah ke Pesantren Al-Fattah di bilangan Talangsari. Mungkin karena saat itu dalam masa transisi kepengasuhan pesantren sejak Kiai Dhofir wafat, dan kebanyakan santrinya adalah mahasiswa, pengaturan santri di Al-Fattah relatif “longgar”. Sepanjang ada alasan untuk kepentingan kuliah atau kegiatan kemahasiswaan, santri boleh keluar dari pondok.

Saat itu saya adalah aktifis mahasiswa yang tergolong hiperaktif. Karena itu saya jarang berada di pondok —dan rada-rada tambeng. Kalaupun di pondok, sesekali melanggar disiplin. Misalnya, tak ikut ngaji atau salat berjemaah, terutama yang subuh. Untuk menghindari patroli keamanan pondok, pintu saya gembok dari luar, lalu saya masuk kamar melalui jendela. Ketika petugas keamanan membangunkan para santri untuk jemaah subuh, kamar saya terlewati karena tergembok dari luar. Aman.

Suatu hari saya dipanggil Gus Arif Rusdi, salah satu putra kiai Dhofir yang kelak menjadi salah satu pengasuh Pesantren Al-Fattah Talangsari. Hati saya dag dig dug menduga akan kena hukuman karena jarang berada di pondok. Saya memang bukan “santri baik-baik saja” karena sewaktu di Al-Qodiri pun pernah kenak takzir: gundul!

Alhamdulillah, dugan saya meleset. Atau sesungguhnya tak meleset, tapi diberi hukuman dalam bentuk lain. Waktu itu pondok mau mengadakan imtihan. Saya diberi tugas mengadakan pementasan. “Pementasan apa, Gus?”

“Drama musikal,” jawab Gus Arif, yang biasa juga dipanggil Gus Didik.

Kepala saya langsung berputar-putar. Lebih gampang ditakzir saja daripada diberi tugas seperti ini, kata saya dalam hati. Apalagi, saya disuruh menulis skenarionya, juga menjadi sutradaranya. Soal ide ceritanya bisa didiskusikan bersama. Saya juga tak tahu apa latar belakang Gus Arif memberi tugas seperti itu. Ia hanya berucap pendek, “Sampean pasti bisa.”

Tentu saja saya tak berani menolak perintah seorang gus. Saya mencoba menghindar dengan bertanya, “Musiknya dari mana, Gus?” Pikir saya, kalau tak ada musiknya sudah pasti tidak jadi. Tapi Gus Didik malah menarik tangan saya, “Ayo ikut saya.”

Mata saya terbelalak ketika diajak masuk ke ruangan khusus. Isinya, masyaallah, koleksi kaset musik instrumental karya komposer dari berbagai penjuru dunia dengan beragam genre. Jumlahnya? Lebih dari seribu. Dan koleksi ini berada di dalam pesantren yang selama itu dikenal sebagai pondok salaf.

Saya tak berani bertanya bagaimana asal-usul Gus Arif memiliki koleksi kaset-kaset (waktu itu belum ada cakram padat atau flashdisk) musik seperti ini. Bertanya pun percuma; saya tahu, para gus seringkali memiliki sumber-sumber misterius.

Akhirnya, selama berhari-hari saya mendengarkan musik-musik itu, untuk dipilih-pilih lalu dikompilasi dalam rekaman ulang yang menjadi bagian dari drama musikal yang sedang kami rancang. Di ruangan khusus Gus Arif itu saya sudah seperti seorang peñata musik.

Kisah ini juga terbilang “upnormal”. Tiba-tiba saja saya bisa menulis skenario dan menjadi sutradara, meskipun entah seperti apa kualifikasinya. Yang pasti drama itu akhirnya dipentaskan dengan belasan pemain. Lumayan sukses untuk ukuran pementasan di pondok. Kelak saya mencoba-coba membaca buku-buku tentang penulisan skenario dan penyutradaraan, dan apa yang saya lakukan itu tidak salah. Tapi saya tak bisa mengulanginya lagi.

Yang pasti, sejak itu, saya mulai suka mendengarkan musik. Musik apa saja. Tak peduli orang lain bilang haram. Malah, perintah Gus Arif tentang drama musikal itu seakan melengkapi apa yang saya peroleh dari Al-Qodiri sebelumnya tentang riyadhoh menjaga “jiwa dan kesadaran tetap terjaga”. Keduanya mengenalkan pada dunia yang tak disangka-sangka.

Multi-Page

One Reply to “Aku dan Pesantrenku (6): Memukul Setan Tidur”

Tinggalkan Balasan