Abdullah Cekka

10,291 kali dibaca

Di ujung sawah yang hening, dari sebuah rumah, perempuan itu memekik hebat, tidak kalah kerasnya dengan suara hujan yang turun malam ini. Beradu dengan suara halilintar, seorang wanita mengerang hebat, seakan menyaingi suara gemuruh hujan itu. Suasana begitu hening, sontak bersambut dengan suara makhluk ciptaan Tuhan yang hadir ke dunia malam itu.

“Siapa namanya?”

Advertisements

“Abdullah Cekka.”

Bocah itu merengek, menggeliat dalam balik bedong induknya. Saat seberkas cahaya mengintip dari celah atap rumah, wanita itu tertegun melihat mata anaknya.

Sangat cekatan kakinya di ujung bibir sungai. Bermain di kebun duku yang berjejer rapi di sekitaran anak sungai Batanghari, kaki mungilnya tidak pernah lelah untuk berlari. Tetapi, suasana awan di hatinya berbeda. Sebabnya, Abdullah Cekka sering mengalami perundungan karena matanya yang berbeda dari anak-anak lainnya.

Akibatnya, dia urung bertemu dengan teman sebayanya. Mengurung diri di rumah, sibuk bermain gundukan abu kompor. Mencoretkan arangnya, dia meniru kumis bapaknya. Dia tertawa, dan menebalkannya lagi. Ibu berdiri di depan dapur malah heran melihat bocah gundul itu, senang di rumah, dan jarang main ke sungai lagi.

Ibu cepat menangkap tangan Cekka sebelum wajahnya berpupur penuh dengan arang. “Hap, jangan lagi ya”. Bocah itu berlari, cepat saja diapit induknya. Ketika membasuh wajah Cekka, ibu mulai bertanya.

Dak Maen ke sunge Nak?” ibunya bertanya ke Cekka, sambil sesekali membasuh wajah bulat anaknya itu

Dak Mak,” jawab Cekka, terbata-bata saat ibu menggosok wajahnya dengan air.

Cekka selalu berada di rumah. Setahun lebih berselang  tidak membaur dengan teman sebayanya. Keluar rumah jika menemani ibu menjual sekam di Pasar Angsoduo, dan saat memanen duku berjatuhan di sekitaran sungai. Cekka berlari, mengumpulkan duku, lalu bersembunyi lagi saat teman-temannya melintas di kebun.

“Dipanggil apo dengan kanti-kanti kau, ya?” bapaknya menegur Cekka. Cekka tertegun, mulutnya makin masam mengunyah jeruk saat mendengar bapaknya. Dia pura-pura tuli. Cekka melihat bapaknya, terdiam, matanya berkaca-kaca, menggeliat hebat, mencoret bibir bapaknya dengan arang. Cekka berlari, bapak menangkapnya cepat, terkekang sejenak, kemudian meronta lagi. Cekka menangis sejadi-jadinya siang itu.

Sampai sore hari tenaganya habis, terkulai dan rebah di pangkuan ibunya. Bocah itu terlelap pulas saat warna senja yang menyelinap dari daun-daun pohon nangka di pekarangan rumah mulai mengusap-usap wajah mungilnya.

Bapak dan ibunya tidak ambil pusing tentang masalah Cekka; bukankah sakadar candaan anak-anak, yang nantinya dilupakan. Tetapi, itu adalah aib bagi seorang yang utuh matanya.

Ilalang di padang rumput sudah tidak sejajar lagi dengan ubun-ubunnya. Artinya, dia harus bersekolah. Walaupun enggan, dia luluh dibujuk sang ibu.

Di depan gerbang Madrasah dengan pakaian lengkap dan kopiah, napasnya mulai melambat saat menoleh teman-temannya. Sejam berlalu di sekolah, Cekka menghela napas. Bocah itu cukup pendiam dan takut menegur teman-temannya, meskipun tidak ada yang mencemoohnya. Paranoid masa kecil membuatnya sulit untuk mulai mengenal orang lain.

Suara riuh dari semua penjuru kelas, bersambut dengan bunyi nyaring satu ketukan lempengan besi, tumpah ke halaman dan kantin. Tertawa saling bercanda, mereka semarak di hari pertama sekolah.

Pintu kelas terbuka lebar, tetapi badannya masih terdiam di sarangnya mengumpulkan tenaga untuk keluar. Berjalan perlahan, berdiri di garis batas pintu, kakinya membeku kaku. Melangkah pasti keluar pintu, dia tertahan sejenak. Kini dia merasa punggungnya kaku seakan ada yang mencegatnya dari belakang.

Berbalik badan, seorang  gadis kecil memegang pundaknya dan mendorongnya. Gadis itu menunduk, memungut bunga yang terjatuh. Wajahnya tergugup, tidak sadar menyenggol pot bunga. Berjalan mundur, sikutnya malah membentur botol minum, membasahi baju seorang anak lelaki. Anak itu teriak keras sambil menujuk-nunjuk dia dengan kejam.

Semua mata menajam siap menyudutkannya. Dadanya sesak di tengah kerumunan yang bersiap menyerangnnya. Seorang anak kembali berteriak, teriakan mengumpat ke arahnya, anak itu bersorak menepuk-nepuk tangannya.

“ Abdullah Picek…”

“Picekk… Picekkk… Picekk.”

Sorak mereka menjadi-jadi, beberapa anak menoleh dari balik jendela kaca, sebagian mengintip dari balik pintu, sebagian keluar berbondong-bondong. Beramai-ramai keluar kelas untuk melihatnya.

Bersiap merengek, dia sadar bahwa tidak ada ibu di dekatnya. Udara sesak karena anak-anak berlarian dari seluruh penjuru sudut sekolah untuk menghampirinya. Keadaan menjadi serial mimpi buruk yang sering terjadi di pinggir sungai; anak-anak siap menjailinya.

Merasa tertekan hebat, suasana hening, semua penonton memperhatikannya, menanti pertunjukan selanjutnya. Air matanya tumpah. Penonton semakin berjingkrak-jingkrak menyaksikannya. Jongkok menutupi wajahnya yang basah, dia berdiri masuk ke dalam kelas, mengempas pintu dan menguncinya. Dia mengurung dirinya di dalam kelas yang sunyi.

Penonton makin riuh menggedor-gedor untuk melihat aktor itu, berjinjit, berjejer dari ujung sampai ke daun pintu, mereka mengintip hiburannya siang itu.

Membuka mata, udara dingin kelas menyumpal napasnya.  Bebek, ayam, gajah, anjing, dan seekor kambing yang menempel di dinding mulai ikut riuh. Matanya tertegun melihat seisi ruangan, semua binatang berjingkak-jingkak, mulai mengembik, menggonggong, dan mengeong.

Gedoran pintu makin cepat, nyaring diiringi suara jendela kaca-kaca yang diketuk oleh anak-anak. Semua berputar-putar mengelilingi matanya.

“Emakk… Emakkk… Emakkk! Emak di mana?!!

Ibunya terkejut dan Cekka bangkit mendadak. Pinggulnya otomatis duduk kaku bersila, tersengal-sengal, bajunya basah oleh bulir deras keringat yang mengucur dari punggungnya. Air matanya menggenangi sarung ibunya. Ibunya langsung mendekapnya erat. Cekka menangis sejadi-jadinya sore itu.

“Emak! Emak Ceka dak mau sekolah, ndak mau. Dak… Dak….”

Di lantai dipan rumah, ibunya mengusap kepala Cekka. Tangannya menimang-nimang tubuh anak kesayangannya sambil sesekali bershalawat dengan merdunya. Saat adzan maghrib mulai berbunyi, kepala cekka makin dalam bersandar di dada ibunya. Awan-awan secara berjamaah mulai beriringan menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat.

“Cekka, ayo ke masjid…. ayokk kito mangaji.”

Bocah-bocah itu beriringan, berjalan mendekati suara adzan. Mampir di rumah Cekka, mereka bersiap ke masjid bersama-sama.

Ibunya tersenyum ke arah Cekka. “Jangan nangis lagi, lihat ke kiblat, khusyuk dan rajin berdoalah nak,” tutur kata ibunya dengan lembut.

Mengancingkan baju Cekka dan mengikat sarung bapaknya ke pinggang kecilnya, ibunya mengusap tangannya. “Habis mangaji, kan gelap. Pulang nanti pegang tangan teman-teman yo…nak,” seorang anak perempuan sigap meraih tangan kecilnya.

Mata mungilnya tenang seolah mengerti maksud ibunya. Matanya yang polos bercahaya tersiram sorot lampu senja, seolah Tuhan sedang menampakkan keajaiban di penglihatannya.

Ibunya menoleh-noleh matahari yang tenggelam. Ia yakin Cekka akan menjadi pria dewasa yang sangat tampan dengan mata yang sangat berbeda dari teman sebayanya. Bersinar di bagian retina, dan terkadang menampilkan rona jingga seperti laut timur yang terpapar cahaya senja. Matanya seorang bangsawan muda.

Jambi, 18 maret 2019

Multi-Page

Tinggalkan Balasan