Terbilang sudah cukup lama saya tak mengunjungi pameran lukisan. Kamis (17/4) malam kemarin, saya berkesempatan menghadiri pembukaan pameran tunggal perupa Taufik Ermas. Pameran bertajuk Pronoid ini digelar di Nadi Gallery di bilangan Puri Indah, Jakarta Barat.
Taufik Ermas, yang kelahiran Bukittinggi pada 1984, merupakan salah satu pelukis muda terkemuka Indonesia. Pronoid merupakan pameran tunggalnya yang ketujuh. Ada sekitar 20 pameran bersama yang pernah diikuti Taufik Ermas.

Jebolan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini merupakan pelukis muda yang memiliki dua pendekatan kuat dalam berkarya, teknik dan ide atau gagasannya.
Dalam melukis, finalis The Sovereign Asian Art Prize yang diselenggarakan The Sovereign Foundation di Hong Kong ini dikenal jago dalam menggunakan teknik cut out painting dan modified canvas. Ini merupakan teknik memodifikasi kanvas dengan cara memotong atau membolongi kanvas.
Sementara itu, dari ide atau gagasan, karya-karya Taufik Ermas selalu riuh dengan pertanyaan-pertanyaan (atau juga pernyataan-pernyataan?) filosofis, terutama yang berpusat dengan persoalan ada dan tiada. Misalnya, apakah ada apa yang disebut benar-benar tiada. Atau sebaliknya. Juga, apakah dalam (ruang) kekosongan benar-benar tidak ada sesuatu? Pertanyaan-pertanyaan filosofis itulah yang sering mempengaruhi kejiwaan dan pemikiran orang, yang kerap dieksplorasi Taufik Ermas melalui karya-karyanya. Kadang karyanya seperti lukisan dua dimensi yang dibawa ke ranah tiga dimensi, seperti dikatakan kurator Eka Novrian. Kadang sebagian justru seperti realis yang menuju surealis.
Meskipun setting pameran cenderung minimalis, saya merasakan sebanyak 21 lukisan yang dipamerkan begitu riuh dengan permainan teknik dan gagasan yang diusung. Misalnya, semua kanvas tak ada yang seutuh aslinya. Kanvas-kanvas itu dibolongi (cut out) dan dimodifikasi sedemikian rupa, sesuai subjek yang diusung pelukisnya, lalu sekian banyak ide, gagasan, atau pemikiran akan berloncatan di sana.

Sebagai contoh, dari jarak tertentu, lukisan yang berjudul Merenung Seperti Gunung akan menampilkan gambar figur sesosok pria tua dalam balutan warna putih dengan latar yang berbeda. Namun, jika kita mendekatinya, figur pria tua ternyata bukan lukisan, melainkan ruang kosong dari kanvas yang di-cut out. Kita bisa kecele dibuatnya. Tapi juga bisa menawarkan ide yang berbeda untuk mengisi ruang kosong itu.