Di era digital yang terus berkembang, keberadaan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin tak terelakkan. Dari mesin pencari yang menebak apa yang hendak kita cari, hingga fitur teks prediktif yang muncul sebelum jari kita selesai mengetik, AI perlahan-lahan menyusup ke dalam kehidupan manusia modern. Lalu muncul pertanyaan: apakah AI membantu kehidupan manusia, atau justru mengganggu keseimbangan yang telah lama kita kenal?
AI bukanlah konsep baru. Sejak awal perkembangannya, AI dirancang untuk meniru cara berpikir manusia dengan tujuan utama mempermudah pekerjaan, meningkatkan efisiensi, dan membuka kemungkinan baru dalam berbagai bidang.

Di dunia pendidikan, misalnya, banyak platform pembelajaran kini memanfaatkan AI untuk menyesuaikan materi dengan kemampuan siswa. Dalam dunia kesehatan, AI telah membantu dokter mendiagnosis penyakit dengan lebih cepat dan akurat. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, asisten virtual seperti Siri atau Google Assistant menjadi “teman” digital yang bisa diandalkan.
Laporan dari McKinsey Global Institute tahun 2023 mencatat bahwa penerapan AI di dunia kerja diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas global sebesar 1,2% per tahun hingga tahun 2030. Hal ini menunjukkan bahwa AI memang membawa peluang besar dalam efisiensi ekonomi dan dunia industri.
Namun, laporan yang sama juga menyebutkan bahwa sekitar 14% tenaga kerja global berisiko tergantikan oleh otomatisasi, terutama di sektor-sektor dengan pekerjaan yang bersifat repetitif.
Kekhawatiran ini bisa dipahami. Teknologi, sejauh apa pun berkembang, pada dasarnya tetap berada dalam kendali manusia, namun, apabila manusia terlalu bergantung pada teknologi tanpa refleksi, maka arah perkembangan itu bisa kehilangan kontrol etisnya. AI yang awalnya dibuat untuk membantu bisa berubah menjadi alat yang justru melemahkan nilai-nilai kemanusiaan seperti kerja keras, kreativitas, hingga tanggung jawab.
Dalam konteks kehidupan santri dan dunia pesantren, pertanyaan tentang AI juga menjadi menarik. Bagaimana posisi seorang santri di tengah era digital yang serba cepat dan otomatis?
Di satu sisi, AI dapat menjadi alat bantu belajar yang sangat bermanfaat. Banyak kitab kuning kini tersedia dalam format digital, bahkan dilengkapi dengan fitur pencarian otomatis atau terjemahan instan. Tapi di sisi lain, terlalu bergantung pada teknologi bisa menumpulkan kepekaan terhadap proses belajar yang hakiki seperti muthalaah, murojaah, dan talaqqi yang membutuhkan kesabaran serta kedekatan emosional dengan guru.
Bukan berarti santri harus anti teknologi. Justru sebaliknya, seorang santri dituntut untuk mampu beradaptasi dengan zaman, tanpa kehilangan ruh dari proses pendidikan itu sendiri. AI bisa menjadi alat, bukan tujuan. Ia membantu, bukan menggantikan. Di sinilah pentingnya sikap kritis dan proporsional.
Sebuah studi dari UNESCO tahun 2021 tentang AI dalam pendidikan juga menekankan perlunya integrasi teknologi yang etis dan inklusif. AI seharusnya tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tapi juga mendukung nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan pembelajaran seumur hidup. Maka, AI sebaiknya digunakan dengan kesadaran, apakah ia benar-benar mendidik, atau hanya mempermudah tanpa proses yang mendalam?
Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan demi kebaikan, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akhlak dan kemaslahatan. Dalam surah Al-Mujadilah ayat 11, Allah berfirman bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Maka, jika AI dianggap sebagai bentuk dari ilmu pengetahuan modern, tentu penggunaannya pun harus diarahkan pada hal-hal yang bermanfaat dan tidak merusak tatanan kehidupan manusia.
Pada akhirnya, AI bukanlah sesuatu yang secara inheren baik atau buruk. Ia adalah alat, dan manusialah penggunanya. Apakah ia akan membantu atau mengganggu, sangat tergantung pada bagaimana kita menempatkannya. Seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak atau melukai, AI bisa menjadi berkah atau bencana, tergantung pada nilai yang melandasi penggunaannya.
Dalam dunia yang terus berubah, manusia perlu terus belajar. Termasuk belajar tentang batas antara manfaat dan mudarat dalam menggunakan teknologi. Kecerdasan buatan memang canggih, tapi jangan sampai membuat kita kehilangan kecerdasan hati dan akal yang telah dianugerahkan Allah.