Satu realitas yang tak terbantahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah perbedaan agama. Kita semua tahu kalau tidak hanya ada umat Muslim, namun juga ada umat Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu, dan Penghayat yang hidup bersama di negeri ini.
Sayangnya, dalam realitas keberagamaan masyarakat kita, ada saja orang-orang yang belum dapat menerima perbedaan agama. Sehingga, masih banyak laku intoleran yang kerap terjadi. Berdasarkan data dari Setara Institute, sepanjang 2017-2022, ada sekitar 867 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia.

Tentu pelaku dari sekian banyak kasus yang dicatat Setara Institute itu tidak hanya dari kelompok Muslim, melainkan ada juga dari umat agama lain. Namun, bagaimanapun, kita tidak bisa menutup mata akan fakta bahwa ada “sebagian” Muslim yang belum mampu menerima perbedaan agama. Umat Muslim yang menghalang-halangi pembangunan, bahkan merusak, tempat ibadah umat agama lain, mendiskriminasi non-Muslim, dan berbagai perbuatan lain yang mencerminkan sikap tidak mampu menerima perbedaan agama.
Dalam ajaran Islam, kita mengenal prinsip hifdz al-din (menjaga agama) sebagai bagian dari Maqasid al-Syari’ah (tujuan syariat). Prinsip hifdz al-din itu sendiri sering dimaknai untuk menjaga Islam sebagai satu-satunya agama yang benar (al-din al-haq), dan tidak untuk agama lain. Pemaknaan semacam ini bukan tidak mungkin dapat berimplikasi pada sulitnya menerima perbedaan agama.
Apakah menjaga agama yang dimaksud dalam maqasid sebatas pada menjaga Islam dan tidak dengan agama lainnya?
Dalam pandangan al-Tahir Ibn Ashur, sebagaimana pandangan ini dijelaskan oleh Jasser Auda dalam Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, tujuan dari maqasid secara universal adalah untuk menegakkan ketertiban, kesetaraan, kebebasan, pemberian kemudahan, dan pemeliharaan fitrah. Jadi, dalam pandangan Ibn Ashur, kebebasan merupakan bagian dari tujuan dalam Maqasid al-Syari’ah.
Jasser Auda menjelaskan bahwa freedom (kebebasan) yang dimaksud Ibn Ashur adalah al-hurriyyah yang mengarah kepada makna kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, berekspresi, dan bertindak. Sebagaimana Auda mencontohkan,“…‘freedom of belief’ is expressed in the Qur’an as the ‘will to believe or disbelieve’ (‘kebebasan keyakinan (beragama)’ dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai kehendak untuk beriman atau tidak beriman).”
Selain itu, ada juga pandangan dari pakar maqasid Indonesia, Abdul Mustaqim, yang mengategorikan kebebasan beragama sebagai pengembangan dari hifdz al-din. Sebagaimana Halya Millati, dalam “Harmonisasi Hubungan Antarumat Beragama: dari Hifz al-Din Menuju al-Hurriyyah fi al-Din” dalam Fikih Humanisme, menjelaskan pandangan Abdul Mustaqim bahwa, “…toleransi dan menjalin interaksi baik dengan non-Muslim menjadi makna baru dari hifz al-din. Pendapatnya ini berangkat dari asumsi bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memeluk agama, karena kondisi keberagamaan masing-masing individu sejatinya disebabkan oleh kecenderungan hati yang bersih, tidak oleh paksaan.”
Jadi, dari beberapa pandangan tersebut, kita dapat memahami bahwa adalah termasuk bagian hifdz al-din itu kebebasan dalam beragama. Pemaknaan ini akan berimplikasi pada cara kita memandang prinsip menjaga agama, bahwa keterjagaan agama yang dimaksud tidak hanya Islam sebagai al-din al-haq, melainkan juga agama-agama lain. Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya beragam, mengidealkan kita untuk mengambil makna hifdz al-din yang seperti ini.
Agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Penghayat, hidup dalam satu masyarakat Indonesia. Keberadaan agama-agama selain Islam ini dijamin oleh negara (lihat UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2). Maka, sebagaimana mengambil inspirasi dari Auda yang memandang maqasid dengan pendekatan sistem, dalam kesatuan masyarakat Indonesia yang beragam agamanya, kita perlu memandang hifdz al-din secara wholeness (menyeluruh). Artinya, keterjagaan agama yang dikehendaki dalam ajaran Islam adalah keseluruhan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, perbuatan menghalangi pembangunan, apalagi merusak, rumah ibadah non-Muslim, mengganggu pelaksanaan ibadah non-Muslim, dan berbagai perbuatan yang menghalangi proses beragama non-Muslim, itu dapat dikatakan menyalahi prinsip hifdz al-din dalam ajaran Islam. Sebaliknya, termasuk sikap Islami, yang selaras dengan prinsip Maqasid al-Syari’ah, adalah mampu menerima perbedaan agama.