Aku Berlibur Maka Aku Ada

1,654 kali dibaca

“Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.” (Joko Pinurbo)

Demikian sepintas potongan larik puisi–dikutip dari buku kumpulan puisi berjudul “Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung” –salah seorang penyair terkemuka, Joko Pinurbo. Jauh dan dekat, begitupun lama dan singkat, menurutnya tidak pernah ada. Rentang jarak dan waktu sejatinya tercipta oleh perasaan semata.

Advertisements

Lama dan jauh hanyalah sebutan bagi apa pun yang ditempuh dengan rasa berat dan terpaksa. Bukankah satu jam mengaji rasanya lebih lama dari seharian berlibur?

Demikian pula dekat dan singkat, sekadar kata untuk mendeskripsikan kesukahatian dalam melintasi sebuah ruang sela. Betapapun jarak tempuh yang jauh dan waktu yang panjang, jika dijalani dengan bahagia maka akan terasa dekat dan sangat singkat. Itu faktanya.

Tak aneh bila banyak teman yang tetiba uring-uringan setiap menjelang usai liburan pesantren sembari bertanya-tanya: mengapa hari-hari saat liburan (seakan) lebih singkat dari biasanya? Jawabannya adalah karena semua berlibur dengan perasaan dan hati senang. Sesederhana itu.

Sebaliknya, mengapa menunggu liburan tiba terasa begitu lama? Apakah berarti karena ketidaksenangan terlebih pada serangkaian kegiatan dan ketidakbebasan (di) pesantren?

Pertanyaan tersebut mengingatkan penulis akan alasan mengapa dalam Al-Qur’an (surah al-Hajj ayat 47) disebutkan satu hari di dunia setara dengan seribu tahun di akhirat. Hemat sebagian mufasir, hal itu disebabkan ketakutan dan peliknya siksaan yang tidak satu pun bisa menghadapinya dengan tentram (Tafsir al-Wasith). Dan mungkin saja perihal pertanyaan di atas sama. Karena ketidaknyamanan dan ketidakbetahan di pesantren semua menjadi bak slow motion, seakan melambat dan tak kunjung sampai. Mengaji yang satu jam lebih lama dari bersantai yang kendati seharian.

Mengalahkan jarak dan waktu, menyebrangi hari-hari dengan bermacam aktivitas dan kesibukan memang membutuhkan ketabahan. Terlebih lagi bila menjalaninya dengan rasa tidak suka ataupun tidak rela. Itulah sebabnya mengapa dalam ajaran Filsafat Timur, tatkala seseorang berhasil menaklukkan keinginan, memadamkan gejolak emosi dan meredam gelombang nafsu, berarti ia merupakan pribadi yang hebat.

Alangkah lemahnya seseorang yang hanya berbuat atas hasrat dan kehendak pribadinya, tanpa sekalipun mampu menaklukkan keinginannya itu. Bukankah melepas-bebaskan nafsu yang liar lagi buas menyebabkan manusia tidak ada bedanya dengan binatang? Di sinilah letak kerapuhan pandangan Barat. Faktanya, kebebasan yang selama ini selalu didengungkan justru membuat hidup semakin hampa dan tidak bermakna.

Oleh karenanya, hampir semua yang baik selalu identik dengan ketidaksenangan, dan tentu saja termasuk serangkaian kegiatan (di) pesantren. Maka, bisa bertahan hingga liburan tiba artinya sanggup menaklukkan segenap ketidaksenangan dan berbagai kejenuhan. Mampu sampai di ujung bentang jarak dan waktu yang terasa begitu jauh dan panjang berarti ia telah berhasil dikalahkan. Dan akhirnya, liburan segera tiba.

Namun sayangnya, liburan acapkali diartikan sekadar ajang untuk melepas penat, melipur jenuh, dan meluruhkan segenap kesah dan lelah selama di pesantren. Tidak lebih. Tentunya dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya, setelah sekian lama bergelut dengan bermacam aktivitas pesantren, sembari terbelenggu undang-undangnya. Tidak salah jika liburan selalu disambut dengan riang. Sungguhpun waktunya yang singkat dan tidak sepadan dengan lama kala beraktivitas kembali, “Berlibur tetap lebih baik daripada tidak,” ucap salah seorang teman.

Pola pikir inilah barangkali yang memicu tindakan-tindakan yang semua berasaskan prinsip “mumpung”, ya mumpung masih liburan. Mumpung masih liburan, semua seolah halal dilakukan.

Pendangkalan makna ini pula yang medasari semangat berlomba-lomba melepas semua habitus selama di pesantren nan masih tetap dengan alasan yang sama: mumpung masih liburan. Semakin berbeda dengan sewaktu berada di pesantren seakan semakin berhasil menjalani hari-hari libur dengan benar. Semua lini perilaku kala berlibur dirasa kurang bila tidak menjurus pada instagramable dan berbagai kesenangan yang tidak bisa digapai sewaktu di pesantren.

Entah sejak kapan cara pandang –yang sekilas tampak remeh– ini bermula. Ia berimplikasi mirip –kalau tidak mau dikatakan persis– dengan apa yang selama ini menjadi pandangan Filsafat Barat: hidup adalah tentang melakukan apa pun yang diinginkan. Ironis memang. Paradigma Barat yang sedemikian sering digugat dengan ganas secara teoretis hingga terkadang memantik polemik panjang, ternyata dengan senyap mampu menyelinap di tengah kentalnya ajaran keislaman pesantren.

Lebih lanjut, liburan yang hanya dipentaskan sebagai kesempatan untuk berbuat bebas akan melacuri fungsi pesantren itu sendiri. Pesantren yang dipersepsikan sebagai benteng moralitas pada akhirnya dapat terdegradasi fungsi dan perannya. Sebab, bergegas kembali ke pesantren dan setelah itu pulang menuju kampung halaman tak ubahnya seakan menjadi sebatas siasat menggeser jadwal bersantai dan bersenang-senang. Tidak peduli apakah sebelum dan setelahnya ada perubahan ataupun tidak.

Pada titik inilah pemahaman akan esensi liburan perlu ditinjau dan diperhatikan ulang. Liburan bukan saja tentang menuntaskan letih raga dan lelah jiwa. Lebih dari itu, ia menjadi semacam batu uji untuk menilik hasil selama berdiam serta belajar di pesantren yang selanjutnya dijadikan tolok ukur berhasil dan tidaknya seorang santri. Dengan demikian, semua sikap dan tindak tanduk selama berlibur harus senantiasa dipertimbangkan. Perubahan tingkah laku, kematangan etika serta kedewasaan tempo berlibur menengarai tingkat keberhasilan selama berkontemplasi di pesantren, dan fungsi pesantren itu sendiri.

Andaipun berlibur dijustifikasi sebagai waktu untuk melepas penat, toh sekembalinya ke pesantren penat itu tidak terlepas dan, bahkan, terkadang semangat lebih redup daripada saat sebelum berlibur. Menerjemahkan liburan dengan sebatas “waktu jeda” meneguhkan bahwa liburan bukanlah tujuan, melainkan hanya ruang sela untuk sekadar rehat dan merenungi perjalanan sebelum dan selanjutnya. Sebelum sebagai bahan intropeksi dan selanjutnya untuk menata rencana dengan lebih rapi.

Liburan memang teramat seksi. Saat dan bahkan jauh sebelum pengumuman hari libur dikumandangkan perbincangan seputarnya selalu riuh rendah memenuhi atmosfer percakapan. Porsi berlibur yang terbatas menjadikan hari-harinya begitu berharga, ditambah rasa senang yang seolah memangkasnya menjadi lebih singkat. Menjalani liburan haruslah mengetengahkan keutuhan maknanya yang esensial. Selebihnya, liburan bertugas menabur rona dan melukis pelangi pada dinding kehidupan dengan indah dan tidak membosankan.

Alhasil, manusia selalu butuh akan liburan, seperti halnya liburan membutuhkan kemanusiaan. Dan, selamat berlibur.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan