Ada Apa dengan Pesantren Kita

766 kali dibaca

Kabar mengejutkan itu datang dari Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Kabar mengejutkan itu berkaitan dengan meninggalnya Albar Mahdi (17), salah seorang santrinya. Santri asal Palembang, Sumatera Selatan, itu diduga meninggal setelah dianiaya oleh santri senior. Karuan saja, kasus itu menjadi sorotan publik setelah peristiwanya viral mula-mula melalui media sosial.

Jika mengikuti runtutan peristiwanya, ada kesan dari semula kasus ini sengaja ditutup-tutupi. Tak ada niatan untuk menceritakan hal yang sebenarnya dari pihak pondok. Peristiwanya sendiri terjadi pada 22 Agustus 2022. Saat itu, Albar Mahdi dan rekan-rekannya hendak mempersiapkan acara rutinan kemah Kamis-Jumat di lingkungan Pondok Gontor. Namun karena ada kesalahpahaman, Albar Mahdi diduga dianiaya oleh santri senior hingga mengakibatkannya tewas.

Advertisements

Namun, ketika mengantarkan jenazah korban ke rumah orang tuanya di Palembang pada 23 Agustus 2022, utusan pondok menyebutkan bahwa korban meninggal akibat kelelahan mengikuti perkemahan santri. Juga dibawakan surat keterangan dari rumah sakit pondok yang menyebutkan bahwa Albar Mahdi meninggal karena suatu penyakit.

Siti Soimah, ibu korban, rupanya tidak percaya begitu saja keterangan yang disampaikan dari utusan pondok. Soimah merasa ada kejanggalan perihal sebab kematian putranya. Itulah sebabnya Soimah bertemu dan mengungkapkan kegundahannya kepada pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Kasus ini akhirnya viral setelah diunggah di akun Instagram Hotman Paris dan memperoleh pemberitaan yang luas dari banyak media.

Setelah beritanya viral barulah pihak pondok memberikan keterangan resmi, dan mengakui telah terjadi tindak kekerasan terhadap Albar Mahdi oleh santri lain. Bahkan, korban aksi kekerasan itu ternyata tiga orang santri. Yang meninggal hanya Albar Mahdi, namun dua santri lain yang juga menjadi korban harus memperoleh perawatan intensif di rumah sakit. Dan kasus kematian Albar Mahdi ini akhirnya ditangani polisi.

Kenapa kasus kematian Albar Mahdi ini tidak langsung dilaporkan kepada polisi, rupanya di lingkungan Pondok Pesantren Gontor ada peraturan yang terasa “aneh”. Disebut “aneh” karena bisa menyimpang dari hukum yang berlaku di Indonesia. Peraturan tersebut berkaitan dengan surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh wali santri ketika memondokkan anaknya. Dalam surat pernyataan itu disebutkan, jika terjadi sesuatu apa pun terhadap anaknya, orang tua tidak boleh melaporkan atau memperkarakannya pada polisi atau aparat hukum. Semua urusan harus diserahkan ke pihak pondok.

Peraturan ini terasa “aneh” jika diperhadapkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana. Misalnya, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui adanya kejahatan atau tindak pidana wajib melaporkannya kepada polisi. Jika tidak, orang yang tidak melaporkannya kepada polisi justru bisa dipidana.

Bila Pondok Bercabang-cabang

Kasus kematian santri Albar Mahdi ini sesungguhnya bukan melulu tentang Pondok Gontor, dan tulisan ini juga tak bermaksud untuk menyorot salah satu pesantren terbesar di Indonesia ini. Sebab, kekerasan yang menimpa Albar Mahdi bukanlah kasus pertama yang dialami santri, dan boleh jadi bukan pula yang terakhir.

Akhir-akhir ini, suka tidak suka, wajah pesantren secara umum ternoda oleh berita-berita negatif yang dimuat di berbagai media, baik media massa maupun media sosial. Dan trennya terus meningkat. Berita-berita negatif itu setidaknya meliputi tiga tindak kejahatan, yaitu perundungan (bullying), kekerasan fisik (yang membahayakan keselamatan jiwa), dan kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi di sejumlah pesantren di berbagai daerah.

Kita belum tahu persis datanya, dan untuk itu masih diperlukan adanya riset khusus. Tapi, dari tren pemberitaan media yang terus meningkat tentang perundungan, kekerasan fisik, dan kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi di banyak lingkungan pesantren itu seharusnya sudah cukup untuk menjadi early warning. Sudah cukup sebagai peringatan dini bagi seluruh pemangku kepentingan (stake holders) pondok pesantren untuk introspeksi, untuk melakukan kajian-kajian, agar sedini mungkin bisa dilakukan perbaikan, agar nilai-nilai luhur pesantren tidak luntur.

Sebenarnya sudah agak lama saya sendiri mulai risau terhadap perkembangan banyak pesantren di tanah air dalam beberapa tahun terakhir. Ada beberapa fenomena yang bisa disebut, tapi fenomena-fenomena itu bisa dikerucutkan menjadi satu kesimpulan dini: banyak pondok pesantren yang nyaris tak ada beda dengan sekolah-sekolah umum, juga sekolah-sekolah umum berasrama (boarding school).

Salah satu contoh kecilnya adalah dari segi biaya. Berbeda dengan zaman dulu, biaya nyantri saat ini tak beda, bahkan banyak yang lebih mahal, dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Jadi santri pun saat ini begitu “dimanja”.

Ada gejala “komersialisasi pendidikan” yang merasuki dunia pesantren. Dengan biaya yang mahal, tugas santri tinggal belajar, karena seluruh kebutuhan lain telah dipersiapkan oleh pihak pondok. Di pondok sudah ada tukang cuci pakaian, sudah ada katering, misalnya. Menjadi santri tak perlu lagi memasak sendiri, tak perlu lagi mencuci pakaian sendiri. Persis seperti sindiran Inaya Wahid dalam Monolog Negeri Sarung: pondok seperti tempat penitipan anak! Pesantren menjadi perusahaan jasanya.

Dari contoh ini saja, terlihat bahwa bobot nilai luhur pendidikan karakter atau kepribadian di lingkungan pesantren sudah mulai berkurang. Padahal, memasak sendiri atau mencuci pakaian sendiri bersama sesama santri lain sesungguhnya adalah bagian penting dari proses pendidikan di pesantren. Mengelola properti sendiri di bilik-bilik pondok yang ditempati bersama santri-santri lain adalah bagian penting dari proses pendidikan di pesantren. Darinya nilai-nilai kemandirian hidup dan kebersamaan diserap, dipelajari, dijalani. Di sini saya lebih suka menyebut pesantren sebagai sekolah kehidupan ketimbang tempat mencari ilmu.

Contoh lain adalah fenomena semakin banyaknya pondok pesantren membuka cabang di mana-mana. Pondok pesantren akan terlihat lebih wah, megah, bonafid, jika jumlah santrinya mencapai puluhan ribu dan cabangnya ada di seantero negeri. Terkesan ada persaingan antarpesantren dalam “melebarkan sayap”, membuka cabang sebanyak-banyaknya.

Sebagai contoh, misalnya, Pondok Gontor memiliki 19 cabang di seluruh Indonesia, Pondok Tebuireng Jombang memiliki 17 cabang, dan Pondok Lirboyo Kediri memiliki 5 cabang dan 14 unit di seluruh Indonesia. Ini sekadar contoh maraknya pondok-pondok pesantren membesarkan diri dengan membuka cabang-cabang.

Dari sisi teknis proses belajar mengajar mungkin tak ada masalah. Tapi elemen terpenting dari eksistensi pondok pesantren juga sudah mulai berkurang, yaitu relasi santri-kiai. Seperti kita tahu, elemen terpenting dari keberadaan sebuah pondok pesantren adalah kehadiran sosok sang kiai. Tak ada kiai, tak ada pesantren.

Dan sosok kiai ini, dalam tradisi pesantren, menjadi figur sentralnya. Kiai tak hanya menjadi sumber ilmu, panutan, atau teladan dalam segala hal, tapi juga tempat ngalap berkah. Di sini, keberhasilan seorang santri akan banyak ditentukan oleh bagaimana relasinya dengan sang kiai. Lalu, bagaimana jika relasi kiai-santri terentang begitu jauh?

Saya belum pernah merasakan “LDR” atau long distance relationship dengan kiai, jadi tak tahu rasanya seperti apa. Tapi di masa yang jauh dulu, relasi kiai-santri begitu dekat, begitu erat. Setiap hari, selama 24 jam, santri selalu bersama-sama dengan kiai, berelasi dengan kiai, di dalam pondok. Selain belajar mengaji, banyak santri yang justru bungah jika disuruh-suruh kiai untuk melakukan ini-itu. Menyapu halaman yang tidak kotor, misalnya. Banyak pula santri yang suka menampak-nampakkan diri mencuri perhatian kiai agar sekadar disapa atau disuruh mengerjakan ini-itu oleh kiai. Itulah sedikit dari “modus” santri ngalap berkah.

Dalam relasi seperti ini, saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ada santri yang tak pernah atau nyaris tak pernah bertemu dan berelasi dengan kiainya karena si santri mondok di cabang terjauh dari pesantren pusatnya. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ada santri yang tak dikenal oleh kiainya karena ia hanya seorang dari 20 ribu santri di dalam satu pondok, misalnya.

Contoh-contoh kecil yang terangkat dalam tulisan ini, bagi saya, adalah bagian dari gejala terjadinya pergeseran nilai dalam bagaimana hari ini kita mengelola pondok pesantren. Jika dibandingkan dengan banyaknya jumlah pesantren dan santri, mungkin kasus-kasus yang terekam media itu bukanlah sampel representatif dari kondisi yang sebenarnya. Tapi gejala-gejala itu tak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, hal itu bisa menodai citra pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang menjadi pusat pendidikan akhlak.

Jika citra pesantren ternoda, marwahnya tercoreng, orang-orang akan risau: di mana lagi mencari pendidikan yang aman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan