Abuya Nawi, Ulama Kharismatik Betawi

1,615 kali dibaca

Ketekunannya belajar mengaji mengantar Abuya Nawi menjadi salah satu ulama paling kharismatik di Tanah Betawi. Gaya dakwahnya yang santun, teduh, dan selalu mengajak pada kebaikan membuatnya diterima di semua kalangan masyarakat. Itulah sosok pendiri Pondok Pesantren Al-Awwabin.

Nama aslinya adalah KH Abdurrahman Nawi, biasa disapa dengan panggilan Buya Nawi atau Abuya Nawi. Dilahirkan pada 8 Desember 1920 dan wafat pada 18 November 2019. Yang unik dari kisahnya, Abuya Nawi tak pernah mondok di pesantren, namun pesantren yang didirikannya, Al-Awwabin, kini ada di Tebat, Jakarta Selatan dan Sawangan serta Bedahan, keduanya di Depok, Jawa Barat.

Advertisements

Namun, meskipun tak pernah mondok secara harfiah, Abuya Nawi ternyata berguru kepada berbagai ulama di banyak tempat. Meskipun tak dilahirkan dari keturunan tokoh agama, tapi sejak kecil memang dididik untuk rajin salat dan mengaji.

Kali pertama Abuya Nawi belajar mengaji kepada seorang guru di Tebet, yaitu Muallim Ghazali dan Muallim Syarbini. Di sini Abuya Nawi belajar membaca al-Quran serta dasar-dasar akidah dan praktik ibadah. Setelah itu, di daerah di Bukit Duri, ia berguru kepada KH Muhammad Yunus, KH Basri Hamdani, KH M  Ramli, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf.

Seiring perjalanan waktu, Abuya Nawi berkembang menjadi pembelajar kelana. Hampir semua kiai dan ulama didatanginya untuk mencari ilmu dan berkahnya. Tercatat, ia juga pernah berguru kepada KH Muh Zain (Kebon Kelapa, Tebet), KH Abdullah Syafi’i (Matraman), KH Hasbiyallah (Klender), KH Mu’allim (Cipete), KH Khalid (Pulo Gadung), Habib Ali Jamalullail dan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Abdullah bin Salim Al-Attas (Kebon Nanas), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad (Kramat Jati), Habib Ali bin Husein Al-Attas (Kemayoran), Habib Zein bin Smith, dan Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hassani (Mekkah).

Meskipun tak mondok di pesantren, cara belajar dan ngaji Abuya Nawi laiknya santri kalong. Bahkan, dalam sehari ia bisa belajar mengaji di tiga tempat sekaligus, masing-masing mempelajari dua atau tiga kitab. Abuya Nawi selalu dalam gairah tinggi saat belajar, tak mau kalah dengan para santri. Setiap penjelasan dari para gurunya, misalnya, selalu disimak dan dicatat dengan baik.

Berkat ketekunan dan gairah tinggi dalam menuntut ilmu dan mencari berkah itulah, dalam perkembangannya ia mengamalkan ilmunya melalui majelis taklim dan kemudian Pondok Pesantren Al-Awwabin.

Rupanya, ketekunan dan gairahnya itu tetap terbawa hingga Abuya Nawi sudah dikenal sebagai ulama. Terbukti, baik ketika sedang mengajar atau tidak, jika melihat ada santri tertidur atau malas-masalan saat mengaji, ia akan menyuruh santrinya keluar untuk cuci muka atau wudlu. Abuya Nawi tidak suka melihat ada orang yang bermalas-malasan dalam mencari ilmu dan tidak suka dengan orang yang tidak mau belajar atau mengaji.

Di kalangan masyarakat Betawi, Abuya Nawi juga dikenal sebagai “ulama antik”.  Ini dikarenakan pemikirannya yang selalu sejalan dengan pemerintahan dan para ulama lainnya. Di kalangan ulama dan habaib di Tanah Betawi, nama Abuya Nawi juga sangat familiar dan menjadi salah satu ulama yang sangat disegani pada zamannya.

Hal itu terjadi lantaran dalam setiap ceramahnya Abuya Nawi tidak pernah berkata-kata kasar atau jelek, tidak pernah menghina atau mencaci orang lain. Dalam berdakwah, ia benar-benar meneladani Rasul, mengingatkan jamaahnya untuk berbuat baik kepada orang lain dan jangan pernah menghina orang lain.

Kemudian, jika berceramah di hadapan masyarakat, maka ceramahnya itu mengandung kebaikan dan mengajak untuk berbuat kebaikan. Lalu, jika berceramah di hadapan santrinya, Abuya Nawi selalu mengingatkan mereka untuk belajar serta menghafal dan mengulang-ulang (mudzakaroh) pelajarannya.

Ada satu pesan yang selalu diingat para santrinya: “Belajarlah sekali, mengulang-ulang seribu kali.” Perkataan itu selalu diucapkan ketika sedang mengajar atau berceramah di hadapan para santrinya agar selalu diingat dan dilakukan oleh santrinya.

Yang juga menarik, ketika berceramah di berbagai tempat di Betawi, tak hanya dibanjiri jamaah. Oleh karena itu, abuya selalu diundang setiap ada acara keagamaan di tanah Betawi. Ada dua ulama dan habib yang selalu menyertai di mana pun Abuya Nawi berdakwah. Keduanya adalah Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Husein bin Ali bin Husein Al-Attas. Karena sering bertemu bertiga dalam sebuah acara, Abuya Nawi, Habib Ali dan Habib Husein sering dijuluki “Tiga Serangkai”.

Selain sebutan “Tiga Serangkai”, Abuya Nawi juga dijuluki sebagai “Syibawaih di zamannya”. Ini karena keahliannya di bidang ilmu nahu-saraf. Sebab, sejak mulai belajar ia memang menekuni ilmu nahu-saraf itu, dan saat mengajar pun ia selalu memberi nasihat kepada santri untuk menguasai ilmu alat itu.

Sebagai pencari ilmu sejati, sanad keilmuan Abuya Nawi bersambung tiada putus kepada guru-gurunya sampai dengan Rasulullah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan