Agama sebagai Instrumen Baru Geopolitik

“Perang dunia berikutnya tidak akan pecah karena ekonomi, tapi karena identitas.” –Samuel Huntington, The Clash of Civilizations, 1989

Apakah agama masih relevan dalam konstelasi dunia hari ini? Jika kita bertanya demikian pada era 1990-an, mungkin banyak yang menjawab tidak. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, dunia menyambut narasi besar yang dirayakan para pemikir liberal: demokrasi akan menang, kapitalisme menyebar tanpa hambatan, dan agama akan surut ke ruang privat.

Advertisements

Namun sejarah berbicara lain. Tiga dekade kemudian, justru agama kembali menjadi salah satu aktor paling berpengaruh dalam hubungan antarnegara, konflik regional, bahkan strategi diplomatik.

Dunia telah masuk ke babak baru. Bukan sekadar pasca-Perang Dingin, tapi dunia pasca-sekular, di mana agama bukan lagi urusan pribadi, melainkan bagian dari identitas nasional dan perimbangan kekuatan global.

Dari Simbol Iman ke Alat Politik

Wajah agama tengah mengalami transformasi geopolitik. Ia tidak lagi hanya dibicarakan di ruang spiritual, tetapi hadir dalam kebijakan luar negeri, laporan intelijen, hingga panggung PBB. Bagi sebagian negara, agama menjadi sumber kekuatan lunak (soft power), bahkan alat untuk mengukuhkan dominasi regional.

Arab Saudi, misalnya, memanfaatkan posisinya sebagai penjaga dua kota suci untuk memperluas pengaruh ke dunia Muslim. Beasiswa, bantuan masjid, hingga program haji menjadi bagian dari strategi diplomatiknya. Iran memainkan peran sebaliknya, dengan membangun jaringan Syiah global, dari Lebanon hingga Yaman, dan memosisikan diri sebagai penjaga nilai perlawanan terhadap Barat dan Zionisme.

Turki juga masuk ke arena ini dengan gaya khas neo-Ottoman. Melalui badan keagamaannya, Diyanet, Turki mengekspor Islam moderat yang dikombinasikan dengan nasionalisme budaya dan kekuatan media populer. Serial-serial Islami produksi Istanbul kini ditonton jutaan orang dari Pakistan hingga Sudan.

Di belahan lain, Evangelikalisme Amerika justru menjelma menjadi kekuatan politik dalam negeri dan luar negeri yang menentukan. Dukungan terhadap Israel, kampanye konservatif anti-aborsi dan anti-LGBT, hingga misi besar ke Afrika dan Asia, memperlihatkan bagaimana agama menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri AS.

Sementara Rusia, sejak era Putin, menghidupkan kembali Gereja Ortodoks sebagai simbol kekuatan nasional. Gereja bukan hanya tempat ibadah, melainkan benteng identitas Rusia dalam menghadapi dominasi moral Barat. Bahkan perang di Ukraina pun sering dibingkai sebagai “pertahanan nilai Kristen Timur” dari pengaruh liberalisme sekuler.

India, China, dan Panggung Asia

Agama juga memainkan peran sentral di Asia. Di India, ideologi Hindutva menjadikan Hindu sebagai identitas nasional, dan mendorong marginalisasi terhadap Muslim dan Kristen. Pemerintahan Narendra Modi menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam kampanye politik, pembangunan nasional, bahkan diplomasi budaya, seperti ekspor yoga dan narasi spiritual India.

China memiliki pendekatan berbeda. Ia mengekang agama-agama domestik yang dianggap mengancam otoritas negara, seperti Islam Uighur atau Gereja bawah tanah. Namun di luar itu, China membangun kekuatan budaya melalui Confucius Institute, menyebarkan nilai harmoni dan ketertiban ala Konfusianisme ke dunia internasional.

Ini menunjukkan bahwa agama, baik sebagai sistem iman maupun perangkat budaya, tidak bisa dipisahkan dari proyek-proyek kekuasaan global. Dunia hari ini adalah dunia di mana agama diperebutkan, dikemas, dan dijual sebagai produk geopolitik.

Posisi Indonesia

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya punya peran strategis dalam konstelasi ini. Islam Indonesia, dengan kekayaan tradisi dan keberagamannya, menawarkan model keislaman yang moderat, toleran, dan terbuka. Tapi sejauh ini, kita belum sungguh-sungguh tampil di panggung global sebagai produsen gagasan dan kekuatan lunak Islam.

Organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sudah mulai bergerak—NU dengan program Islam toleran, Muhammadiyah dengan diplomasi pendidikan dan kesehatan. Tapi gerakan ini belum cukup mendapat dukungan negara, baik secara diplomatik maupun finansial. Di saat negara lain menjadikan agama sebagai instrumen diplomasi luar negeri, kita justru masih menjadikannya semata sebagai urusan domestik.

Padahal, Indonesia punya modal besar: tradisi pesantren, jaringan ormas, diaspora Muslim yang terus tumbuh, serta posisi strategis di Asia Tenggara. Yang kita butuhkan adalah narasi bersama bahwa Islam Indonesia bukan sekadar warisan, tetapi tawaran alternatif bagi dunia yang lelah dengan ekstremisme dan sekularisme radikal.

Tantangan dan Harapan

Namun tentu tidak semua keterlibatan agama dalam geopolitik membawa kebaikan. Di banyak tempat, agama justru menjadi alat kekerasan, diskriminasi, bahkan genosida. Kita menyaksikan bagaimana Rohingya diusir atas nama nasionalisme Budha, atau bagaimana Islam dijadikan dalih pemboman atas sesama Muslim. Bahkan di Eropa dan Amerika, agama menjadi korban dari politik identitas yang menumbuhkan Islamofobia dan retorika rasial.

Di titik ini, kita perlu kembali ke jantung ajaran agama: moralitas, martabat, dan kedamaian. Agama harus menjadi sumber kekuatan moral, bukan hanya alat ideologi. Ia harus menjadi jembatan, bukan tembok. Ia harus menyatukan yang tercerai, bukan memecah demi kekuasaan sesaat.

Indonesia, dengan sejarah toleransinya, bisa memainkan peran itu. Tapi itu hanya mungkin jika kita punya keberanian untuk menyusun ulang peta peran agama dalam dunia global. Bukan sekadar jadi penonton yang pasif, tetapi pemain yang sadar posisi dan arah.

Agama bukan hanya soal akhirat. Dalam dunia hari ini, ia adalah bagian dari sejarah yang sedang ditulis; setiap hari, di layar, di mimbar, dan di ruang diplomasi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan