Fenomena aksi massa yang terus mengemuka dalam lanskap politik dan sosial Indonesia tidak dapat dilihat sekadar sebagai kumpulan massa yang bergerak secara acak, melainkan sebuah manifestasi filsafat dialektika antara kekuatan rakyat dan sistem politik yang mengekang.
Dalam perspektif filsafat, aksi massa adalah wujud konkret dari kesadaran kolektif yang lahir dari kontradiksi sosial dan kebutuhan mendesak rakyat untuk mengekspresikan kehendak mereka. Aksi semacam ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari proses panjang yang dipenuhi ketidakadilan, represi, dan harapan yang terus tumbuh dalam denyut kehidupan masyarakat.

Menurut Tan Malaka dalam karyanya Aksi Massa (1926), aksi massa bukan sekadar tindakan spontan atau anarkis, melainkan produk dialektika materialis sejarah yang terbangun dari ketidakadilan ekonomi dan politik. Ia menegaskan bahwa “aksi massa tidak mengenal fantasi kosong seperti para pegiat putch atau tindakan berani seorang pahlawan individual,” melainkan gerakan yang berasal dari kehendak massa yang luas berdasarkan kebutuhan nyata mereka.
Dengan kata lain, aksi massa tidak dapat dipisahkan dari kondisi objektif masyarakat. Keterpurukan ekonomi, ketidakadilan distribusi kekayaan, dan penindasan politik melahirkan titik temu kolektif yang menyatukan individu-individu dalam satu gerakan bersama.
Tan Malaka juga menolak bentuk perlawanan yang eksklusif dan elitistis, sebab revolusi yang tidak berakar pada massa hanya akan berakhir sebagai proyek sesaat tanpa daya transformasi yang sejati. Dialektika perjuangan rakyatlah yang melahirkan perubahan autentik dan berkelanjutan (Malaka, 1926).
Pandangan ini mengingatkan kita bahwa kekuatan massa bukanlah mitos atau sekadar jargon politik, melainkan energi historis yang mampu mengguncang fondasi negara. Jika negara gagal menjawab kebutuhan rakyat, maka rakyat melalui aksi kolektifnya akan menciptakan ruang tandingan. Inilah yang dimaksud Tan Malaka sebagai konsekuensi logis dari kontradiksi sosial.
Dalam konteks Indonesia modern, fenomena aksi massa yang sering dikaitkan dengan dinamika demokrasi dan Islam menghadirkan wacana yang jauh lebih kompleks. Nilai-nilai ukhuwah Islamiyah berinteraksi dengan prinsip demokrasi, melahirkan perpaduan unik antara basis moralitas keagamaan dan praksis politik rakyat.
Aksi massa di Indonesia tidak hanya ditujukan untuk menuntut hak-hak politik dan ekonomi, tetapi juga berfungsi sebagai refleksi solidaritas kultural dan spiritual. Di sinilah terlihat bagaimana tradisi Islam, yang mengajarkan pentingnya persaudaraan, menjadi perekat sosial dalam pergerakan rakyat. Namun, interaksi ini juga menimbulkan ketegangan: bagaimana menjaga agar solidaritas keagamaan tidak terjebak dalam eksklusivisme yang justru melemahkan prinsip inklusif demokrasi? Pertanyaan ini terus mengemuka dalam setiap gerakan besar, mulai dari Reformasi 1998 hingga aksi-aksi kontemporer yang marak di era digital.
Kajian filosofis tentang aksi massa dalam demokrasi memperlihatkan bahwa gerakan rakyat adalah ekspresi praktis dari prinsip sovereignitas populi (kedaulatan rakyat). Dalam teori politik modern, kedaulatan rakyat seringkali diabaikan atau ditundukkan oleh dominasi elit dan kekuasaan negara. Kritik Hegel maupun Marx atas relasi negara dan masyarakat sipil menemukan relevansinya di sini: aksi massa adalah momen pembangkangan terhadap struktur hegemonik yang menindas, sekaligus pengingat bahwa kekuasaan sejati berasal dari rakyat. Marx bahkan menyebut bahwa kontradiksi kelas tidak bisa diselesaikan tanpa keterlibatan aktif proletariat sebagai kekuatan transformatif.
Dalam jurnal Asian Journal of Political Science edisi terbaru (2024), aksi massa di Indonesia dianalisis sebagai fenomena sosial-politik yang menunjukkan dualisme: di satu sisi ia memperkuat demokrasi dengan memberi ruang artikulasi bagi kelompok yang terpinggirkan, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran akan polarisasi sosial yang semakin tajam. Demonstrasi besar dapat memobilisasi simpati publik, tetapi juga dapat memperuncing sekat identitas jika tidak dikelola dengan bijaksana. Dari perspektif ini, aksi massa tidak hanya persoalan tuntutan politik, melainkan juga ujian kedewasaan bangsa dalam menjaga persatuan nasional.
Menariknya, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi komunikasi. Media sosial, misalnya, telah menjadi medium baru dalam memobilisasi massa. Seruan aksi kini tidak lagi terbatas pada selebaran atau forum tatap muka, melainkan menyebar cepat melalui ruang digital. Hal ini mempercepat terbentuknya kesadaran kolektif sekaligus membuka potensi manipulasi informasi. Maka, aksi massa di era digital adalah bentuk dialektika baru antara rakyat, teknologi, dan kekuasaan.
Untuk memahami lebih jauh, kita dapat menoleh pada gagasan Tan Malaka dalam Madilog (1943), di mana ia menekankan pentingnya materialisme, dialektika, dan logika sebagai kerangka berpikir kritis. Konsep dialektika dalam Madilog menekankan bahwa setiap fenomena sosial, termasuk aksi massa, lahir dari kontradiksi yang terus berkembang. Aksi massa bukan sekadar ledakan emosional, melainkan hasil dari akumulasi problem struktural yang mencapai titik kritis. Dengan menggunakan logika dialektika, kita dapat memahami bahwa setiap aksi massa adalah bagian dari proses sejarah panjang menuju transformasi sosial.
Aksi massa yang mengemuka di Indonesia juga memperlihatkan dimensi etika. Dalam tradisi Islam, perlawanan terhadap kezaliman dipandang sebagai bagian dari tanggung jawab moral. Nabi Muhammad pernah menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar sebagai kewajiban sosial. Prinsip ini, bila dipadukan dengan kerangka demokrasi modern, dapat menjadi dasar filosofis bagi rakyat untuk terus memperjuangkan keadilan. Dengan kata lain, aksi massa di Indonesia tidak hanya dipicu oleh keresahan ekonomi-politik, tetapi juga digerakkan oleh keyakinan moral yang berakar dalam tradisi keagamaan.
Kesimpulannya, aksi massa di Indonesia bukanlah sekadar peristiwa politik biasa. Ia adalah manifestasi filsafat kehidupan sosial yang menegaskan kebutuhan rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pencarian keadilan dan kesejahteraan bersama. Melalui kacamata Tan Malaka dan kajian kontemporer, kita memahami bahwa aksi massa adalah bagian dari dialektika sejarah, hasil kontradiksi yang tak bisa terus-menerus ditekan. Dalam setiap teriakan, spanduk, dan langkah kaki massa, tersimpan narasi panjang tentang harapan, perlawanan, dan perjuangan menuju masyarakat yang lebih adil. Dengan demikian, aksi massa bukan hanya fenomena sesaat, tetapi kekuatan transformatif yang vital dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Referensi:
Asian Journal of Political Science. 2024. Dynamics of Mass Action in Indonesia: Democracy, Identity, and Social Polarization.
Fadhilah, Rina. 2025. Aktivisme Sosial Media pada Aksi #GejayanMemanggil. Jurnal Interaksi 18, no. 2. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi/article/view/31818.
Malaka, Tan. 1926. Aksi Massa. Singapura: Teplok Press, 2000. Diakses dari https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/AksiMassa/.
Marxists.org. 1999. Tan Malaka: Aksi Massa. Diakses dari https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/AksiMassa/.
Memahami Amar Ma’ruf Nahi Munkar. 2022. NU Online Jabar. https://jabar.nu.or.id/taushiyah/memahami-amar-ma-ruf-nahi-munkar-8FVr2.
Poeze, Harry A. 1997. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945 – Maret 1946. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Sahrasad, Herdi, dan Al Chaidar. 2024. Fundamentalisme, Terorisme, dan Radikalisme di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Malikussaleh.
Saya tidak apatis bahkan sangat mendukung adanya aksi massa (demonstrasi). Tetapi sikap refresif, anarkis, dan tindak kekerasan, apalagi disertai denga penjarahan sebagaimana yang terjadi, maka hal itu telah keluar dari visi dan misi aksi massa. Meskipun ditengarai bahwa yang melakukan tindakan anarkis dan penjarahan adalah di luar koridor kelompok aksi. Kita harus tetap menyampaikan aspirasi dengan cara-cara yang ditetapkan oleh syariat Islam: santun dan akhlak mulia.